Setelah 2,5 Tahun, AS Perpanjang Fasilitas Bebas Bea Masuk Produk RI
Amerika Serikat (AS) akhirnya memperpanjang fasilitas bebas tarif bea masuk melalui Generalized System of Preferences (GSP), untuk lebih 700 produk ekspor asal Indonesia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) memperpanjang pemberian fasilitas GSP setelah melakukan evaluasi selama lebih kurang 2,5 tahun, sejak Maret 2018, terhadap negara-negara penerima bantuan, termasuk Indonesia.
“GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas ini pada 1980,” kata Retno melalui jumpa pers virtual, Minggu (1/11).
Ia menyampaikan pemerintah Indonesia telah proaktif mengawal proses pembebasan bea masuk itu di berbagai pertemuan bersama perwakilan pemerintah AS, termasuk saat Menteri Luar Negeri AS Michael Richard Pompeo melawat ke Indonesia pada akhir Oktober 2020.
“Isu mengenai GSP ini selalu dibawakan oleh Indonesia dalam semua kesempatan pertemuan dengan AS. Dalam kunjungan Menlu AS tiga hari yang lalu ke Indonesia, baik dalam pertemuan bilateral dengan saya dan kunjungan kehormatan kepada Presiden RI, isu GSP ini juga kita bahas bersama,” ujar Menlu.
Dalam sesi jumpa pers yang sama, Wakil Menlu RI Mahendra Siregar menyampaikan Indonesia kemungkinan jadi satu-satunya negara di Asia yang menerima perpanjangan fasilitas bebas bea masuk tanpa ada pengurangan atau pemotongan dari AS.
“Indonesia satu-satunya negara di Asia, menurut pemahaman saya, dari daftar yang ada yang terus memperoleh fasilitas GSP dari AS tanpa terganggu atau dikurangi sama sekali,” kata Mahendra, yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengawal langsung proses evaluasi fasilitas GSP oleh otoritas dagang di AS.
Pasca-evaluasi, ada 3.572 produk ekspor, yang telah tercatat dalam sistem delapan digit (Bea Cukai AS (CBP) atau HS 8-digit, yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk. Dari jumlah itu, 729 di antaranya merupakan produk ekspor dari Indonesia.
“Ekspor GSP Indonesia di tahun 2019 berasal dari 729 pos tarif barang dari total 3.572 pos tarif produk yang mendapatkan preferensi tarif GSP,” kata Retno yang juga menggarisbawahi adanya kenaikan nilai ekspor produk Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP pada tahun ini.
“Dari Januari sampai Agustus 2020 di tengah pandemi nilai ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$ 1,87 miliar (Rp 27,3 triliun) atau naik 10,6 persen dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya,” sebut Menlu.
Data statistik dari Komisi Dagang Internasional AS (USITC) menunjukkan ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP pada 2019 mencapai US$ 2,61 miliar (Rp 38,2 triliun) atau sekitar 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS, yang nilainya mencapai US$ 20,1 miliar (Rp 293,86 triliun).
Dari ratusan produk ekspor asal Indonesia yang menerima fasilitas GSP, matras jadi barang yang paling banyak dijual ke AS selama periode Januari-Agustus 2020. Nilai ekspor matras mencapai US$ 185 juta (sekitar Rp 2,7 triliun).
Selain matras, kalung dan rantai emas menduduki posisi kedua dengan nilai ekspor US$ 142 juta (Rp 2,07 triliun), tas berpergian dan tas olahraga US$ 104 juta (Rp 1,52 triliun), minyak asam dari pengolahan kelapa sawit US$ 84 juta (Rp 1,22 triliun), serta ban pneumatik radial untuk truk dan bus US$ 82 juta (Rp 1,19 triliun).