Ketegangan di Taiwan dan Posisi Strategis Indonesia di Indo-Pasifik

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
31 Agustus 2022, 12:13
Sampe L. Purba
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Ketegangan yang terjadi di Selat Taiwan pasca-kunjungan Ketua DPR Amerika Serikat Nancy Pelosi menguak kembali adu kekuatan kelompok negara adi daya untuk menguasai kawasan Indo-Pasifik.

Menarik untuk melihat Republik Rakyat Cina (RRC) yang dilabeli Bill Clinton sebagai mitra yang bertanggung jawab untuk kepentingan geostrategis di kawasan dan global karena keengganan diplomatisnya. Namun sejak Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, Cina dijuluki menjadi pesaing strategis predator ekonomi yang mengintimidasi tetangganya sambil memiliterisasi kawasan Laut Cina Selatan (LCS).

Belt Road Initiative (BRI) yang diinisiasi oleh Presiden Xi JinPing direspons Amerika Serikat dengan format kerja sama empat negara: Amerika, Australia, Jepang, dan India (QUAD) dalam bendera Indo-Pasifik. Jargon utamanya adalah kebebasan dan keterbukaan di Indo-Pasific (Free and Open Indo Pacific - FOIP).

FOIP sekaligus merupakan pengabaian Amerika atas klaim kedaulatan RRC di hampir 90 % kawasan LCS sebagai terusan dari Laut Cina Timur – hingga berimpit dengan klaim zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen beberapa negara di kawasan, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Indonesia, yang diakui di bawah konvensi hukum laut PBB – UNCLOS 1982.

RRC tidak mendasarkan klaimnya pada UNCLOS, melainkan lebih kepada alasan historis. Amerika– dengan FOIP – juga mengabaikan UNCLOS. Amerika tidak menandatangani UNCLOS karena dianggap bertentangan dan membatasi implementasi doktrin strategis kepentingan hegemoninya di laut.

Di bawah Presiden Joe Biden, warna militerisasi kawasan Indo-Pasifik semakin kental dengan dibentuknya kemitraan pakta keamanan antara Amerika, Australia, dan Inggris (AUKUS). Debut awalnya dengan mendeklarasikan akan membantu Australia membangun delapan kapal selam bertenaga nuklir yang memiliki jelajah jauh. Hal ini telah mengabaikan protes dan nilai-nilai yang sebelumnya dianut di kawasan ASEAN sebagai non-proliferasi nuklir.

Dampak kehadiran AUKUS langsung terasa. Negara negara mitra strategis QUAD, termasuk Uni Eropa dan NATO, dapat menerima AUKUS sebagai respons atas perkembangan kekuatan strategis RRC dan Rusia di kawasan Indo-Pasifik. Beberapa program di kawasan meliputi kerja sama interoperabilitas mobilisasi arsenal tempur, peningkatan kapasitas dan kekuatan militer dalam bidang-bidang tertentu seperti keamanan siber, serta peningkatan teknologi maupun patroli bersama.

Perkembangan ini tidak lepas dari situasi yang terjadi di Ukraina. Amerika, Uni Eropa, dan NATO sedang terlibat proxy perang dengan Rusia di Ukraina. Perang yang telah berlangsung enam bulan tidak menunjukkan tanda-tanda melemahnya kekuatan ekonomi Rusia untuk membiayai perang. Sanksi ekonomi, termasuk enam paket sanksi dari Uni Eropa, tidak efektif mengendurkan kemampuan operasional dan logistik pasukan Presiden Putin.

Dalam konteks ini, sekutu NATO menganggap RRC sebagai mitra dagang utama Rusia sebagai salah satu pihak yang patut dipersalahkan. Untuk memaksa RRC mengikuti kebijakan pengucilan ekonomi Rusia, Amerika sengaja membuka front baru di Taiwan.

 

Kartu Truf Taiwan

Taiwan di bawah Presiden Tsai Ing-Jen dari Partai Progresif Demokrat. Partai Progresif Demokrat menganut ideologi sebagai negara merdeka, bukan bagian dari satu Cina (one China two systems), yang sebelumnya dianut Partai Kuomintang.

Di sisi lain, dalam Konstitusi RRC, yang dipertegas dalam Buku Putih 2019, dengan eksplisit menyatakan bahwa Tentara Pembebasan RRC (PLA) akan mengalahkan siapapun yang berusaha memisahkan Taiwan dari Cina dan akan menjaga persatuan nasional dengan segala cara.

RRC memandang kunjungan Nancy Pelosi adalah bentuk provokasi langsung terhadap kedaulatan dan kepentingan utama (core interest) mereka. Menjelang dan selama kunjungan singkat tersebut, terjadi mobilisasi dan penyiagaan berbagai arsenal dan persenjataan modern dari pihak RRC maupun Taiwan dan Amerika.

Jika melihat kepentingan geopolitik, kunjungan Pelosi merupakan test the water, sekaligus pesan bahwa kartu Taiwan dapat dipergunakan untuk mengganggu kepentingan nasional RRC. Di permukaan, pemerintahan Joe Biden tidak menunjukkan dukungannya atas kunjungan tersebut, namun sepenuhnya menjamin keamanan sang Ketua DPR.

Sehari setelah kunjungan singkat Pelosi, ketegangan semakin meningkat. PLA melakukan latihan militer di Selat Taiwan yang melibatkan Angkatan Laut, Angkatan Udara, Pasukan Roket termasuk Pasukan Gabungan Logistik. Mereka mendemonstrasikan kemampuan tentara RRC untuk memblokade Taiwan, apabila diperlukan.

Peran Indonesia

Sebagai negara besar di ASEAN, Indonesia perlu mengantisipasi eskalasi perkembangan yang terjadi, termasuk efek imbas (spill over effect). Pada 2002 secara kolektif, ASEAN telah mengeluarkan deklarasi aturan perilaku (declaration of conduct) di Laut Cina Selatan. Saat ini relevansi deklarasi tersebut perlu disesuaikan dan diletakkan dalam konteks kekinian.

AUKUS dan Indo-Pasifik adalah realitas geopolitik baru di kawasan yang membentang dari Pasifik Barat hingga Laut India Barat, serta dari Australia hingga Jepang di Utara. Presiden RRC, XiJinPing dengan program BRI menawarkan kerja sama ekonomi, sekaligus mengamankan jalur maritim (sea lines of communication) di kawasan.

Perlu digarisbawahi, Laut Cina Selatan adalah wilayah yang kaya dengan sumber daya hayati dan sumber daya migas. Energy International Association (EIA) memperkirakan wilayah ini mengandung cadangan minyak 11 miliar barel dan gas 190 triliun kaki kubik.  

Kapal survei Cina, Hayang Dizhi Shiao 10 selama berbulan-bulan di Laut Natuna Utara tahun 2021 (notabene berada di dalam landas kontinen Indonesia), membayangi kapal kontraktor migas Indonesia melakukan aktivitas pemboran eksplorasi. Ini sebuah sinyal bahwa RRC serius terhadap klaim teritorial, kedaulatan, hak berdaulat maupun proyeksi kekuatan militer.

Indonesia perlu menangani serius hal ini, baik secara substantif, konseptual juga realistis. Indonesia memiliki beberapa lapangan migas di sekitar Laut Natuna Utara, di dalam landas kontinen Indonesia, namun secara realitas juga termasuk dalam claim dash-line RRC.

Kita mengapresiasi strategi Pemerintah Indonesia yang merencanakan pembangunan pangkalan militer terintegrasi dengan penempatan Satuan TNI Terintegrasi di Pulau Natuna. Namun demikian, patut diingat bahwa RRC bukanlah padanan Indonesia secara militer. Untuk itu, kewaspadaan nasional dan patriotisme perlu diimbangi dengan strategi kolaboratif yang cerdas.

Posisi sisi silang Indonesia yang secara geografis berada di persimpangan (hub) QUAD di satu sisi, dan jalur BRI di sisi lain harus dapat dioptimalkan. Indonesia perlu menjalin dan menggalang kerja sama (misalnya dalam bentuk suatu joint operation) konkrit dengan negara-negara QUAD plus dan RRC pada lapangan-lapangan dan proyek-proyek sumber daya migas bersama di sekitar Laut Natuna Utara.

Mengelola perbatasan laut secara strategis, taktis dan cermat dengan memperhitungkan situasi kawasan adalah bagian dari menjaga integritas dan keutuhan wilayah. Itulah salah satu implementasi poros maritim yang sesungguhnya.

Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...