Harga Minyak Merosot Usai Cina Kembali Terapkan Lockdown di Shanghai
Harga minyak dunia turun pada Jumat (10/6) walau masih berada di level tertinggi dalam tiga bulan terakhir. Penurunan harga minyak disebabkan oleh adanya kebijakan penguncian wilayah (lockdown) di distrik Minhang, Shanghai, Cina, yang dimulai Kamis (9/6).
Lockdown Covid-19 di Shanghai menimbulkan kekhawatiran penurunan permintaan energi di Cina. Padahal pada tiga hari sebelumnya, Selasa (7/6), harga minyak mentah dunia naik tipis akibat pelonggaran pembatasan Covid-19 di Cina yang diperkirakan meningkatkan permintaan minyak.
Melansir Reuters pada Jumat (10/6) minyak mentah jenis Brent turun US$ 1,01, atau 0,8%, di level US$ 122,06 per barel usai mengalami penurunan 0,4% sehari sebelumnya. Sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 98 sen, atau 0,8%, menjadi US$ 120,53 per barel, setelah sebelumnya turun 0,5%.
"Pembatasan pandemi baru di Shanghai menimbulkan kekhawatiran atas permintaan di Cina," kata Kazuhiko Saito, kepala analis di Fujitomi Securities Co Ltd.
"Tetapi penurunan harga dibatasi oleh ekspektasi bahwa pasokan global yang ketat akan berlanjut dengan permintaan bahan bakar AS yang solid dan lambatnya peningkatan produksi minyak mentah oleh OPEC+," sambung Saito.
Sementara itu, puncak permintaan bensin musim panas di AS terus mendorong harga minyak mentah. Amerika dan negara-negara lain telah terlibat dalam serangkaian pelepasan cadangan strategis minyak mereka. Namum aksi ini hanya berdampak sementara di tengah produksi minyak mentah global meningkat sangat lambat.
Pekan lalu, OPEC+, kelompok yang terdiri dari OPEC dan produsen termasuk Rusia, sepakat untuk mempercepat peningkatan produksi untuk menekan harga bahan bakar yang tidak terkendali dan memperlambat inflasi. Langkah tersebut akan membuat produsen minyak mimiliki kapasitas cadangan yang sangat sedikit.
Pada 2 Juni, OPEC+ setuju untuk mempercepat peningkatan produksi bulanan yang stabil. OPEC+ telah menetapkan target untuk meningkatkan produksi sebesar 648.000 bph per bulan pada bulan Juli dan Agustus.
JPMorgan memperkirakan OPEC+ akan menambah 160.000 barel per hari pada Juli dan 170.000 barel per hari pada Agustus. Pada April, OPEC+ memproduksi 2,6 juta barel per hari. Angka ini di bawah target karena penurunan produksi Rusia. Rusia juga berada jauh di bawah target ekspor akibat embargo yang dilakukan oleh Uni Eropa.
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), produksi minyak Rusia turun sekitar 1 juta barel per hari dari tingkat pra-invasi pada April. Penurunan produksi akan semakin dalam hingga setidaknya 1,5 juta barel per hari hingga akhir tahun ini.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan memprediksi harga minyak mentah akan tetap berada di atas US$ 100 per barel hingga akhir tahun ini. Harga minyak hanya akan turun jika OPEC+ meningkatkan produksi minyak di angka 1 juta barel per hari (bph).
"Biang keladinya (harga minyak tinggi) ya OPEC itu, kalau mereka mau nambah produksi jadi 1 juta barel saja per hari ini sangat membantu menekan harga," kata Mamit kepada Katadata.co.id, Rabu (8/6).
Ia menambahkan, di tengah harga minyak yang tinggi, sulit rasanya melihat potensi OPEC yang mau menaikkan jumlah produksinya. Kondisi ini diperberat dengan ada negara anggota yang terhambat dalam upaya meningkatkan produksi, termasuk Rusia, yang menghadapi sanksi Barat.
"Mereka sedang menikmati manisnya harga minyak dunia dan mereka tidak mau mengurangi manis-manis ini. Sampai akhir tahun harga minyak akan bertahan di US$ 110 bahkan US$ 120," tukas Mamit.