Solusi Pembiayaan Infrastruktur
Kesenjangan infrastruktur menjadi problem perekonomian Indonesia. Kesenjangan ini disebabkan oleh sedikitnya investasi infrastruktur sejak krisis Asia karena pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk subsidi BBM yang relatif tidak produktif, salah target, sangat bias, serta terfokus di Jawa dan Jakarta. Ini mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan terbatasnya kecepatan pemberantasan kemiskinan.
Padahal, untuk meningkatkan produktivitas perekonomian nasional dan menciptakan pertumbuhan ekonomi inklusif, kesenjangan ketersediaan infrastruktur harus diatasi. Data Bank Dunia (2018) menunjukkan laju pertumbuhan tahunan stok barang modal publik per kapita, yang merupakan proksi dari stok infrastruktur, di Indonesia hanya sekitar 2,8 persen selama periode 2005-2015. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan laju pertumbuhan stok barang modal publik di beberapa negara tetangga, seperti Vietnam (10,3 persen) dan Tiongkok (6,7 persen).
Investasi infrastruktur yang lebih tinggi dan memadai bukan hanya dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas. Namun juga diperlukan untuk menurunkan biaya logistik, apalagi bagi negara kepulauan yang sangat luas seperti Indonesia.
Infrastruktur yang lebih baik untuk jasa sosial dasar, seperti sanitasi dan air bersih serta kesehatan dan pendidikan, sangat dibutuhkan untuk membantu masyarakat miskin memperoleh akses terhadap perekonomian agar dapat memperbaiki kesejahteraan mereka.
Ketersediaan infrastruktur juga sejalan dengan Visi Indonesia 2045 yang dikembangkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Visi Indonesia 2045 menekankan skenario laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi disertai pembangunan inklusif yang akan mendorong terjadinya urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota kecil dan menengah.
Bahkan, pada 2035, diperkirakan hampir 90 persen penduduk di Jawa akan tinggal di perkotaan, yang terkonsentrasi di Jakarta-Bandung. Ini akan menciptakan daerah “mega-urban”, yang membutuhkan ketersediaan infrastruktur, termasuk pembiayaannya.
Peningkatan investasi infrastruktur memang diperlukan untuk mengatasi kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang masih besar. Sayangnya, Indonesia menghadapi kendala pembiayaan karena kondisi sektor keuangan yang relatif dangkal dan didominasi oleh sektor perbankan. Kombinasi perbankan domestik dan pasar modal di Indonesia masih terlalu kecil untuk dapat membiayai seluruh kebutuhan infrastruktur.
Fakta menunjukkan sektor perbankan hanya memberikan kredit berjangka pendek (kurang dari 5 tahun). Ini membatasi kemampuan bank membiayai proyek-proyek jangka panjang. Di pasar modal, porsi kapitalisasi pasar saham dan nilai outstanding pasar obligasi Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) memang meningkat. Namun masih kalah dibandingkan dengan negara-negara emerging markets lainnya.
Sedangkan investor institusi domestik, seperti dana pensiun, asuransi, dan reksa dana, masih sulit diharapkan. Sebab, nilai asetnya masih terlalu kecil untuk memegang peran pembiayaan infrastruktur dengan nilai signifikan dalam jangka panjang. Apalagi penetrasi asuransi dan reksa dana di Indonesia masih sangat kecil dibandingkan dengan di negara tetangga sebanding.
Namun, terdapat kabar gembira dalam pembiayaan infrastruktur. Akhir-akhir ini tampak ada peningkatan peran pembiayaan infrastruktur melalui pasar modal. Selama dua-tiga tahun terakhir, jenis-jenis pembiayaan infrastruktur yang baru dan inovatif melalui pasar modal mengalami peningkatan.
Hal ini menunjukkan upaya pendalaman pasar keuangan dalam menciptakan instrumen pembiayaan infrastruktur yang inovatif sangat besar. Karena itu, implementasi proyek infrastruktur pun menjadi lebih cepat.
Inovasi instrumen pasar modal yang baru tersebut dihasilkan oleh bank-bank komersial bersama kepanjangan tangan mereka di bank investasi dan perusahaan sekuritas. Selain untuk membiayai infrastruktur, instrumen tersebut memberikan proteksi atas risiko mata uang melalui instrumen hedging (lindung nilai).
Sebagai contoh, beberapa BUMN infrastruktur telah mengeluarkan instrumen pasar modal untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Contoh produknya: Sekuritisasi Berbasis Aset (KIK EBA), Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), Investasi Real Estate (DIRE), Dana Investasi Infrastruktur (DINFRA), Obligasi Komodo berbasis Rupiah namun dikeluarkan di luar negeri. Kemudian instrumen untuk kebutuhan lindung nilai adalah opsi “call spread” dan forward tanpa penyerahan domestik (domestic NDF).
Kehadiran beragam instrumen keuangan baru yang memperdalam pasar keuangan tersebut merupakan hasil dari upaya ekstrakeras pemerintah bersama regulator dalam melakukan reformasi. Contohnya, reformasi perpajakan yang menghilangkan pengenaan pajak berganda atas Kontrak Investasi Kolektif (KIK).
Ke depan, tentu saja tidak cukup hanya mengandalkan instrumen-instrumen tersebut. Beberapa jenis instrumen pembiayaan lainnya memang sedang dipersiapkan. Misalnya, perpetual bonds, obligasi daerah (municipal bonds), dan skema asset recycling. Jenis-jenis instrumen pembiayaan seperti ini sangatlah relevan sekarang ini dan mungkin masih akan tetap relevan serta layak untuk dua dekade mendatang.
Namun yang juga perlu dilakukan adalah mencari pembiayaan alternatif dan inovatif dari sektor swasta dan bentuk kerja sama pembiayaan dengan lembaga multinasional lainnya. Ini diperlukan untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur. Menurut Bank Dunia, keterlibatan swasta bukan hanya akan mempercepat pembangunan infrastruktur, tapi juga meningkatkan efisiensi operasional serta menghasilkan kualitas pelayanan yang lebih tinggi bagi pengguna akhir.
Saat ini pemerintah memang terlihat memberikan peran besar kepada BUMN dalam membangun infrastruktur, termasuk memberikan suntikan modal dan penjaminan. Di mata Bank Dunia, BUMN memang dapat melaksanakan proyek infrastruktur prioritas dengan lebih cepat, menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap risiko regulasi dan keuangan, serta bisa menjalankan proyek yang kurang viable sebagai mandat pembangunan.
Sayangnya, beberapa BUMN terlihat kurang dikelola secara profesional dan kurang menjalankan praktik tata kelola perusahaan yang baik. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong BUMN agar memperbaiki praktik tata kelola perusahaan guna meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas BUMN serta meningkatkan kemampuan membangun proyek bersama sektor swasta.
Pada Oktober 2018, melalui sebuah forum investasi terbuka di Bali, BUMN berupaya menjaring minat investor swasta dalam dan luar negeri untuk ikut berkolaborasi dalam membangun proyek-proyek infrastruktur.
Namun, untuk menarik pembiayaan dari sektor swasta, setidaknya terdapat tiga pendekatan yang perlu dilakukan: (i) menurunkan risiko investasi, (ii) meningkatkan tingkat pengembalian (returns) untuk jenis-jenis pembiayaan alternatif yang baru, (iii) perbaikan infrastruktur pasar sebagai bagian dari proses pendalaman pasar sektor keuangan.
Sejauh ini pemerintah telah melakukan sejumlah reformasi untuk mengurangi risiko investasi bagi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur. Tiga pilar reformasi tersebut mencakup tiga hal. Pertama, reformasi fiskal dan pemberian insentif fiskal. Contohnya, menyediakan viability gap funding untuk menaikkan tingkat kelayakan proyek infrastruktur serta menyediakan dana bergulir untuk penyediaan lahan (land revolving funds).
Kedua, mendirikan enam institusi utama untuk mengkoordinasikan dan mempercepat pembangunan infrastruktur. Beberapa di antaranya adalah Komite Percepatan untuk Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP); PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI), yang menyediakan pendanaan proyek infrastruktur; Indonesia Infrastructure Guarantee Funds, yang menyediakan penjaminan bagi proyek PPP; dan Badan Layanan Umum Lembaga Manajemen Aset Negara (BLU LMAN), yang menyediakan dana untuk lahan bagi proyek strategis nasional.
Ketiga, membuat dan reformasi peraturan untuk membantu mempercepat implementasi proyek infrastruktur, seperti tersusunnya undang-undang dan peraturan pemerintah terkait akuisisi lahan dan pembayaran kompensasi bagi rumah tangga yang terdampak.
Meski sudah ada beberapa reformasi dari pemerintah, beberapa kendala lain yang menghambat investasi swasta juga perlu diperhatikan. Kendala tersebut mencakup peta hukum PPP yang kompleks, proses identifikasi dan persiapan proyek yang buruk, akses pembiayaan rupiah yang sulit, proyek kurang layak secara komersial, serta pendanaan pemerintah yang tidak cukup untuk menutupi viability gap.
Di luar itu, ada beberapa pendekatan alternatif pembiayaan yang mungkin berguna bagi pembangunan infrastruktur di masa depan.
- Spillover-effect-led fiscal incentives atau disebut juga DID (difference in difference) untuk meningkatkan imbal hasil investasi swasta (Yoshino, 2018). Ide dasarnya adalah pemerintah memberikan kembali sebagian dari peningkatan pendapatan pajak dari efek limpahan perkembangan ekonomi akibat pembangunan proyek infrastruktur di satu wilayah.
- Ini akan meningkatkan imbal hasil proyek bagi investor sehingga mereka semakin tertarik untuk berinvestasi di proyek tersebut. Upaya ini bisa dilakukan dengan membuat program turunan untuk mendukung usaha kecil di wilayah yang dekat pembangunan proyek tersebut. Caranya, menggunakan “Home Investment Trust Funds” sejenis crowdfunding untuk sektor usaha kecil.
- Kerja sama bilateral antara Indonesia dan Jepang untuk mendorong keterlibatan lebih besar perusahaan-perusahaan infrastruktur Jepang dengan cara mengakses dana Fiscal and Investment and Loan Program (FILP) dari pemerintah Jepang. Kerja sama ini dimungkinkan dengan semakin terbukanya akses investor swasta internasional dan domestik untuk bekerja sama dengan BUMN infrastruktur Indonesia. Program FILP memberi kesempatan kepada perusahaan infrastruktur Jepang di luar negeri untuk mendapatkan pembiayaan.
- Pengembangan obligasi daerah (municipal bonds) untuk beberapa daerah di Indonesia yang dianggap sudah cukup siap untuk membiayai infrastruktur. Contohnya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Indonesia bisa belajar dari Jepang dalam pengembangan penerbitan obligasi daerah dan peningkatan kualitas pemda.
- Pengembangan blended finance yang bersumber dari dana-dana development finance agencies dan philanthropist untuk memobilisasi arus modal swasta ke emerging markets dan frontier economies. Langkah ini dapat memberikan hasil positif bagi investor dan masyarakat.
- Skema ini dapat meningkatkan pembiayaan komersial untuk negara berkembang yang bisa disalurkan untuk membiayai investasi yang memberikan dampak pembangunan. Misalnya dalam konteks SDG (Sustainable Development Goals). Kementerian Keuangan baru-baru ini mendirikan SDG Indonesia One melalui PT Sarana Multi Infrastruktur sebagai perantara, partner, co-financier, pengelola dana, dan pelaksana infrastruktur melalui blended finance.
- Peran pemda dalam mengembangkan smart cities yang memberikan penekanan pada pengembangan infrastruktur yang ramah lingkungan, termasuk menggunakan energi yang terbarukan. Green bonds, carbon tax, dan cap and trade for sustainability merupakan instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai pembangunan infrastruktur ramah lingkungan. CEPAC bonds di Brasil menjadi contoh instrumen pembiayaan inovasi yang mengkombinasikan value capture, development exaction, dan air rights sale approaches. Sebenarnya prinsip dasar dari CEPAC ini pernah digunakan oleh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam membangun Jalan Layang Lingkar Semanggi.
- Contoh lain dari smart city financing adalah proyek Owl Bus di Seoul pada 2013. Pemerintah Kota Seoul menyediakan “a smart demand based night time bus” untuk penduduk berpendapatan rendah dan menengah dengan cara menganalisis pemesanan taksi dan mengidentifikasi wilayah yang tinggi permintaan jasa kendaraan pada malam hari. Data diperoleh dari pengemudi taksi menyangkut transaksi kartu kredit oleh penumpang. Sebagai imbalannya, pengemudi taksi mendapatkan pengurangan service charge atas transaksi kartu kredit. Dengan dasar data tersebut, Pemerintah Kota Seoul menyediakan Owl Bus yang beroperasi malam hari di tempat yang tinggi permintaan jasa kendaraannya.
- Sambil memandang ke depan, ke tahun 2045, kita perkirakan bahwa peran teknologi blockchain (untuk memperlancar proses pemberian syndicated loans) dan financial technology (fintech) mungkin bisa digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur. Sebab, skema ini juga dapat meningkatkan efisiensi dalam prosesnya.
(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.