Skema Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka

Meuthia Ganie-Rochman
Oleh Meuthia Ganie-Rochman
5 Oktober 2019, 08:00
Meuthia Ganie-Rochman
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Misalnya, Kota Bojonegoro memiliki sekitar 80 aplikasi. Demokrasi digital memberi akses kepada siapapun untuk masuk dalam sistem informasi dan monitoring. Hal ini sebagian menggantikan komunikasi politik yang berdasarkan basis politik legitimasi dengan komunikasi sistem yang terpilah berdasarkan kategori dan terstandar.

Tentu semua data ini sangat berguna untuk memantau pemanfaatan program pemerintah. Namun ada juga sisi negatifnya, yakni keterpukauan terhadap agregat. Para pembuat dan pelaksana sistem pengolahan data tidak ditopang oleh para ahli ilmu sosial dan ekonomi untuk melihat konstruksi di dunia nyata dari agregat tersebut.

Data besar (big data) bisa melihat angka kejadian, misalnya, akses kelompok dan perilaku konsumsi. Selain itu, data besar bisa melihat adanya hubungan satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, hubungan perbaikan birokrasi pelayanan izin dengan investasi.

Meski demikian, data besar tidak serta-merta dapat menjelaskan penyebab dan bagaimana suatu hal terjadi. Sebagai contoh, pelayanan rumah sakit tidak serta-merta menurunkan angka penyakit degeneratif karena terkait dengan gaya hidup dan faktor-faktor lain. Artinya, penggunaan big data harus dilengkapi dengan pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam masyarakat. Di beberapa kota yang menerapkan OPG, pemerintah kota tidak menyediakan unit atau organisasi yang kuat dalam menopang aspek substantif tadi.

Masalah di atas membawa kita pada kesiapan kelompok non pemerintah sebagai mitra. Pemerintah menyediakan sistem sedangkan organisasi lain mengembangkan penerapannya. Pertanyaannya, berapa banyak lembaga riset atau universitas atau organisasi non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat/LSM) yang siap membantu menyediakan kerangka dan pengembangan tata kelola baru? 

Beberapa tentu sudah ada, seperti yang terlihat di dalam rencana aksi OPG 2018-2020. Namun, kesiapan lembaga riset atau LSM tersebut sangat terbatas. Pasalnya, di masa lalu kerja sama untuk memperbaiki sistem publik yang dilakukan pemerintah dan organisasi lain jarang bersifat berkelanjutan dan metodik. Beberapa LSM baru belajar bagaimana memperbaiki institusi publik dari dalam. Oleh karena itu, skema OPG harus dilengkapi interaksi intensif dengan organisasi yang mampu melihat masalah secara substantif.



OPG dan Kewargaan

Bagaimana sifat kewarganegaraan dalam skema OPG? Asumsi apa yang ada pada skema ini? OPG mengandalkan masyarakat yang secara luas sudah menggunakan teknologi digital. Kewargaan (citizenship) adalah konsep yang selama ini digunakan untuk menggambarkan anggota masyarakat yang peduli dengan hak dan kewajibannya dalam rangka kesejahteraan bersama. Dalam skema OPG, sistem ini bertujuan mendorong partisipasi warga yang luas.

Namun, dalam OPG partisipasi yang substantif baru terjadi pada organisasi-organisasi tertentu yang dilibatkan dalam pembangunan tata kelola publik. Gambaran tentang kewargaan macam apa yang ada di dalam OPG dapat dikatakan nyaris kosong. Ada kekosongan dalam studi-studi yang selama ini telah dihasilkan, baik di Indonesia maupun pada tingkat internasional.

Pengetahuan tentang kewargaan OPG berada pada peradaban digital yang mempunyai karakteristik yang berbeda. Beberapa karakteristik dapat disebutkan di sini. Komunikasi digital banyak menghilangkan interaksi sosial yang mendalam. Anggota masyarakat yang menaruh perhatian pada bidang tertentu memang terkoneksi lebih luas dengan komunikasi digital. Namun, banjir informasi ini tidak diikuti dengan kecepatan untuk mengkonstruksi kembali kepentingan bersama.

Akibatnya, banyak organisasi yang kehilangan relevansinya sebagai pengembangan identitas dan komitmen. Informasi digital juga mengubah ketergantungan individu terhadap kelompok. Informasi digital bisa menghilangkan struktur dominasi. Di sisi lain, informasi digital juga bisa berdampak negatif, seperti kurangnya empati dan komitmen.

Dalam kasus skema digital, permasalahan di atas menimbulkan beberapa persoalan penting. Pertama, anggota masyarakat cenderung tidak tertarik pada persoalan keragaman kepentingan. Hal ini bisa mengikis norma yang menjaga pluralisme dan menumpulkan kemampuan masyarakat dalam menghasilkan norma sosial baru yang dibutuhkan. Kedua, partisipasi masif secara digital tidak bisa menggantikan kekuatan gerakan melalui organisasi. Diperlukan suatu struktur baru yang mampu menentukan arah. Pemikiran yang berpendapat bahwa partisipasi otonomi selalu menghasilkan perbaikan itu tidak benar.

Organisasi dengan model komunikasi yang baru harus dicari untuk menjamin terbangunnya kultur kewargaan. Sesuatu yang mungkin mempertahankan keterbukaan gagasan, namun harus bergerak pada prinsip dan tujuan yang terjaga. Organisasi bukan hanya menawarkan “pengalaman” bagi generasi muda atau milenial, sebuah kata yang jadi hype baru. Tetapi, organisasi juga menjadi pengalaman yang memberikan makna tentang tujuan hidup dalam masyarakat, sekaligus membuka peluang besar untuk terus menambah kompetensi teknokratik.

Halaman:
Meuthia Ganie-Rochman
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...