Bansos Tunai Rp 300 Ribu Dinilai Tak Ampuh Kerek Daya Beli Masyarakat
Berbagai upaya dilakukan pemerintah guna memulihkan perekonomian nasional. Salah satunya melalui stimulus terhadap dunia usaha, serta bantuan sosial (bansos) tunai untuk mendorong daya beli dan konsumsi masyarakat, sehingga memutar roda perekonomian.
Terlebih, perbankan masih ragu dalam menyalurkan kredit dengan jumlah besar, lantaran khawatir menjadi kredit macet. Oleh karena itu, stimulus dunia usaha dan bansos ini kian dibutuhkan. Sementara konsumsi, yang menyumbang 10% produk domestik bruto (PDB), turun signifikan.
Meski demikian, peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute Rifki Fadilah menilai dana bantuan langsung tunai sebesar Rp 300 ribu yang diberikan pemerintah cenderung minim.
"Jika dibandingkan dengan garis kemiskinan dan kebutuhan masyarakat, jumlah ini relatif kecil. Per September 2019 masyarakat membutuhkan Rp 440 ribu guna memenuhi kebutuhannya," kata Rifki dalam sebuah diskusi virtual, Kamis (21/1).
Dengan demikian nominal bansos yang sebesar Rp 300 ribu menurut dia belum efektif mendorong permintaan dan konsumsi masyarakat. Dia menyarankan agar pemerintah menaikkan nominal bantuan langsung tunai.
Selain itu bentuk bansos juga bisa didiversifikasi melalui bantuan tunai dan pemberian kupon, serta memanfaatkan fasilitas deferred drawdown option (DDO). "Kalau bansos hanya Rp 300 ribu, masyarakat akan menyimpan uangnya untuk keperluan lain, sehingga yang tidak terjadi kenaikan permintaan,” ujar dia.
Rifki menekankan, pemerintah harus rasional dalam memulihkan perekonomian. Terlebih dari sisi investasi, dunia usaha banyak yang tertekan. Secara umum, dunia usaha enggan ekspansi bisnis, sebelum pandemi covid-19 usai.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Shinta Widjaja Kamdani mengusulkan, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk korporasi dan intensif pengusaha yang belum terealisasi tahun lalu bisa ditambahkan ke anggaran tahun ini.
Di samping itu, perlu perbaikan sosialisasi program insentif PEN, serta pemanfaatannya kepada pelaku usaha. “Perluasan skema insentif PEN untuk korporasi perlu dipertimbangkan dengan perkembangan pandemi, serta jangka waktu yang dibutuhkan untuk normalisasi ekonomi,” kata Shinta.
Ia menambahkan, kunci pemulihan ekonomi dan konsumsi adalah pengendalian pandemi. Di samping itu, perlu percepatan dan ketepatan realisasi stimulus kepada pihak yang membutuhkan, tidak ada kebijakan yang membatasi kebebasan operasi dan mobilitas usaha, serta semaksimal mungkin memanfaatkan potensi pasar dan digitalisasi.
“Kami pelaku usaha, meminta pemerintah untuk memperhatikan hal ini. Jika tidak, kami khawatir tidak bisa membantu perekonomian nasional,” ujarnya.
Tekanan Perekonomian 2020
Tekanan pandemi covid-19 terhadap perekonomian pada 2020 selain ditandai dengan melambatnya pertumbuhan, kesenjangan juga meningkat. Rasio gini ratio naik menjadi 0,381 pada Maret 2020 dari 0,38 pada Agustus 2019.
Dalam pelaksanaan PEN pula, kinerja pemerintah dinilai lamban dan lemah. Akibatnya, belanja negara tidak berdampak optimal dalam meredakan resesi ekonomi.
Hingga Oktober 2020, realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1,276 triliun atau 75% dari target. “Sedangkan realisasi belanja negara baru 75% atau Rp 2,041 triliun,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati.
Menurut Anis, tersendatnya anggaran PEN akibat ketidaksiapan birokrasi. Sehingga, lambatya ekseksusi dan realisasi PEN, tidak optimal dalam meredakan resesi, pengangguran maupun kemiskinan.
Tahun ini, Anis menjelaskan peran APBN, belanja PEN, belanja BUMN, penyaluran kredit, serta pembiayaan dari perbankan, perlu dipacu. Adapun tujuannya, agar perekonomian Indonesia yang diprediksi 4 - 6% dapat terealisasi.
“Potensi pertumbuhan ini masih beresiko ke bawah. Karena, efektivitas kinerja pemerintah yang rendah dan virus corona masih bergerak eksponensial,” ujarnya.