Pemulihan Lapisan Ozon Turut Meredam Emisi CO2 di Atmosfer

Paul Young
Oleh Paul Young
18 September 2021, 09:30
Paul Young
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Ilustrasi karbon, CO2

Pada musim semi 2060, seorang bocah dengan topi lebar, kacamata hitam, dan kulit yang hanya sedikit terlindungi oleh sisa-sisa krim tabir surya miliknya, tengah menatap hutan di seberang rumah. Pepohonan itu terlihat kurus dan nyaris gersang. Pemandangannya jauh berbeda dengan yang pernah ia lihat sebelumnya di foto-foto lawas milik keluarganya.

Sang anak lalu menyadari, ia tidak bisa berlama-lama di luar rumah. Di ponselnya, indikator sinar ultraviolet (UV) sudah menembus 20 – empat kali lipat dari batas wajar sehingga berisiko tinggi merusak kulit. Bocah itu kemudian buru-buru masuk ke rumah setelah lima menit berada di luar.

Syukurlah, ini bukan masa depan kita. Berkat upaya global yang dilakukan sejak tahun 80-an, lapisan ozon yang sempat menganga berhasil dipulihkan. Lapisan ini punya peran penting menyerap sinar UV matahari yang berbahaya.

Pada pertengahan 1970-an, para ilmuwan menyimpulkan bahwa kerusakan lapisan ozon terkait erat dengan lonjakan penggunaan senyawa organik klorofluorokarbon (CFC). Senyawa ini kerap digunakan untuk mendinginkan kulkas, maupun pendorong (propelan) dalam kaleng aerosol.

Menyadari temuan itu, pemimpin negara-negara di dunia pun berkumpul dan menyepakati Protokol Montreal pada 1987 untuk melarang produksi maupun penggunaan CFC. Perjanjian itu kemudian diperkuat dengan berbagai amendemen, dan saat ini telah diratifikasi oleh 197 negara dunia.

Saat ini, tingkat CFC di atmosfer telah mengalami penurunan. Perlahan-lahan, lapisan ozon kembali pulih.

Tapi, apa yang terjadi jika Protokol Montreal tidak pernah disepakati? Bagaimana kondisi dunia selanjutnya? Pertanyaan itu adalah subjek studi baru yang saya pimpin dengan tim peneliti internasional.

Para ilmuwan sebelumnya telah menunjukkan bahwa atmosfer dengan lapisan ozon yang tipis akan meningkatkan radiasi sinar UV sehingga beroptensi menimbulkan ribuan kasus kanker kulit. Efek lainnya adalah pemanasan iklim yang lebih parah karena CFC, di antaranya karbon dioksida (CO₂), juga merupakan gas rumah kaca.

Nah, riset kami berfokus pada apa yang dapat terjadi pada tumbuhan.

Seperti manusia, tumbuhan akan rusak ketika terpapar tingkat UV yang tinggi. Tumbuhan menyerap CO₂ saat tumbuh. Namun, saat radiasi UV meningkat 10%, tanaman justru menghasilkan 3% lebih sedikit biomassa sehingga kemampuan penyerapan karbonnya berkurang.

Tanpa Protokol Montreal, kami menaksir tingkat UV rata-rata global akan 4,5 kali lebih tinggi di akhir abad ini. Kami juga memperkirakan, pada 2050, radiasi sinar UV di Eropa, Asia, dan Amerika Utara akan lebih tinggi ketimbang radiasi di daerah tropis saat ini.

Artinya, akan lebih banyak CO₂ dari aktivitas manusia yang naik ke atmosfer ketimbang terperangkap di dalam tanaman dan tanah. Fernomena itu akan mempercepat pemanasan global.

Dunia Tanpa Protokol Montreal

Kami melakukan simulasi komputer dan menyusun model iklim bumi, susunan kimia di atmosfer, vegetasi dan siklus karbon – untuk dua kondisi dunia yang berbeda.

Simulasi pertama berdasarkan asumsi bahwa makalah tahun 1974 yang mengandung temuan ilmiah penting tentang bahaya CFC, tidak pernah dipublikasikan, sehingga penggunaannya meningkat 3% per tahun.

Halaman:
Paul Young
Paul Young
Senior Lecturer in Atmospheric and Climate Science, Lancaster University
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...