Potensi Besar Blue Carbon dan Nilai Ekonominya di Bursa

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
8 Juni 2023, 07:30
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Rio Christiawan, Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Mitigasi perubahan iklim dapat dilakukan dengan mengendalikan emisi CO2 agar tetap berada pada kisaran neraca karbon dan melestarikan ekosistem untuk menyerap karbon. Penyerapan karbon dilakukan oleh vegetasi melalui proses fotosintesis: CO2 diserap dan diubah menjadi karbon organik yang disimpan dalam bentuk biomassa.

Pemerintah Indonesia menargetkan nationally determined contribution (NDC) penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% melalui usaha sendiri pada 2030. NDC merupakan payung yang memberikan referensi target dan strategi bagi pencapaian implementasi dari enam bidang prioritas termasuk ekosistem yang menjadi fokus sektor kelautan.

Saat ini, sektor kelautan masuk dalam elemen adaptasi pada program kunci ketahanan ekosistem dan lanskap. Ke depan, diharapkan sektor kelautan juga dapat berkontribusi dalam elemen mitigasi, khususnya melalui karbon biru.

Terdapat dua istilah pada karbon, yaitu green carbon dan blue carbon. Green carbon merupakan kandungan karbon yang dimiliki oleh vegetasi darat seperti hutan, rumput, belukar, dan jenis vegetasi berklorofil lainnya. Sedangkan blue carbon merupakan karbon yang tersimpan, terserap, atau terlepas dari vegetasi dan sedimen ekosistem pesisir, yaitu mangrove, padang lamun, dan rawa pasang surut.

Hafizt (2011), menjelaskan bahwa selain dapat menyerap karbon di atmosfer lebih tinggi daripada daratan, lautan sebagai blue carbon sink memiliki kemampuan dalam menyimpan karbon hingga jutaan tahun melebihi hutan tropis di daratan.

Data dari Balai Riset dan Observasi Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (2022) menyebutkan, per akhir 2022, Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi sumber daya alam pesisir melimpah, salah satunya adalah hutan mangrove. Ini merupakan hutan yang tumbuh di air payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

Mangrove tumbuh di 124 negara tropik dan subtropik dengan luas di dunia sekitar 15,2 juta hektare. Indonesia mewakili 48% luasan hutan mangrove di dunia bersama Brasil, Nigeria, dan Meksiko. Sebagai rumah dari 25% hutan mangrove di dunia dengan luas 3,5 juta hektare, Indonesia berusaha memanfaatkan ekosistem mangrove dalam menghadapi perubahan iklim sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Ekosistem mangrove tersebut berada di 257 kabupaten/kota. Sebanyak 43 dari 70 jenis mangrove di dunia ada di Indonesia. Hutan mangrove Indonesia menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektare jika dibandingkan hutan tropis dataran tinggi.

Mangrove Indonesia menyimpan 3,14 miliar metrik karbon (PgC). Bagian bawah ekosistem menyimpan karbon 78% di dalam tanah, 20% karbon di pohon hidup, akar atau biomassa. Oleh sebab itu, hutan mangrove saat ini terus didorong untuk menjadi bagian agenda dalam adaptasi perubahan iklim.

EKOWISATA MANGROVE DI TELUK YOUTEFA JAYAPURA
Ekowisata mangrove di Teluk Youtefa Jayapura (ANTARA FOTO/Sakti Karuru/YU)

Perlindungan Blue Carbon

Ekosistem pesisir diidentifikasi mampu mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dibanding hutan daratan. Ekosistem pesisir meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang lamun, menjadi faktor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.

Pengembangan blue carbon sangat penting dan potensial di Indonesia, khususnya ekosistem mangrove. Menjaga dan memperbaiki ekosistem mangrove merupakan suatu cara ampuh untuk menjaga ekosistem kelautan Indonesia sekaligus membuat penangkap karbon yang baik.

Pelestarian ekosistem karbon biru menjadi solusi alami terbaik sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Perubahan iklim yang dipicu oleh peningkatan jumlah C02 dan beberapa gas lain ini menyebabkan panas matahari terperangkap di atmosfer bumi.

Kondisi tersebut memicu mencairnya es di kutub, rusaknya ekosistem akibat kebakaran dan kekeringan, dan kenaikan permukaan air laut sehingga daratan akan tenggelam. Beberapa efek rumah kaca tersebut tentu sangat merugikan dan berbahaya apabila tidak segera diperbaiki.

Berdasarkan Surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi tanggal 7 Februari 2020 perihal Penunjukan Penanggung Jawab Nasional Isu Oceans pada Perubahan Iklim, Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki tugas untuk memformulasikan materi submisi sekaligus mengkoordinasikan pelaksanaan aksi adaptasi dan mitigasi lingkup kelautan (oceans).

Dengan demikian, Kementerian Kelautan perlu memperkuat ekosistem blue carbon, dalam hal dengan memperluas dan menjaga secara ketat kawasan konservasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Selanjutnya, perlu penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan, serta penataan pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil yang mengutamakan perlindungan ekosistem.

Dikarenakan karbon biru memiliki pengaruh besar bagi perekonomian masyarakat Indonesia dan global maka perlu upaya pemulihan dan pemanfaatan berkelanjutan dari ekosistem pesisir. Dukungan dan kolaborasi antar-stakeholder harus dilakukan agar fungsi ekosistem pesisir untuk menyerap karbon dan menyimpannya menjadi karbon biru dapat terlindungi dan ditingkatkan.

Seluruh pemangku kepentingan perlu menggerakkan inisiatif blue carbon yang senantiasa berorientasi pada dampak keberlanjutan. Makna dari inisiatif ini adalah selama manusia melakukan kegiatan untuk mendapatkan dan mendistribusikan kebutuhan sehari-hari harus berlandaskan pada blue carbon, yakni tidak mengubah atau mencemari lingkungan.

Penggunaan konsep ekowisata dapat menjadi alternatif dalam memanfaatkan ekosistem pesisir yang tetap memperhatikan kelangsungan hidup lingkungan. Selain itu, langkah pemulihan ekosistem karbon biru dilakukan dengan reboisasi tanaman-tanaman pesisir seperti bakau. Banyaknya kampanye terkait donasi pohon untuk wilayah pesisir juga turut menjadi ruang edukasi dan motivasi bagi masyarakat untuk ambil peran menyelamatkan bumi.

Terakhir, upaya yang dapat memberikan dampak besar ialah mengangkat urgensi karbon biru pada tatanan kebijakan. Tujuan utamanya untuk memberikan sanksi bagi pelanggar yang merusak ekosistem karbon biru dan menjadikan kewajiban bagi sesama untuk terus menjaganya.

Termasuk yang perlu menjadi perhatian pemerintah yaitu sinkronisasi kebijakan dan program antara Kementerian Kelautan dan Kementerian Lingkungan Hidup melalui Direktorat Pusat Pengendalian Iklim khususnya terkait pengelolaan mangrove.

Demikian juga secara komersial pemerintah juga perlu membedakan harga komoditas green carbon dan blue carbon pada bursa perdagangan karbon yang segera dibentuk pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Idealnya, bursa karbon dikembangkan dengan konsep perdagangan komoditi yang memiliki harga berbeda pada setiap komoditasnya sehingga nilai strategis mangrove sebagai blue carbon dapat lebih optimal secara ekonomis.

Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...