Strategi Investasi di Tengah Ketidakpastian Ekonomi Saat Ini

Fikri C Permana
Oleh Fikri C. Permana
2 Oktober 2024, 09:42
Fikri C Permana
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Pengambilan keputusan yang tepat dalam memanfaatkan setiap momentum faktor penting dalam berinvestasi. Kuncinya, investor perlu memahami siklus bisnis sehingga keputusan yang diambil dapat memberikan imbal hasil optimal. Salah satu gambaran hubungan siklus bisnis dan pilihan investasi dapat dilihat dari “Pring Turner Approach to Business Cycle Investing” yang ditemukan Pring Turner Investment Management pada 2012. 

Secara sederhana, ada enam siklus bisnis dalam membuat keputusan investasi. Keenam siklus tersebut, memberikan enam pilihan bagi investor, yakni tiga untuk membeli dan tiga untuk menjual, yang memiliki implementasi terhadap masing-masing pilihan kelas aset di setiap tahapan siklus bisnis. 

Walaupun Pring Turner Investment Management memiliki indikator terhadap masing-masing siklus bisnis, tetapi pemahaman terhadap kondisi perekonomian masih sangat sulit ditentukan. Terutama yang menyangkut perbedaan durasi antarsiklus bisnis. 

Apalagi perkembangan dan tantangan perekonomian saat ini semakin kompleks. Ini membuat perhatian terhadap suatu instrumen investasi tidak hanya berkutat pada perkembangan bisnis emiten. Namun, juga perlu melihat kondisi industri; penguasaan kondisi makro; respons kebijakan oleh otoritas, termasuk mengantisipasi berbagai kondisi nonekonomi, termasuk geopolitik. Investor juga perlu memperhatikan hubungan di masing-masing instrumen dan sentimen antarpasar keuangan. 

Merujuk pada kondisi saat ini, kita tentunya berharap The Fed melanjutkan pemotongan suku bunga yang dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Namun, pernyataan Ketua Dewan Gubernur The Fed Jerome Powell terkait penurunan suku bunga juga sering diikuti dengan narasi hard atau soft landing. Terlebih Indeks S&P Global Manufacturing AS terus turun sejak Maret lalu, sehingga sektor manufaktur selalu berada di zona kontraksi dalam tiga bulan terakhir.

Di Tiongkok, sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, turut berencana memberikan stimulus jumbo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mereka kembali ke level 5%. Pemerintah Tiongkok diisukan akan menerbitkan surat utang negara, senilai 2 triliun yuan. 

Pada saat yang sama, People's Bank of China (PBoC) juga berencana melakukan penurunan reserve requirement ratio sebesar 50 bps. Ini diharapkan akan menambah likuiditas sebesar 1 triliun yuan di perekonomian. Di samping juga kemungkinan penurunan berbagai suku bunga –baik 7-days reverse repo rate, loan prime rate, dan medium-term lending facility– tentunya juga diharapkan akan segera mengurangi biaya dana sekaligus mendorong daya beli masyarakat.

Di sisi lain, pendekatan hawkish Bank of Japan (BoJ) juga perlu menjadi perhatian. Meskipun BoJ Rate hanya di level 0,25%, tetapi ada indikasi bahwa ekonomi mereka berada dalam “ketidakpastian tinggi”, khususnya dari prospek aktivitas ekonomi dan harga. Bahkan sebagian besar ekonom memperkirakan BoJ akan kembali menaikkan suku bunga sebelum akhir 2024, dengan beberapa prediksi kenaikan 25 bps pada awal bulan depan.

Di samping itu, situasi geopolitik di Timur Tengah makin membara, terutama setelah serangan bom di Lebanon yang menyebabkan lonjakan harga energi global. Harga minyak WTI naik 1,62% dan Brent crude meningkat 1,40% di pekan ketiga September 2024. Harga Natural Gas dan UK Gas masing-masingnya naik 19,23% dan 15,58% secara berturut-turut di pekan keempat September ini. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperburuk inflasi global. 

Dengan melihat kondisi ini, sulit untuk menentukan fase siklus ekonomi global sekarang, termasuk di Indonesia. Data makro seperti pertumbuhan ekonomi memang tetap terjaga di angka 5,05% YoY pada triwulan II-2024, tingkat inflasi 2,12% YoY pada September 2024, dan nilai tukar rupiah cenderung terapresiasi dalam dua bulan terakhir. Namun, leading indicator sektor manufaktur malah mengalami penurunan. 

Jumlah penjualan motor selama Januari hingga Agustus memang mengalami kenaikan 3,13% dibanding periode yang sama di tahun lalu. Namun jumlah penjualan mobil wholesales di periode yang sama malah turun 17,05%. Begitupun dengan nilai PMI Manufacturing Indonesia yang dalam dua bulan terakhir selalu berada di zona kontraksi.

Dengan berbagai indikator tersebut, Bank Indonesia dapat mengikuti jejak The Fed dalam melakukan pemotongan suku bunga. Hal ini diharapkan dapat mendorong investasi, meningkatkan likuiditas di pasar, dan mengurangi biaya dana di masyarakat. 

Pada saat yang sama, penurunan tersebut juga diharapkan dapat mengurangi peran Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) sebagai stabilisator dan pendorong likuiditas jangka pendek di dalam negeri. Hal ini seiring penurunan rata-rata imbal hasil yang dimenangkan, yang pada Jumat, 27 September, kembali turun ke angka 6,81% untuk tenor 12 bulan, yang merupakan angka terendah sejak awal 2024.

Selain itu, pergantian pemerintahan yang akan segera berlangsung di Indonesia pada Oktober ini tentu akan menjadi catatan lain yang mesti diperhatikan. Apalagi realisasi sisi penerimaan dan hibah hingga akhir Agustus 2024 baru 63,41% dari target, atau senilai Rp1.776,98 triliun, sekaligus menunjukkan kontraksi 2,48% YoY. Sebaliknya, realisasi belanja di APBN hingga 31 Agustus meningkat 15,29% YoY atau mencapai Rp1.930,70 triliun, atau baru 58,06% dari plafon anggaran. 

Di sisi lain, para pelaku ekonomi tentunya juga akan melakukan evaluasi dan antisipasi terkait pendekatan fiskal yang akan dilakukan. Karena hal ini juga secara tidak langsung juga menjelaskan posisi siklus bisnis suatu negara. Di mana saat pilihan kebijakan fiskal berupa counter-cyclical mencerminkan kondisi perekonomian yang tengah berada di fase kontraksi atau overheating. Sebaliknya saat pilihan kebijakan fiskal berupa pro-cyclical, turut mencerminkan perekonomian di fase pemulihan dan ekspansi. 

Mengingat hal tersebut, di tengah semua perubahan yang data terjadi sewaktu-waktu, akan lebih bijak apabila investor tetap berhati-hati dalam menempatkan instrumen investasi. Keseimbangan antara risiko dan imbal hasil menjadi kunci. Terutama pada saat siklus bisnis masih belum menunjukkan fase yang jelas. 

Dalam konteks ini, penting bagi investor untuk melakukan diversifikasi portofolio, sekaligus mempertimbangkan instrumen investasi yang aman dan mampu memberikan imbal hasil optimal.

Fikri C Permana
Fikri C. Permana
Senior Economist PT KB Valbury Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...