Menggantungkan Harapan pada Pembangunan Infrastruktur

Arifuddin Hamid
Oleh Arifuddin Hamid
7 Maret 2025, 07:00
Arifuddin Hamid
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Awal 2025 menyapa asa bagi pembangunan bangsa. Tahun baru, pemerintahan baru, semoga menjadi awalan yang baik menuju Indonesia Emas 2045. Sebuah imaji prospektif yang menandaskan Indonesia menjadi negara yang maju, berdaulat, dan makmur. Pemerintah bahkan menyusun target ambisius, pertumbuhan ekonomi 8%. Swasembada pangan dan energi diharapkan mampu tercapai dengan sokongan infrastruktur. Faktanya, sepanjang dekade terakhir, pemerintah sangat fokus untuk membangun berbagai proyek fisik.  

Namun, apakah infrastruktur benar-benar mampu menjadi daya dorong pertumbuhan? Dalam banyak literatur, infrastruktur adalah katalis bagi pertumbuhan. Ini adalah basis teorinya. Apakah secara empirik itu benar-benar terwujud? Dan jika ternyata itu delusional, mengapa terjadi? Atau, mungkinkah sokongan infrastruktur itu terjebak pada kondisi-kondisi tertentu, dan bukanlah postulat baku di setiap negara? Deretan pertanyaan ini wajar disampaikan mengingat pertumbuhan ekonomi datar-datar saja, tidak terjadi sesuatu yang begitu mengesankan. Pertumbuhan hanya menembus 5%. 

Kementerian Keuangan mencatat pada 2005, anggaran infrastruktur dialokasikan sebesar Rp26,1 triliun, terus menaik hingga mencapai Rp177,9 triliun pada 2014. Namun mulai 2015, dana infrastruktur melonjak 43,9% dibandingkan tahun sebelumnya, yakni sebesar Rp256,1 triliun. Sepanjang pemerintahan Jokowi, alokasi anggaran infrastruktur terus mengalami kenaikan yang konsisten, hingga menembus Rp422,7 triliun pada 2024. Secara rata-rata, Presiden Jokowi mengalokasikan sebanyak 14,61% dari APBN untuk belanja infrastruktur, bandingkan dengan Presiden SBY yang hanya 8,32%.

Namun jika merujuk pada pertumbuhan ekonomi, paradoks muncul. Besaran dana infrastruktur tidak berdampak nyata pada peningkatan pertumbuhan. Ekonomi sepanjang 2005-2014 mampu tumbuh secara rerata pada angka 5,76%, bahkan beberapa kali mencatat pertumbuhan diatas 6%. Bandingkan dengan era Presiden Jokowi yang hanya mampu menembus pertumbuhan 5%, dengan rerata pertumbuhan 4,2%. Jika infrastruktur dipandang menopang keberlanjutan sistem logistik, paradoks lain muncul. 

Bank Dunia (2024) melaporkan kinerja logistik Indonesia justru anjlok. Pada 2018, Indonesia mampu mencapai peringkat 46 dengan indeks 3,15. Namun pada 2023, peringkatnya menjadi 63 dengan indeks 3,0. Kinerja ini bahkan lebih buruk ketimbang 2014, yang bahkan menembus peringkat 53 (indeks 3,08). Lalu, konektivitas seperti apa yang kemudian telah tercipta? Kita mengingat pemerintah waktu itu sangat ambisius, merajut konektivitas antarwilayah, mengurangi ketimpangan geografis. Namun jika kinerja logistik justru mengalami penurunan, ini menjadi anomali.

Tsabita (2024) dalam kajiannya terkait ketimpangan pembangunan antarprovinsi menemukan bahwa pada tahun 2022 PDRB per kapita DKI Jakarta 14 kali lipat lebih tinggi ketimbang Nusa Tenggara Timur. Bahkan, jika rujukannya adalah kemiskinan, angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat mencapai 20-26%, jauh melampaui rata-rata nasional 9,36%. Pengeluaran riil per kapita antarprovinsi juga menjelaskan ketimpangan yang nyata. DKI Jakarta tercatat mencapai rekor tertinggi, yakni Rp19,95 juta per tahun, sangat timpang dibandingkan Papua Pegunungan sebesar Rp5,71 juta per tahun (BPS, 2024).  

Kementerian Perdagangan mencatat ketimpangan harga bahan kebutuhan pokok per Desember 2024 masih sangat tinggi. Beras medium, misalnya, harganya di Papua Pegunungan menembus Rp25 ribu/kg, beda jauh dengan harga di daerah Jawa, Sulawesi, atau Sumatera yang berkisar Rp12-15 ribu/kg. Telur juga sama, harga di beberapa daerah di Papua menembus Rp52-56 ribu/kg, nyaris dua kali lipat dari harga di Jawa dan Sumatera. Atau dibandingkan harga rata-rata nasional Rp33 ribu/kg. Sejatinya pemerintah harus hadir maksimal dalam melakukan afirmasi, bahkan intervensi dalam menekan disparitas harga pada komoditas pokok.

Perubahan Nomenklatur

Jika disparitas terus terjadi, lalu apa relevansi pembangunan infrastruktur dalam mengerek ekonomi? Apabila persoalannya adalah anggaran diselewengkan, tentu penegakan hukum harus lebih tegas dan keras. Indonesia Corruption Watch (2022) menyebut pada periode 2010-2020, proyek konstruksi mencapai 53% dari tender publik di Indonesia. Pada 2015-2018, kasus korupsi proyek infrastruktur meningkat 50%. Bahkan, yang lebih miris, dari nilai kontrak 100%, hanya 50% yang secara aktual digunakan. Sisanya dibagi menjadi keuntungan kontraktor 10-15%, komitmen kepastian anggaran 7%, commitment fee 20%, dan manipulasi laporan pengadaan 5% (Transparency International Indonesia, 2023).

Tingginya korupsi di sektor infrastruktur tercermin pada angka rasio modal – output marjinal (ICOR) yang masih tinggi. Kinerja investasi semakin tidak efisien dari tahun ke tahun. ICOR Indonesia meningkat dari 5,2 pada 2004 menjadi 6,6 sebelum pandemi, dan melonjak menjadi 7,6 pada 2024. Ini artinya, setiap tambahan US$1 PDB membutuhkan lebih dari US$7 investasi tambahan, nyaris 50% lebih banyak ketimbang 2004 (Thawley, dkk, 2024). Temuan ini relevan jika merujuk pada besaran dana infrastruktur sepanjang dua dekade terakhir. Ini menandaskan ada kebocoran anggaran cukup besar di sektor infrastruktur.

Deretan fakta ini perlu menjadi catatan bagi pemerintahan baru. Apalagi punya target pertumbuhan yang ambisius, dan meyakini postulat pembangunan fisik dalam menopang ekonomi. Terbentuknya Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan semoga mampu melakukan akselerasi dan orkestrasi pembangunan. Hal ini mengingat infrastruktur berdimensi spasial, sehingga diperlukan sinkronisasi, koordinasi, serta pengendalian strategis (Pasal 5 ayat 1 PP 145/2024). Infrastruktur, kewilayahan, dan pertumbuhan punya relasi kausal. Pembangunan infrastruktur semestinya berdampak nyata pada pemerataan dan pertumbuhan.

Tantangannya memang tidak mudah. Perubahan nomenklatur punya ekses negatif: kelambatan sinergi dan gagapnya koordinasi. Akhirnya terjebak pada fokus yang berdimensi administratif. Ini tentu tidak kita harapkan. Tugas besar menanti nomenklatur baru dalam pemerintahan ini, punya lajur koordinasi yang jelas dan terarah. Dengan begitu, mampu mewujudkan tujuan hakiki pembangunan, yakni pertumbuhan yang merata. Jangan sampai infrastruktur menjadi katalis kesenjangan. Atau bahkan, menjadi transmiter urbanisasi dan melatenkan ketimpangan. Sebab, sebanyak 200 juta penduduk akan tinggal di perkotaan pada 2045, setara dengan 70% populasi Indonesia (Bank Dunia, 2019).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Arifuddin Hamid
Arifuddin Hamid
Peneliti Prolog Initiatives

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...