Strategi Pantik Sektor Properti yang Dihantui Retained Earning Minus
Pada November 2023, pemerintah memberikan insentif kepada sektor properti untuk meningkatkan permintaan di sektor tersebut. Insentif meliputi penggratisan pajak untuk pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar melalui mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100%.
Artinya, setiap pembelian rumah di bawah Rp 2 miliar, tak akan dikenakan PPN karena 100% akan ditanggung pemerintah. Pada 2024, insentif tersebut dipangkas menjadi 50%, yang berarti konsumen akan dikenai biaya PPN sebesar 50%.
Selain PPN DTP, pemerintah memberikan insentif untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), berupa bantuan biaya administrasi sebesar Rp 4 juta per pembelian untuk setiap MBR. Artinya, masyarakat yang masuk ke dalam golongan berpenghasilan rendah akan mendapatkan bantuan untuk membayar administrasi sebesar Rp 4 juta, saat melakukan pembelian rumah.
Anggaran yang disiapkan sebesar Rp 3,2 triliun untuk membiayai pelbagai insentif tersebut. Anggaran untuk membiayai skema insentif PPN DTP disiapkan dengan perincian: Rp 300 miliar untuk periode bebas PPN 100% pada November-Desember 2023; dan bebas PPN 50% sebesar Rp 1,7 triliun untuk 2024.
Sedangkan untuk membiayai skema bantuan biaya administrasi bagi MBR, pemerintah menyediakan anggaran sebesar Rp 300 miliar untuk periode November-Desember 2023 dan sebesar Rp 900 miliar untuk 2024.
Sebelumnya, pemerintah pernah memberikan insentif PPN DTP sebagai bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada Maret-Desember 2021. Skema insentif itu berlanjut pada 2022 dengan jumlah sebesar 50% dari insentif PPN DTP 2021.
Pemberian insentif pada 2021 dianggap berhasil menggairahkan kembali sektor properti yang terhantam pandemi sejak 2020. Sejumlah emiten sektor properti mencetak pertumbuhan pendapatan seperti di bawah ini:
Badai Sektor Properti Belum Berlalu
Pelbagai insentif dibutuhkan untuk mendukung sektor properti. Mengapa? Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja yang signifikan. Ada 185 subsektor turunan yang dapat menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja produktif Indonesia.
Namun, pandemi Covid-19 melemahkan sektor ini. Kebijakan bekerja dari rumah (work from home/WFH) menurunkan permintaan atas produk residensial (rumah dan apartemen), produk komersial (ruko, ruang usaha, shop house, perkantoran), dan hospitality (mal, hotel dan lifestyle center), baik sewa maupun penjualan proyek.
Padahal, pendapatan perusahaan properti salah satunya bergantung pada jasa sewa gedung dan layanannya yang meliputi perkantoran, mal, hotel, dan lifestyle center. Pendapatan ini diklasifikasikan ke dalam pendapatan berulang atau disebut recurring income.
Sementara itu, perusahaan properti yang bergantung pada pendapatan dari penjualan proyek atau development income, kebanyakan mengalami kesulitan dalam memasarkan produk dan cenderung menunda launching proyek baru.
Seperti dalam infografik di bawah ini yang menunjukkan turunnya permintaan properti komersial akibat pandemi Covid-19. Jenis permintaan tersebut mulai menurun hingga di bawah 0% pada kuartal I-2020. Saat itu, pertumbuhan indeks permintaan properti komersial berada di level -0,02%. Angkanya turun makin dalam menjadi -0.07% pada kuartal II-2020.
Turunnya permintaan dari seluruh segmen, terutama kategori sewa, membuat indeks permintaan properti komersial terpuruk. Segmen convention hall, hotel, dan apartemen yang mengandalkan pendapatan sewa, mengalami pelemahan permintaan terdalam. Ketiganya mengalami kemerosotan hingga -100%, -72,5%, dan -24,8% pada kuartal II-2020 dibandingkan kuartal sebelumnya.
Pemulihan ekonomi yang lambat pascapandemi, membuat situasi memburuk. Akibatnya, perusahaan properti secara keseluruhan mengalami kondisi financial distress.
Menelisik laporan keuangan berbagai perusahaan properti di BEI, banyak perusahaan properti yang melaporkan rugi bersih, arus kas negatif, rasio profitabilitas negatif, rasio solvabilitas memburuk, modal kerja negatif bahkan mencatatkan laba ditahan (retained earning) negatif.
Beberapa perusahaan properti yang membukukan saldo laba negatif per 30 September 2023 antara lain: DFAM sebesar Rp 50,7 miliar; PSKT sebesar Rp 316,7 miliar; JGLE sebesar Rp 732,5 miliar; MINA sebesar Rp 27,5 miliar; dan SOTS sebesar Rp 95,6 miliar.
Pembukuan saldo laba negatif, disertai dengan beban keuangan yang besar di tengah minimnya pendapatan, akan memberikan tekanan finansial yang sangat berat bagi perusahaan. Dalam kondisi ini, perusahaan melakukan beragam cara untuk mengurangi beban, mulai dari pelepasan aset, restrukturisasi pinjaman, hingga restrukturisasi permodalan.
Ruang Perbaikan yang Diakomodir OJK
Upaya perbaikan kondisi keuangan telah difasilitasi dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 14/POJK.04/2019 tentang Perubahan atas POJK Nomor 32/POJK.04/2015 tentang Penambahan Modal Perusahaan Terbuka dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD).
Aturan ini memudahkan penambahan modal melalui penerbitan saham dan/atau efek bersifat ekuitas lainnya dalam rangka perbaikan posisi keuangan. Sebab, perseroan tidak wajib memberikan HMETD kepada pemegang sahamnya.
Ada pula Surat Edaran OJK Nomor 20/SEOJK.04/2021 tentang Kebijakan Stimulus dan Relaksasi Ketentuan Terkait Emiten atau Perusahaan Publik dalam Menjaga Kinerja dan Stabilitas Pasar Modal akibat Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
SE tersebut mengatur kondisi keuangan perseroan yang dapat menambah modal tanpa memberikan HMETD. Kondisi yang diatur sebagai berikut:
Pertama, memiliki rasio lancar yang dihitung dari aset lancar dibagi dengan liabilitas jangka pendek, kurang dari 110%;
Kedua, mempunyai liabilitas melebihi 70% dari aset;
Ketiga, mengalami penurunan pendapatan berdasarkan perbandingan kinerja tahun lalu;
Fasilitas lainnya, transaksi perusahaan terbuka selain bank yang memiliki modal kerja bersih dan ekuitas dalam posisi negatif, yang nilainya material, tidak wajib menggunakan penilai dan memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham. Ini sesuai dengan POJK Nomor 17/POJK.04/2020 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha.
Berbagai fasilitas ini dapat meringankan perusahaan terbuka untuk melakukan peningkatan modal dan melakukan transaksi material. Sebab itu, manajemen harus bijaksana dalam memanfaatkan fasilitas tersebut.
Berkaca dari merosotnya kinerja perusahaan properti yang berulang sejak krisis ekonomi 1998, perlu dilakukan:
Pertama, kepiawaian manajemen dalam menjalankan rencana bisnis dan strategi implementasi, termasuk kemampuan beradaptasi dalam berbagai skenario (best scenario/worst scenario).
Kedua, pengelolaan risiko keuangan dan operasional harus menjadi prioritas manajemen, melalui pengungkapan memadai dalam laporan tahunan. Manajemen juga perlu melakukan update kinerja perusahaan melalui public expose berkala supaya para pemegang saham mendapatkan informasi terkini yang bermanfaat dalam keputusan investasinya.
Ketiga, penguatan pengawasan yang dilakukan OJK agar dapat menangkal praktek tata kelola yang keliru. Untuk itu upaya preventif dan korektif harus dilakukan sehingga OJK mampu melindungi kepentingan investor dan masyarakat pada umumnya.
Keempat, perlu dibuat kesepakatan ihwal perusahaan properti sebagai perusahaan padat modal. Sehingga, pinjaman tidak boleh melebihi kemampuan bayar.
Regulator pasar modal tentunya tidak akan membiarkan perusahaan terbuka gagal merealisasikan harapan para pemegang saham publik, yang mengakibatkan kerugian dan keputusasaan dalam berinvestasi di pasar modal.
Yuk, perusahaan terbuka dan OJK kalian bisa!
(Disclaimer : Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan pendapat institusi tempat penulis bekerja)
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.