Kalutnya Dunia Penerbangan Nasional di Tengah Pandemi Covid-19
Maskapai penerbangan dan operator bandara terdampak serius akibat pandemi Covid-19. Berkurangnya frekuensi penerbangan terjadwal atau scheduled flight secara drastis dalam dua bulan terakhir tanpa kejelasan waktu mengakibatkan banyak kru pesawat dirumahkan. Pemotongan gaji hingga PHK tampil sebagai opsi.
Fenomena global tersebut juga terjadi pada maskapai Indonesia. Kontras dengan dua operator bandara nasional, yakni Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II, yang menyatakan tidak ada pemotongan gaji maupun PHK bagi karyawannya. Perampingan struktur organisasi menjadi jalan keluar mereka (Katadata.co.id, 22/4).
Dewasa ini banyak negara telah menutup atau mengerem frekuensi penerbangan internasional guna menekan penyebaran virus corona. Beberapa negara, salah satunya Australia, bahkan mempertimbangkan hingga akhir tahun.
Berkaca dari kebijakan tersebut, upaya pemulihan industri penerbangan global akan bertumpu kepada penerbangan domestik. International Air Transport Association (IATA) memprediksi kuartal ketiga tahun ini menjadi tolak awal pemulihan penerbangan domestik dengan catatan situasi kondusif. Pemulihan penerbangan internasional diperkirakan memerlukan waktu lebih lama.
Salah satu tantangan hingga dan ketika memasuki masa pemulihan ialah arus kas (cashflow) maskapai. Permintaan tinggi akan pengembalian dana (refund) tiket pesawat berpotensi mengganggu strategi pemulihan. Tidak heran IATA lebih menyukai penggantian jadwal (reschedule) ketimbang pembatalan penerbangan yang berujung refund agar upaya maskapai tidak layu sebelum berkembang.
Berbicara soal refund, keberadaan opsi ini lumrah dijumpai sebagai wujud hak penumpang maskapai penerbangan. Perihal ini erat bersinggungan dengan hukum perlindungan konsumen dan umumnya termuat secara khusus dalam hukum udara perdata. Logisnya refund berakhir dengan uang tunai. Peraturan beberapa negara yang pro-konsumen berbicara demikian.
(Baca: Tertekan Corona, Maskapai Milik Susi Pudjiastuti Pangkas Gaji Karyawan)
Menjadi soal ketika refund berujung dengan kupon yang hanya dapat digunakan untuk pembelian produk atau terbang dengan maskapai tersebut. Pandemi Covid-19 memang dapat dilihat sebagai suatu keadaan memaksa (force majeure), tetapi belum tentu membenarkan opsi refund dengan kupon ketimbang uang tunai.
Asa Dunia Penerbangan di Indonesia
Indonesia memiliki secerah harapan untuk lebih cepat bangkit mengingat jumlah penerbangan domestik yang signifikan ketimbang penerbangan internasional. Sebagai gambaran, jumlahnya sekitar 96 juta berbanding 19 juta penumpang pada tahun 2017.
Kontur geografis yang meminimalkan alternatif terhadap moda transportasi udara hingga pengembangan bandara di penjuru Nusantara belakangan ini merupakan modal. Suatu kesempatan yang tidak dimiliki Brunei Darussalam dan Singapura, misalnya, di mana mereka hanya melayani penerbangan internasional sehingga sangat tergantung dengan negara tujuan.
Pemerintah Indonesia telah melarang sementara penerbangan domestik melalui bandara dari dan ke wilayah yang ditetapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maupun zona merah hingga 31 Mei 2020. Kebijakan ini menambah beban maskapai serta operator bandara mengingat sejumlah hub besar layaknya Jakarta (CGK dan HLP), Makassar (UPG), dan Surabaya (SUB) termasuk dalam larangan.
Penerbangan domestik berjadwal akan jauh dari melayani rute gemuk. Alhasil, maskapai berupaya banting setir mengoptimalkan layanan kargo setelah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 mengecualikan untuk melayani wilayah yang termasuk PSBB maupun zona merah.
Pandemi Covid-19 sendiri mengenalkan suatu ‘produk’ baru dalam dunia penerbangan. Salah satunya, pemisahan tempat duduk penumpang selang satu bangku diberlakukan atas dasar protokol kesehatan. Kultur ini mengubah sementara definisi pesawat penuh mengacu perhitungan passenger load factor. Hal ini juga tergantung rute yang dilayani -domestik atau internasional.
Alhasil, maskapai tidak akan maksimal menerbangkan penumpang begitupula dalam memperoleh pendapatan. Dampak ini kemudian akan dirasakan serta mengurangi pemasukan bandara. Entah sampai kapan, semoga maksimal kuartal tiga atau empat tahun ini guna menghindari dampak lebih buruk bagi para pegawai serta mata penaharian yang bergantung darinya.
Pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap upaya pemulihan industri penerbangan nasional melalui rute domestik. Hal ini penting mengingat besar kemungkinan Indonesia belum dapat bergantung kepada rute internasional seperti ke Australia dan RRC hingga akhir tahun. ASEAN Open Skies juga belum memberikan kepastian meskipun traffic rights jelas tersedia.
(Baca: Grup Lion Air Terbang Lagi dengan Izin Khusus per 3 Mei, Ini Syaratnya)
Turisme Indonesia yang mengandalkan wisatawan mancanegara dari tetangga terdekat, Australia, tampaknya akan mengalami masa sulit jika kebijakan negeri kangguru berakhir dengan isolasi hingga akhir tahun. Secara total, wisatawan Australia mencatatkan 1,37 juta kunjungan sepanjang 2019. Mayoritas wisatawan Australia itu, 1,23 juta orang mendatangi Bali.
Wisatawan Malaysia dan RRC mencatatkan kunjungan terbanyak sepanjang 2019, berturut-turut dengan 2,98 dan 2,07 juta kunjungan. Instrumen hukum yang mendasari frekuensi penerbangan tanpa batas antara Indonesia-Malaysia telah tersedia melalui ASEAN Open Skies. Namun, terbatas hanya untuk lima kota yaitu Bali, Jakarta, Makassar, Medan, dan Surabaya. Sangat mungkin terdapat restriksi frekuensi penerbangan menuju titik lain di Indonesia. Ini momentum bagi pemerintah Indonesia untuk meninjaunya kembali.
Berbicara upaya mendatangkan wisatawan RRC, instrumen ASEAN-China Open Skies telah berlaku. Situasi lebih ketat mengingat seluruh negara ASEAN memperoleh hak yang sama. Alhasil, Indonesia bersaing ketat dengan Malaysia, Thailand, Singapura, dan Vietnam dalam memperebutkan wisatawan RRC. Pemerintah Indonesia perlu mempersiapkan strategi guna mengamankan kedatangan wisatawan Malaysia dan RRC saat situasi kembali normal.
Kekhawatiran serupa melanda maskapai nasional yang menggarap penerbangan charter untuk haji dan umrah. Belum ada kata pasti mengingat sangat bergantung kepada perkembangan pandemi.
Memperhatikan kondisi di atas, pemerintah Indonesia perlu mengupayakan penyelamatan maskapai nasional. Selain melalui suntikan dana, opsi lain ialah membeli tiket dalam jumlah banyak walau belum pasti waktu penggunaannya. Hal seperti ini sempat muncul dari proposal bagi pemerintah Hong Kong untuk membeli tiket maskapai nasionalnya secara besar-besaran. Tujuan akhir tidak lain menjamin keberlangsungan hidup karyawan.
Beberapa negara telah menyuntikkan dana dengan menekankan persyaratan terhadap keberlangsungan kontrak kerja karyawan, di antaranya Amerika Serikat, Belanda, Prancis. Mereka memandang industri penerbangan sebagai suatu global supply chain yang harus dipertahankan serta siap sedia mendorong pertumbuhan ekonomi ketika pandemi berakhir.
Turisme yang kini menjadi salah satu sumber pemasukan utama negara semakin bergantung kepada moda transportasi udara. Alhasil, penting untuk menjamin kesiapan operasional maskapai nasional dan bandara.
Upaya penyelamatan maskapai tidak hanya berbicara lingkup nasional, tetapi skala global. Setengah pesawat yang dioperasikan maskapai di dunia bukan milik sendiri, tetapi merupakan aset perusahaan leasing pesawat. Bangkrutnya mereka akan makin menyulitkan upaya pemulihan industri penerbangan global.
Partisipasi pemerintah dibutuhkan sebagai wujud solidaritas terhadap sesama pemangku kepentingan. Maskapai akan terbantu membayarkan kewajibannya, kemudian secara paralel hak karyawan dan konsumen berpotensi lebih terlindungi.
Sebagai berkah tersamar, selamat beristirahat sejenak Bumi dari emisi karbon pesawat terbang!
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.