Kita Tidak Sedang Krisis Besar, tapi Harus Hati-hati

Luhut Pandjaitan
Oleh Luhut Binsar Pandjaitan
7 September 2019, 09:37
Luhut Pandjaitan
Ilustrator Joshua Siringo ringo
Pemandangan gedung bertingkat terlihat dari ketinggian di Jakarta, Jumat (9/8/2019). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II tahun 2019 sebesar 5,05 persen (year on year/yoy), atau lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 5,27 persen (yoy).

Pada tahun 2045, Republik Indonesia akan berusia satu abad alias 100 tahun. Sulit membayangkan bagaimana negara tercinta kita akan berbentuk nantinya. Bila kita pakai tolok ukur durasi kepemerintahan, setelah berakhirnya periode kedua kepemimpinan Pak Joko Widodo bersama K.H. Ma’ruf Amin pada 2024, kita masih mengalami empat kali pemilihan Presiden RI lagi sebelum usia negara mencapai 100 tahun.

Meskipun demikian, Presiden Joko Widodo berani memprediksi, pada 2045, ekonomi Indonesia akan memasuki era keemasan, yakni masa ketika Indonesia akan menempati posisi ke-4 terbesar dunia, setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.

Saya pribadi setuju bahwa ekonomi Indonesia menjadi 4 besar dunia pada 2045 (dan bukan “sekadar” 5 besar dunia). Menurut saya, tidak aneh jika Produk Domestik Bruto (PDB) kita saat itu bisa mendekati US$ 20 triliun. Sebab, pada 2030 saja, Standard Chartered meramalkan PDB Indonesia akan sebesar US$ 10 triliun.

Saya pikir kenyataannya dapat lebih besar karena proyeksi tersebut masih didasarkan pada asumsi pertumbuhan PDB riil sebesar 6 persen atau PDB nominal 10 persen, yang belum memperhitungkan pertumbuhan industri nilai tambah (value added).

Contohnya industri nikel. Berpuluh-puluh tahun lalu kita hanya mengekspor bahan mentah dengan nilai kira-kira US$ 350 juta per tahun. Dengan adanya industri di Morowali, yang mengolah nikel menjadi stainless steel dan carbon steel, dihasilkan sales revenue US$ 5 miliar pada 2018 dan diproyeksikan meningkat sampai menjadi US$ 7 miliar (2019), US$ 12 miliar (2020), dan US$ 15 miliar (2024).

Ini adalah model yang saat ini kita kembangkan terus, yakni peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi bahan mentah, seperti bijih nikel menjadi produk bernilai tinggi seperti stainless steel dan carbon steel. Padahal kita belum bicara produk-produk turunan lainnya, seperti baterai litium ataupun industri serupa di kawasan lain Indonesia.

Tetapi, selain optimisme yang saya kemukakan tadi, kita harus berhati-hati memperhitungkan berbagai surprises (kejutan) yang merupakan bagian dari dinamika ekonomi dan politik dunia.

Secara global, recovery pertumbuhan ekonomi dunia yang berjalan baik dalam satu tahun terakhir 2017, saat ini terancam oleh trade war yang dipicu oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap mitra dagang utama mereka, seperti Tiongkok, Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada, dengan cara menaikkan tarif impor barang-barang dari negara-negara tersebut. Bahkan perang dagang antara AS dan Tiongkok kini memasuki jilid kedua.

Negara Tiongkok mengancam akan membalas balik tindakan Trump. Hal inilah yang menyebabkan kekhawatiran bahwa pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai membaik akan melambat atau bahkan memasuki tahap resesi.

Ekspor Impor
Ekspor Impor (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Tiongkok, yang menjadi target utama trade war Trump, telah mendepresiasikan mata uangnya secara signifikan untuk menjaga harga barangnya tetap kompetitif di pasar Amerika Serikat. Dampak depresiasi yuan terhadap dolar Amerika juga memicu depresiasi mata uang negara-negara berkembang lainnya. Hal ini pulalah yang menjadi salah satu faktor utama depresiasi rupiah sejak Maret tahun ini.

Selain perang dagang Trump, krisis di beberapa negara berkembang juga memiliki pengaruh terhadap pelemahan rupiah. Turki salah satunya. Inflasi yang hampir mencapai 18 persen dan utang luar negeri yang mencapai 53 persen dari total PDB menyebabkan tekanan depresiasi terhadap mata uang lira, yang per 31 Agustus lalu mencapai 42 persen.

Hal ini kemudian diperburuk oleh rendahnya kredibilitas pemerintah Turki di mata investor akibat intervensi yang dilakukan Erdogan dengan melarang bank sentral menaikkan suku bunga, padahal inflasi sudah melambung tinggi. Selain itu, Erdogan menunjuk menantunya sendiri menjadi menteri keuangannya.

Di samping Turki, Argentina mengalami krisis yang cukup parah. Terdepresiasinya mata uang peso sebesar 53 persen dan tingkat inflasi yang mencapai 28 persen memaksa bank sentral negara itu menaikkan suku bunga menjadi 60 persen dan meminta talangan IMF sebesar US$ 50 miliar.

Selain Turki dan Argentina, negara berkembang lain yang mengalami depresiasi signifikan per 31 Agustus antara lain Afrika Selatan (15,8 persen), Rusia (15,5 persen), India (9,9 persen), Cile (9,3 persen), Filipina (6,7 persen), dan Indonesia (7,8 persen).

Hal inilah yang menjadi salah satu karakteristik negara-negara berkembang, di mana investor internasional menganggap mereka berada dalam satu keranjang yang sama. Jika ada satu-dua negara berkembang yang bermasalah, para investor ini cenderung mengambil langkah berjaga-jaga dengan menarik investasi mereka dari seluruh negara berkembang. Akibatnya, kurs mata uang akan terdepresiasi bersama-sama.

Namun, saya tidak melihat Indonesia sekarang ini berada dalam keadaan krisis besar. Kalau dibilang kita harus berhati-hati, itu betul. Atau jika dikatakan bahwa pemerintah melakukan koordinasi dengan sangat intens, itu juga betul.

Tapi tidak perlu khawatir berlebih bahwa krisis 1998 akan terulang lagi. Sebab, kondisi sekarang sangat berbeda dibandingkan dengan pada 1998.

Seperti diketahui, pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa “bonus demografi”, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk, yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa.

Sebagai catatan, pada 2045 itu pula jumlah penduduk dunia akan mencapai 9,5 miliar jiwa. Kita boleh katakan bahwa penduduk yang jumlahnya besar itu adalah sumber utama pertumbuhan ekonomi (engine of growth) karena penduduk Indonesia menjadi salah satu konsumen terbesar di dunia.

Agar Indonesia dapat memetik manfaat maksimal dari bonus demografi, ketersediaan sumber daya manusia usia produktif yang berlimpah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas dari sisi pendidikan dan keterampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.

Adalah sebuah pemikiran jauh ke depan yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam masa pemerintahannya yang kedua (2019-2024) mencanangkan untuk fokus serta anggaran yang lebih besar pada pembangunan human capital atau SDM. Beliau juga sadar pentingnya bersiap menghadapi Revolusi Industri 4.0.

Implementasi Revolusi Industri 4.0 tidak hanya memiliki potensi luar biasa dalam merombak aspek industri, tapi juga mampu mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Kita punya pasar dalam negeri yang kuat, dan akan punya banyak talenta dari jumlah universitas yang ada, berbagai politeknik modern, serta pusat-pusat pendidikan keterampilan/kejuruan, sehingga tersedia sebuah pool of talent yang bermutu.

Jadi langkah dasar yang sudah diawali oleh Indonesia, yakni meningkatkan kompetensi sumber daya manusia, antara lain melalui program link and match dunia pendidikan dengan industri.

Upaya ini dilaksanakan secara sinergis di antara berbagai lembaga terkait, seperti Bappenas, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Dengan menerapkan Revolusi Industri 4.0, kita yakin aspirasi besar nasional dapat tercapai. Aspirasi tersebut secara garis besar adalah membawa Indonesia menjadi 10 besar ekonomi pada 2030, mengembalikan angka net export industri 10 persen, meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga dua kali lipat dibanding peningkatan biaya tenaga kerja, serta mengalokasikan 2 persen dari GDP untuk aktivitas R&D (research and development) teknologi dan inovasi atau tujuh kali lipat dari saat ini.

*

Presiden Joko Widodo sangat serius mewujudkan Poros Maritim Indonesia. Dalam pidato pertamanya ketika dilantik menjadi Presiden RI pada 20 Oktober 2014, beliau tegas menyatakan, “Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, selat, dan teluk.”

Tol Laut
Tol Laut (Arief Kamaludin|Katadata)

Dikatakan selanjutnya, ini adalah momentum bagi Indonesia untuk mengembalikan kejayaan di laut dan samudera, “Sehingga Jalesveva Jayamahe, di laut kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu kembali membahana.”

Dalam sambutannya di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Myanmar pada 13 November 2015, Presiden kembali menegaskan tekad menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. “Saya memilih forum ini untuk menyampaikan gagasan saya tentang Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dan harapan saya tentang peran KTT Asia Timur ke depan.”

Saya kutipkan di sini:

“Laut akan semakin penting artinya bagi masa depan kita. Jalur laut yang menghubungkan dua samudera strategis—Samudera Hindia dan Samudera Pasifik—merupakan jalur penting bagi lalu lintas perdagangan dunia. Tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan “lorong” lalu lintas maritim dunia. Dua samudera strategis itu juga menyimpan kekayaan besar—energi dan sumber daya laut lainnya—yang akan menentukan masa depan kemakmuran di kawasan. Indonesia berada tepat di tengah-tengah proses perubahan strategis itu, baik secara geografis, geopolitik, maupun geo-ekonomi. Oleh karena itu, sebagai negara maritim, Indonesia harus menegaskan dirinya sebagai Poros Maritim Dunia, sebagai kekuatan yang berada di antara dua samudera: Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.”

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Presiden Jokowi memaparkan lima pilar utama yang akan menjadikan Indonesia mewujudkan cita-citanya sebagai Poros Maritim Dunia. Kelima pilar itu, pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia.

“Sebagai negara yang terdiri atas 17 ribu pulau, bangsa Indonesia harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa yang identitasnya, kemakmurannya, dan masa depannya sangat ditentukan oleh bagaimana kita mengelola samudra,” katanya.

Pilar kedua adalah komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. “Kekayaan maritim kami akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat kami.”

Pilar ketiga adalah komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim.

Pilar keempat adalah diplomasi maritim, yang mengajak semua mitra Indonesia bekerja sama di bidang kelautan. “Bersama-sama kita harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut,” ujarnya.

Pilar kelima, sebagai negara yang menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim.

Sebagai sebuah nomenklatur baru yang dibentuk bersama kelahiran Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, kita semua di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mendapat tugas yang sangat berat untuk merumuskan visi dan misi Presiden Jokowi itu menjadi rencana aksi yang bisa diimplementasikan secepat mungkin dan itu meliputi beberapa isu utama yang berkaitan dengan ekonomi maritim, budaya bahari, dan kedaulatan maritim Indonesia.

Beberapa waktu lalu, saya menghadiri Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference) yang dilaksanakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Dalam konferensi tersebut, mewakili Indonesia, saya mendapat kehormatan untuk duduk sebagai Co-Chair dan sekaligus mewakili seluruh negara di kawasan Asia-Pasifik.

Pada kesempatan itu, saya selaku juga Ketua Delegasi RI membawa sejumlah agenda kepentingan nasional Indonesia, di antaranya Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dan penanganan sampah plastik di laut serta menawarkan kerja sama penanganannya.

Pengalaman di atas menunjukkan bahwa visi maritim Indonesia yang diangkat oleh Presiden Joko Widodo telah mendapat perhatian serta apresiasi dunia internasional. Ini berarti visi kemaritiman ini sudah sepatutnya diimplementasikan oleh seluruh komponen negara dalam mendukung pencapaian tujuan nasional.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman RI mencoba menerjemahkan narasi besar Presiden di atas dengan tiga butir misi pembangunan maritim dan sumber daya alam. Pertama adalah memperkuat jati diri Indonesia sebagai negara kepulauan dan bangsa bahari yang berdaulat dan berkarakter budaya Nusantara.

Kedua, meningkatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan anak bangsa sepanjang masa. Ketiga, mempercepat penyediaan serta pemerataan infrastruktur dan konektivitas untuk pengembangan wilayah yang selaras dalam satu kesatuan ruang.

Karena itulah, kami telah juga merumuskan lima Poros Maritim Dunia untuk dijadikan acuan utama dalam ocean policy kita. Satu, membangun kembali budaya maritim Indonesia. Dua, menjaga dan mengelola sumber daya laut kita. Tiga, memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim. Empat, mengembangkan diplomasi maritim, membangun kemitraan. Lima, membangun kekuatan pertahanan maritim.

Kami memang bertekad membangun kembali budaya maritim Indonesia karena sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa kerajaan-kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara dengan cakupan wilayahnya jauh menyeberang samudera hingga Pulau Madagaskar, umumnya memiliki karakter sebagai sebuah bangsa maritim. Bangsa-bangsa penjajah dari Eropa yang datang ke Nusantara mulai abad ke-16 menyadari karakter demikian tidak mungkin atau sulit untuk dijajah atau dikuasai.

Oleh karena itu, pihak penjajah, yang umumnya juga merupakan bangsa maritim, selalu berusaha melakukan penghancuran jati diri bangsa ini dan dengan segala cara mengubah karakter bangsa maritim kita menjadi orang-orang berwawasan kontinental, inward-looking, dan terpecah-belah.

*

Sidang Kabinet Paripurna
Sidang Kabinet Paripurna (ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

Saya ingin katakan bahwa Indonesia 2014-2019 dan Indonesia 2019-2024 tidak akan banyak berbeda dalam gaya kepemimpinannya. Tetapi, bila dibandingkan dengan Indonesia sebelumnya, ada perbedaan yang cukup mencolok.

Pembeda utama terletak pada sosok pemimpinnya. Pemimpin sekarang (dan juga lima tahun ke depan), Pak Jokowi, tidak korupsi. Pak Jokowi, menurut hemat saya, adalah seorang pemimpin yang sederhana, memberikan contoh baik, dirinya maupun keluarganya tidak terlibat bisnis dengan pemerintah. Sehingga saya dan para pembantunya pun tidak ada bisnis apa pun dalam pemerintahan. Karena prinsip keteladanan, yang saya percayai sebagai perwira, adalah kata kunci dari suatu leadership.

Selain Pak Jokowi, dari sisi pemerintahan sekarang kita juga memiliki Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, yang kredibilitasnya di mata dunia tidak diragukan lagi. Hal-hal tersebutlah yang menjadi salah satu tumpuan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.

Perbedaan kedua adalah pada sisi fundamental ekonomi sekarang yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi mencapai 5,27 persen pada kuartal kedua 2018, tertinggi sejak 2014. Inflasi pun masih terkendali pada angka 3,20 persen per Agustus 2018. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga cukup baik.

Rasio utang luar negeri kita juga cukup rendah pada 34 persen (60 persen pada periode 1997-1998). Ekonomi kita pun sebagian besar didorong oleh sektor domestik dan investasi, hanya sekitar 20 persen kontribusi ekspor terhadap PDB kita. Hal ini akan meminimalkan dampak ketidakpastian ekonomi dunia seandainya terus berlanjut.

(Artikel ini disunting dari buku “Menuju 5 Besar Dunia” yang dirilis di Jakarta pada 12 September 2019.)

Luhut Pandjaitan
Luhut Binsar Pandjaitan
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman RI
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...