Prosedur dan Perizinan Hulu Migas: Persoalan dan Solusi
Dalam pemahaman umum, perusahaan minyak dan gas yang sudah menandatangani kontrak kerja sama (PSC) dengan segera dapat bekerja, melakukan eksplorasi, dan berlanjut dengan kegiatan eksploitasi. Benar. Secara teoritis dan legally memang demikian. Namun kenyataannya dalam mengeksekusi PSC atau operasionalnya, perusahaan minyak masih harus melalui aneka prosedur termasuk sederet perizinan.
Misalnya, saat perusahaan migas hendak mengerjakan eksplorasi, seperti survei seismik dan pemboran eksplorasi, sejumlah izin harus diperoleh dari berbagai instansi pemerintah pusat dan daerah. Survei seismik dan drilling eksplorasi mesti memperoleh izin lingkungan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dievaluasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini berubah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan).
Selain itu, kegiatan seismik dan pengeboran eksplorasi mesti mendapatkan Izin Penggunaan Lahan dan Ruang yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Tidak jarang dalam prosesnya melibatkan negosiasi dengan masyarakat adat tatkala kegiatan dilakukan di atas masyarakat pemilik lahan.
Kegiatan eksplorasi, terutama saat pengeboran, perusahaan migas perlu memperoleh izin untuk penggunaan air dan sumber daya alam. Izin ini dikeluarkan oleh kementerian terkait atau pemerintah daerah, yang mengatur jumlah air yang dapat diambil dan cara pengelolaannya.
Masih pada tahap pengeboran eksplorasi dan survei seismik, perusahaan juga harus mengantongi Izin Keselamatan Kerja dan Kesehatan Lingkungan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja atau badan keselamatan kerja setempat. Di dalamnya mencakup penilaian risiko kerja serta pengelolaan keselamatan dan kesehatan pekerja yang terlibat dalam kegiatan tersebut.
Lebih rinci sedikit, kegiatan survei seismik terkadang memerlukan Izin Transmisi Data dan Teknologi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (kini berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital). Hal ini terutama ketika kegiatan seismik menggunakan teknologi komunikasi satelit atau sistem pemrosesan data jarak jauh.
Ada pula kewajiban perusahaan migas mengajukan Izin untuk Penanganan dan Pengelolaan Limbah kepada Kementerian Lingkungan Hidup atau instansi terkait lainnya. Hal tersebut untuk memastikan bahwa limbah berbahaya ikutan pada saat pengeboran dapat dikelola dengan cara yang aman dan tidak mencemari lingkungan.
Lalu, berapa banyak perizinan untuk kegiatan eksploitasi? Sudah pasti lebih banyak lagi.
Kalau dihitung keseluruhan, menurut catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, operasional hulu migas memerlukan 320 izin. Memang hingga tahun 2024 sudah dapat dikurangi dan sebagian dilakukan simplifikasi, sehingga tinggal 140 izin. Namun tetap saja angka tersebut belum dibilang sedikit. Persoalannya, bagaimana menyelesaikan seluruh perizinan dan berapa waktu yang dibutuhkan?
Belajar dari Malaysia: Perizinan Terpadu
Pemerintah Malaysia merancang dan menerapkan sistem perizinan terpadu dan one-stop-shop untuk perizinan migas. Perusahaan minyak cukup berinteraksi dengan satu badan yang mengkoordinasikan semua aspek perizinan sehingga akan mengurangi waktu tunggu dan meningkatkan transparansi dalam proses administrasi.
Petronas sebagai petroleum management unit (PMU) diberi tanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh perizinan kegiatan migas. PMU adalah badan yang mirip dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) di Indonesia. Di Malaysia, PMU bekerja di bawah Kementerian Sumber Asli dan dan Kelestarian Alam.
PMU menjadi pintu gerbang utama bagi perusahaan minyak yang ingin memperoleh izin. Untuk itu, PMU mendesain dan membangun database perizinan terintegrasi yang memungkinkan para pihak terkait dapat memantau status izin secara real-time. Sistem ini akan mengurangi kesalahan administratif dan mempercepat proses pengeluaran izin.
Namun yang paling penting dari sistem perizinan terpadu yang dibangun Pemerintah Malaysia adalah dengan mengutamakan pada tiga hal, yaitu: (1) koordinasi antar-lembaga, (2) penyederhanaan prosedur, dan (3) penggunaan teknologi digital.
Koordinasi antar-lembaga dilakukan oleh Kementerian Sumber Asli dan dan Kelestarian Alam, bukan dilakukan oleh Petronas. Kementerian bekerja sama erat dengan otoritas lingkungan, kementerian perindustrian, dan pemerintah daerah dalam satu kesatuan sistem.
Kementerian mendapatkan tugas dari pemerintah untuk menciptakan sinergi antara sektor-sektor yang memiliki kepentingan terkait eksplorasi dan eksploitasi migas. Bersamaan dengan proses tersebut, Kementerian melakukan evaluasi untuk mengurangi ketidaksesuaian kebijakan atau regulasi antar-instansi yang berujung pada proses penyederhanaan prosedur.
Selanjutnya, semua itu ‘dituangkan’ dalam sistem digitalisasi proses perizinan. Sistem digital memungkinkan perusahaan untuk mengajukan permohonan izin secara online, memantau status permohonan mereka, dan menerima pembaruan secara langsung. Sudah dapat dipastikan, hal ini mengurangi birokrasi manual yang sering menjadi penghambat dalam sistem perizinan.
One Door Policy Hulu Migas
Sistem perizinan terpadu buatan Malaysia mirip dengan sistem one-door-policy yang digagas oleh SKK Migas. Tujuannya juga sama, yaitu untuk memberikan kemudahan bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (Kontraktor KKS) dalam mengajukan dan mendapatkan izin yang dibutuhkan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.
Sebelum ada one door policy, perusahaan minyak harus mengurus izin-izin yang tersebar di berbagai lembaga atau kementerian dan melibatkan banyak instansi, yang sering diwarnai dengan tumpang tindih aturan, ketidaksesuaian regulasi pusat dan daerah, sehingga prosesnya memakan waktu yang lama. Dengan menggunakan one door policy, seluruh perizinan ‘diorkestrasikan’ oleh SKK Migas.
Hal ini diharapkan akan mempermudah koordinasi dan mempercepat alur administrasi. Tidak berlebihan jika one door policy SKK Migas menawarkan efisiensi dan transparansi, serta akuntabilitas. Segala proses perizinan dapat dipantau secara terstruktur. SKK Migas dapat memastikan bahwa setiap proses izin sesuai dengan regulasi dan tidak ada penyimpangan. Hal ini juga dapat mengurangi peluang terjadinya praktek perizinan yang tidak efisien atau bahkan rentan terhadap korupsi, karena kontrol dan pengawasan lebih terpusat.
Sistem one door policy tentu saja mendapat dukungan positif dari pelaku usaha dan investor. Bagi investor, kejelasan dan kemudahan dalam pengurusan izin adalah faktor penting yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk berinvestasi. Jika proses perizinan dapat diselesaikan dengan cepat dan tanpa hambatan yang berarti, hal ini tentu akan mempercepat pengembalian investasi.
Mengapa One Door Policy Tidak Optimal?
Harus diakui bahwa kebijakan one door policy adalah ide brilian. Namun rupanya pelaksanaannya di lapangan tidak mudah. Mengapa?
Pertama, one door policy SKK Migas melibatkan banyak instansi yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali SKK Migas. Misalnya izin lingkungan, penggunaan lahan, dan perizinan lokal yang tetap berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, serta kementerian lainnya, yang menyebabkan birokrasi tumpang tindih.
Kedua, prosedur yang rumit dan berlarut-larut. Meskipun SKK Migas bertanggung jawab untuk menyederhanakan proses perizinan, kenyataannya banyak prosedur yang tetap rumit dan memakan waktu sehingga perusahaan migas seringkali harus menunggu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mendapatkan izin, terutama untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di daerah terpencil atau yang memiliki masalah administratif.
Ketiga, keterbatasan teknologi dan sistem digital. Meskipun telah ada upaya untuk menerapkan sistem digital dalam proses perizinan, namun banyak sistem yang belum terintegrasi dengan baik. Sehingga, perusahaan minyak masih mengajukan izin secara manual atau melalui sistem yang tidak saling terhubung.
Keempat, kebijakan dan regulasi yang cepat berubah. Salah satu tantangan terbesar di sektor migas adalah ketidakpastian regulasi dan perubahan kebijakan. Seperti perubahan mendadak pada PSC menuju PSC gross split, atau ketentuan pajak, yang mengharuskan perusahaan untuk mengajukan pembaruan izin, memperlambat operasional, dan menciptakan ketidakpastian yang mengurangi minat investasi.
Kelima, resistensi dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Meskipun SKK Migas berusaha menyederhanakan perizinan dengan kebijakan one door policy, namun pemerintah daerah seringkali memiliki kebijakan berbeda dan tidak sejalan. Sehingga tidak jarang hal seperti ini menciptakan kebingungan yang akan berdampak pada proses administrasi yang berkepanjangan.
Usulan
One door policy SKK Migas wajib untuk tetap dilaksanakan. Nampaknya hanya jalan ini yang diperlukan untuk menyelesaikan persoalan perizinan di Indonesia menuju pada efisiensi dan efektivitas operasional migas.
Namun one door policy untuk sektor migas harus bersifat top-down policy, yang datangnya dari Presiden.
One door policy inisiatif SKK Migas yang selanjutnya ‘dibeli’ oleh Kementerian ESDM, nampaknya jauh dari ideal dalam implementasinya. Bukan karena sumber daya manusia, kekurangan dana, atau persoalan teknologi, tetapi penyebabnya banyak area kebijakan yang tidak dalam kendali Kementerian ESDM.
Kita bisa memodifikasi dari proses one door policy yang pernah dilakukan pada periode pemerintahan sebelumnya, saat kewenangan perizinan terkait kegiatan hulu migas dari beberapa kementerian dikoordinasikan oleh Kementerian Investasi. Namun hal tersebut tidak berjalan mulus. ‘Ego’ antar-kementerian dengan masing-masing aturan yang dibawanya menjadi salah satu alasannya. Oleh karena itu sebaiknya diubah dan dinaikan levelnya. Sebaiknya proses perizinan kegiatan hulu migas disatukan dan dikoordinasikan di level Menteri Koordinator.
Bahkan, bila level Menteri Koordinator dirasa tidak cukup, karena kementerian yang terlibat dalam perizinan kegiatan hulu migas juga lintas Kementerian Koordinator, tidak ada pilihan, Presiden turun tangan dengan mengeluarkan Peraturan Presiden. Karena memang persoalan utama dari perizinan pada kegiatan hulu migas adalah masalah koordinasi antar-lembaga pemerintahan.
Setelah itu, baru dibuat sistem perizinan hulu migas yang terintegrasi, yang dituangkan dan menggunakan teknologi digital.
Apakah penyederhanaan proses tidak perlu dilakukan? Penyederhanaan proses jelas penting. Tetapi proses itu akan terbentuk dengan sendiri tatkala terjadi koordinasi antar-instansi. Namun penyederhanaan proses perizinan wajib diletakan dengan semangat untuk mengintegrasikan seluruh izin yang dibutuhkan dalam operasi hulu migas.
Persoalannya, integrasi sistem sulit dilakukan apabila perizinan masih dilakukan secara manual. Jadi tidak ada pilihan, bahwa perizinan yang terkait dengan industri hulu migas harus dibuat terintegrasi dari atas ke bawah dan ke samping. Mulai dari tingkat pusat sampai pemerintah daerah, hingga ke level kabupaten. Namun juga ke samping, terintegrasi antar-kementerian yang terkait.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.