Poin-poin Strategis Presidensi G20 di Masa Pandemi
“Recover Together, Recover Stronger” menjadi slogan yang kerap menggema di ranah publik dan ruang-ruang media, baik domestik maupun di mancanegara belakangan ini. Presidensi Indonesia pada gelaran G20 di tahun Macan Air ini menjadi ajang pembumian slogan optimistik persuasif tersebut.
The Group of Twenty Finance Ministers and Central Bank Governors dalam wadah G20 merupakan forum kerja sama internasional 19 negara perekonomian besar ditambah Uni Eropa. G20 adalah forum kerja sama yang sangat strategis karena mewakili 65% penduduk dunia dan 85% porsi perekonomian dunia.
Forum ini dibentuk pada September 1999, sebagai respons terhadap Krisis Keuangan Asia 1997-1999 atas saran dari para menteri keuangan negara-negara G7 (Amerika Serikat, Inggris, Italia, Jerman, Jepang, Kanada, dan Prancis). Indonesia menjadi bagian dari G20 sejak awal forum ini terbentuk, serta merupakan satu-satunya negara dari Asia Tenggara.
Presidensi G20 mengusung solidaritas (kebersamaan) sebagai fondasi kerja sama mutual dan saling menguntungkan. Semangat “pulih bersama” bukanlah sekadar altruisme, melainkan realitas bahwa setiap negara membutuhkan pulihnya negara-negara lain, di antaranya karena adanya efek tular atau dikenal sebagai contagion effect.
Dalam ilmu ekonomi, efek tular ini menggambarkan fenomena menyebarnya boom (pertumbuhan) maupun crash (krisis) lintas wilayah, baik di level domestik maupun internasional. Interdependensi ekonomi suatu negara terhadap negara lain menjadikan efek tular ini menjadi suatu konsekuensi logis dari globalisasi.
Pandemi Covid-19 kemudian menyadarkan kita bahwa efek tular suatu krisis dapat berasal dari trigger yang berbeda. Pada Krisis Asia 1997, efek tular ini berasal dari krisis neraca pembayaran atau balance of payment, sementara efek tular saat Krisis Keuangan Dunia di 2009 berasal dari kerentanan di sektor keuangan.
Sudah lama dunia tidak mengalami krisis dalam skala yang masif, yang pemantik efek tularnya berasal dari masalah kesehatan, setidaknya absen sejak Flu Spanyol 100 tahun lalu.
Indonesia mengemban tugas Presidensi G20 ini di masa pandemi. Sebagai negara berkembang yang memiliki aspirasi untuk tumbuh menjadi negara maju, Indonesia berupaya meningkatkan nilai tambah perekonomian sehingga dapat mengalami leap frog pertumbuhan ekonomi.
Momentum G20 ini digunakan sebaik mungkin untuk menunjukkan kepemimpinan Indonesia dengan mengangkat tiga isu prioritas yang sangat relevan bagi pemulihan ekonomi. Pertama, pengembangan arsitektur kesehatan global. Kedua, transformasi ekonomi berbasis digital; dan ketiga, transisi menuju energi berkelanjutan.
Sebagaimana telah kita sadari, krisis dan multilateralisme memiliki hubungan erat. Layaknya relasi antara kelembagaan G20 dengan krisis 1997-1999, lembaga lain seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pun erat berhubungan dengan krisis.
Kedua organisasi ini dibentuk saat Konferensi Bretton Woods di tahun 1944 sebagai respons atas Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an. Kedua lembaga tersebut memikul amanat pemulihan sekaligus pengurangan kemiskinan di dunia.
Cukup jelas bahwa terbentuknya forum kerjasama internasional tersebut tak lepas dari pengaruh faktor efek menular dan keterkaitan antarnegara, sehingga valid untuk mengatakan tak ada jalan pemulihan kecuali bersama-sama.
Pemulihan kesehatan menjadi isu prioritas pertama dan menjadi panggilan aksi kemanusiaan bagi G20, Bank Dunia, IMF, dan masyarakat global. Pandemi Covid-19 bukan sekadar krisis biasa yang melumpuhkan mata pencaharian (livelihoods), tetapi juga telah merenggut nyawa (lives), tercatat telah menewaskan 5,9 juta manusia.
Kehadiran forum internasional yang menekuni arsitektur sistem kesehatan global yang andal dan rencana aksi yang gamblang—diperlukan dalam melawan serta mencegah pandemi dan ancaman kesehatan global lain di masa depan.
Isu prioritas kedua dalam G20 adalah transformasi berbasis digital. Kelompok kerja G20 merinci tiga sub isu, yaitu konektivitas dan pemulihan pasca pandemi, literasi dan keterampilan digital, serta cross-border data flow dan free-flow with trust.
Pada dasarnya, kolaborasi diupayakan dalam rangka menggali potensi digitalisasi ekonomi yang terus meningkat dengan cepat, tanpa ruang eksklusivisme. Artinya negara-negara miskin atau berkembang harus memiliki akses, infrastruktur, dan kemampuan setara dalam transformasi digital sebagaimana negara maju. Kesenjangan – yang dapat terpaut sangat jauh – perlu direspons secara bersama-sama dengan kerja sama internasional untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran bersama.
Dalam aksi iklim yang terkait dengan isu prioritas ketiga (transisi energi), Indonesia menunjukkan perkembangan capaian, di antaranya penerbitan green bonds, insentif pada sektor ekonomi hijau, penerbitan Perpres 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, dan pemajakan karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Indonesia juga secara prudent dan seksama merencanakan transisi energi melalui skema “pensiun dini” PLTU mulai tahun 2030. Pada G20 kali ini, kepemimpinan Indonesia mendorong perlunya pendanaan transisi energi menuju energi bersih agar terlepas dari penggunaan energi fosil. Transisi radikal ini merupakan bagian dari usaha mencapai nol bersih (net zero), sebab kerentanan Indonesia dan negara berkembang terhadap perubahan iklim sangatlah besar.
Transisi energi Indonesia layak diberi label “ambisius” mengingat ketergantungannya terhadap bahan bakar fosil dalam bauran energi, pembangkitan listrik, dan devisa ekspor—masih cukup signifikan. Transisi energi tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit. Karena itu akses terhadap pendanaan sangatlah diperlukan.
Sayangnya, kegiatan transisi seperti ini belum masuk dalam taksonomi ekonomi hijau, sehingga akses kepada sumber pendanaan hijau menjadi sulit. Indonesia, dimulai dari Presidensi Italia tahun lalu, melalui Kelompok Kerja Pendanaan Berkelanjutan sudah mendorong penyusunan kategorisasi aktivitas transisi dan membuat kategori pendanaan aktivitas transisi (transition finance) sebagai kegiatan “hijau” pula.
Contoh, dalam mekanisme transisi energi, diperlukan investasi untuk mengambil alih PLTU untuk dipensiundinikan. Aktivitas ini belum dikenal sebagai aktivitas “hijau” karena terkesan membutuhkan pendanaan untuk mengambil alih PLTU yang merupakan energi fosil.
Menyusun kategorisasi aktivitas transisi dan pendanaan transisi menjadi bagian penting dari berbagai proses transisi di dunia. Satu negara saja tidak dapat menciptakan ekosistem pendanaan hijau ini sehingga perlu dilakukan secara bersama-sama.
Pandemi Covid-19 yang ditetapkan oleh WHO pada Maret 2020 memang tidak langsung berdampak pada struktur ekonomi global, namun pasar keuangan global secara cepat terpukul, bahkan lebih dini dibandingkan dampak terhadap fundamental perekonomian.
Di Indonesia, IHSG di bursa saham mengalami penurunan dari level 6.300 ke 3.900 hanya dalam waktu tiga bulan. Cost of fund di berbagai negara naik signifikan, dan debt distress menimpa negara-negara miskin. Layaknya Covid-19, debt distress memiliki efek tular pula. Ketidakmampuan negara debitur membayar utang akan berdampak langsung pada negara krediturnya.
Karena itu, dukungan kepada negara-negara debitur menjadi krusial untuk memutus rantai tular ini. G20 sangat menyadari isu ini dan beraksi melalui kesepakatan dukungan kepada negara-negara debitur dalam pelunasan utang. Lagi-lagi, tak ada jalan pemulihan kecuali secara bersama-sama.
*Kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis, yang tidak terkait dengan posisi dan institusi tempatnya bekerja.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.