Pandemi dan Disrupsi Perdagangan Internasional

Subagio Effendi, Peneliti University of Technology Sydney, Australia
Oleh Subagio Effendi
2 Juni 2020, 09:22
Subagio Effendi, Peneliti University of Technology Sydney, Australia
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (15/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit 350 juta dolar AS secara bulanan pada April 2020 di tengah pandemi COVID-19 yang berbanding terbalik dari Maret 2020 yang surplus 743 juta dolar AS.

Wabah pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) terus menyebar dengan cepat ke hampir semua negara di dunia. Berdasarkan catatan Johns Hopkins University and Medicine hingga tulisan ini dibuat (27 Mei 2020), total penderita Covid-19 telah mencapai lebih dari 5,5 juta orang dengan persentase kesembuhan dan kematian masing-masing sebesar 40,91% dan 6,26%.

Di Indonesia, laju kontaminasi Covid-19 masih berlangsung dengan masif di berbagai wilayah dengan total kasus mencapai 23.165 orang dan persentase kematian 6,12%, sedikit lebih rendah dari global mortality rate.

Selain menciptakan krisis kesehatan global, upaya supresi dan mitigasi pandemi Covid-19 juga menimbulkan disrupsi yang kuat pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), kebijakan lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktifitas produksi.

Kebijakan ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan air dan udara yang menghambat distribusi barang antar negara. Laporan International Air Transport Association menunjukan penurunan kuantitas transportasi kargo internasional (belly-hold dan freighters) sampai dengan bulan Maret 2020 sebesar 23% secara year-on-year dengan estimasi kerugian mencapai US$ 1,6 miliar.

(Baca: Dampak Trump Cabut Status Khusus Hong Kong Bagi Ekonomi AS & Tiongkok)

Lebih lanjut, keputusan negara untuk menerapkan pembatasan ekspor (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. World Trade Organization mencatat 80 negara dan otoritas kepabeanan telah menerapkan export restrictions atas perlengkapan medis, bahan pangan, serta kertas toilet termasuk didalamnya negara-negara yang menjadi ‘lumbung’ pangan dunia seperti Rusia, Vietnam, dan Argentina.

Dari sisi permintaan (demand), perubahan preferensi konsumsi akibat Covid-19 menyebabkan mismatch antara penawaran dan permintaan. Untuk makanan, misalnya, studi terbaru dari Food and Agriculture Organization menemukan peningkatan minat konsumen terhadap produk makanan yang memiliki cangkang atau kulit serta dikemas dengan rapat.

Bahkan, konsumen di beberapa negara tidak segan untuk menolak produk makanan yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, kebijakan lockdown mengharuskan pemerintah menutup pasar tradisional sehingga membatasi akses konsumen terhadap bahan pangan yang mengakibatkan peningkatan food waste.

(Baca: Sektor Retail, Otomotif & Manufaktur Jepang Anjlok Diterjang Pandemi)

CHINA-ECONOMY
Ilustrasi perdagangan internasional, ekspor-impor. (ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer)

Permasalahan ganda di sisi supply dan demand membuat premis comparative advantage (David Ricardo, 1817) yang menjadi fondasi ekonomi pasar bebas dan perdagangan internasional menjadi diragukan validitasnya.

Premis klasik yang berargumen bahwa social welfare akan optimal jika negara melakukan spesialisasi dengan memproduksi barang yang memiliki opportunity cost terendah sesuai ketersediaan faktor produksi serta membeli kebutuhan lainnya di pasar internasional, nampaknya hanya absah bila mekanisme perdagangan internasional tidak terdisrupsi.

Sebaliknya, dalam kondisi terjadi supply and demand shocks semua negara akan berusaha memproduksi seluruh kebutuhannya di dalam negeri dan sedapat mungkin membatasi ekspor produknya ke luar negeri.

(Baca: Kadin Prediksi Ekspor dan Konsumsi Pulih Perlahan saat Fase New Normal)

Beberapa negara berkembang bahkan telah mengadopsi konsep Food Sovereignty and Solidarity yang memberikan hak konstitusional kepada rakyat untuk menentukan pilihan produksi dan konsumsi pangan yang terbaik termasuk penerapan sistem agrikultur yang sesuai dengan sumber daya dan kearifan lokal.

Dalam konsep ini, produk pangan ditempatkan sebagai bagian dari solidaritas kemanusiaan sehingga terbebas dari semua ketentuan ekonomi pasar dan perdagangan internasional. Indonesia telah mengadopsi konsepsi kedaulatan pangan melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan namun belum diterapkan secara holistik.

Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di masa resesi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan.

Badan Pusat Statistik mencatat total impor minyak bumi, beras, gandum, daging, dan kedelai pada tahun 2019 masing-masing mencapai 40.926, 444, 10.692, 262, dan 2.670 ribu ton. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi.

Karena itu, pemerintah perlu segera melakukan langkah strategis untuk meminimalisir dampak disrupsi perdagangan sekaligus mencegah krisis kesehatan berkembang menjadi krisis pangan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan: pertama, meningkatkan produktifitas sektor pertanian domestik dengan intensifikasi proses produksi dan peningkatan stimulus ekonomi untuk industri dan kelompok petani.

(Baca: Strategi Pemerintah Pulihkan Industri Manufaktur Pasca PSBB )

Kedua, meminimalisir disrupsi di rantai pasokan domestik dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Pemerintah, melalui kerja sama dengan penyedia jasa e-commerce, dapat mentransformasi sistem referensi harga pangan milik Kementerian Pertanian dan sistem informasi Badan Usaha Milik Desa milik Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal menjadi integrated food marketplace yang mempertemukan produsen dan konsumen dengan harga terbaik.

Ketiga, mengoptimalkan peran food banks (Perum Bulog dan koperasi milik pemerintah daerah) untuk melakukan fungsi manajemen persediaan pangan, stabilisasi harga, dan distribusi. Keempat, merelaksasi pungutan bea masuk serta non-tariff barriers (kuota dan persetujuan impor) atas produk esensial.

Kelima, mengafirmasi komitmen para mitra dagang di kawasan, terutama negara-negara produsen bahan pangan, seperti Australia, Thailand, Vietnam, dan Myanmar untuk tetap memberikan akses pasar dan tidak melakukan export restrictions.

Subagio Effendi, Peneliti University of Technology Sydney, Australia
Subagio Effendi
Peneliti University of Technology Sydney, Australia
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...