Menavigasi Nexus Pangan, Energi, dan Air


Pangan, energi, dan air merupakan kebutuhan fundamental bagi setiap manusia. Di tengah tekanan multidimensi, pemerintah Indonesia berupaya memenuhi kebutuhan tersebut melalui pencadangan hutan seluas 20,6 juta hektare, sebagaimana digagas oleh Kementerian Kehutanan.
Rencana pencadangan hutan untuk pangan, energi, dan air ini telah memicu kekhawatiran publik. Deforestasi di Indonesia berpotensi meluas akibat dari realisasi hutan cadangan tersebut. Terlebih Kementerian Kehutanan mengidentifikasi bahwa sekitar 15,53 juta dari rencana seluas 20,6 juta hektare akan diambil dari kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang belum dibebani izin. Dengan kata lain, rencana pencadangan hutan untuk pangan, energi, dan air seolah dapat dijadikan legitimasi atas pembukaan kawasan hutan.
Merespons kekhawatiran tersebut, pemerintah melalui Kementerian Kehutanan lantas mengklarifikasi bahwa pencadangan hutan sebagai sumber daya pangan, energi, dan air tidak akan bersumber dari deforestasi. Sebaliknya, rencana tersebut justru diyakini akan mengoptimalkan fungsi hutan melalui skema agroforestry atau wanatani. Namun, sejauh manakah pemerintah perlu bergerak?
Pendekatan Silo
Sebuah studi memproyeksikan bahwa pada 2030, permintaan global untuk pangan, energi, dan air akan meningkat masing-masing sebesar 35%, 50%, dan 40%. Pesatnya pertumbuhan populasi di tengah keterbatasan sumber daya akan memicu ketimpangan pemenuhan kebutuhan akan pangan, energi, dan air yang pada gilirannya akan menciptakan konflik destruktif pada suatu negara.
Menyadari tantangan ini, Forum Ekonomi Dunia pada 2011 telah memperkenalkan konsep keterkaitan atau nexus antara pangan, energi, dan air. Nexus ini menyoroti bagaimana ketiga sumber daya tersebut saling bergantung, sekaligus menekankan perlunya kebijakan terpadu dan strategi berkelanjutan untuk memastikan ketahanan jangka panjang. Pendekatan ini juga mempertimbangkan area konflik yang mungkin timbul akibat ketergantungan dan persaingan dalam pemanfaatan antara pangan, energi, dan air, sehingga mendorong kebijakan yang lebih terpadu dan berkelanjutan.
Nexus pangan, energi, dan air tidak hanya saling bergantung tetapi juga memberikan pengaruh yang signifikan satu sama lain. Misalnya, diperkirakan sekitar 8% dari konsumsi energi global digunakan untuk memompa, mengolah, dan mengalirkan air ke berbagai segmen konsumen. Sementara itu, pertanian berkontribusi sekitar 70% dari total penggunaan air yang artinya energi turut memengaruhi keberlangsungan sektor pangan secara tak langsung.
Pengelolaan sumber daya di Indonesia sering kali memisahkan sektor pangan, energi, dan air ke dalam kementerian atau lembaga yang berbeda, masing-masing dengan mandat tersendiri. Ini merupakan bentuk pendekatan silo yang muncul dari kebijakan yang belum berhasil memahami keterkaitan erat antar sektor secara utuh.
Salah satu kelemahan utama pendekatan silo adalah kurangnya koordinasi lintas sektor di antara para pemangku kepentingan utama. Di Indonesia, Kementerian Pertanian bertanggung jawab atas ketahanan pangan, sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berfokus pada optimalisasi produksi energi. Di sisi lain, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengelola infrastruktur air.
Pendekatan silo sering kali menghasilkan kebijakan yang tidak terpadu bahkan tumpang tindih dalam implementasi program, serta hilangnya peluang sinergi yang sebenarnya dapat meningkatkan efisiensi dan keberlanjutan pengelolaan sumber daya.
Contoh riil dari pendekatan silo dalam pengelolaan sumber daya dapat dilihat pada permasalahan air di Jawa. Meski menjadi rumah bagi 57% populasi Indonesia, Jawa hanya memiliki sekitar 6% dari total sumber daya air nasional. Banyak agenda prioritas utamanya ketahanan pangan yang harus diwujudkan di tengah terbatasnya ketersediaan air di Pulau Jawa.
Namun, kebijakan nasional kerap memprioritaskan penggunaan air untuk pembangkitan listrik, sehingga mengurangi pasokan bagi sektor pertanian. Akibatnya, hasil panen pertanian menurun, petani merugi, hingga ketersediaan pangan di pasar mengalami defisit.
Merealisasikan Nexus Pangan, Energi, dan Air
Secara alami, hutan menyediakan berbagai sumber daya vital yang mendukung ketahanan pangan, energi, dan air. Berbagai jenis tanaman hutan seperti sagu, jamur, dan kacang-kacangan selama ini telah menjadi sumber pangan yang bernutrisi bagi masyarakat sekitar hutan. Kayu bakar dan jenis biomassa lain juga menyimpan historis panjang tentang peran hutan untuk penyediaan energi khususnya bagi masyarakat adat.
Namun, ketika sektor-sektor ini dikelola terfragmentasi dalam pendekatan berbasis silo, upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, dan air seringkali menyebabkan eksploitasi sumber daya alam yang masif.
Pendekatan yang bersifat silo juga sering mengabaikan masyarakat karena berfokus pada sektor atau kepentingan pihak tertentu. Padahal sangat penting bagi pemerintah melibatkan konstituen terutama pemangku masyarakat lokal dalam tata kelola sektor kehutanan.
Penting untuk diingat bahwa Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Kehutanan mengatur bahwa hutan berfungsi sebagai cadangan sumber daya penting, termasuk pangan, energi, dan air. Regulasi ini menekankan perlunya pengelolaan hutan yang mempertimbangkan keterkaitan antara ekosistem hutan dan penggunaan lahan, serta pentingnya keseimbangan dalam pemanfaatan sumber daya hutan.
Jika pencadangan hutan untuk pangan, energi, dan air direalisasikan secara silo dengan praktik monokultur berskala luas, maka justru mencerminkan disorientasi dan inkonsistensi dalam pengelolaan hutan di Indonesia.
Indonesia perlu belajar dari Brasil pada Amazon Sustainable Program. Program tersebut bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati, meningkatkan ketahanan ekosistem, dan mempromosikan praktik penggunaan lahan yang terintegrasi dan berkelanjutan di hutan Amazon.
Pendekatan pengelolaan lanskap terintegrasi semacam ini berperan penting dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan terutama dalam menjawab tantangan kebutuhan pangan, energi, dan air. Sebetulnya, negara kita telah memulai pengelolaan lanskap terintegrasi melalui skema perhutanan sosial.
Perhutanan sosial bertujuan untuk mengubah paradigma pengelolaan hutan yang sebelumnya lebih dikuasai oleh perusahaan atau pihak swasta, menjadi lebih inklusif dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam menjaga dan memanfaatkan hutan secara bijak. Melalui skema ini, sejak 2016, izin pengelolaan jutaan hektare hutan telah diberikan kepada kelompok masyarakat di berbagai daerah, termasuk Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Alih-alih merancang cara untuk membuka kawasan hutan demi ketahanan pangan, energi, dan air, perhutanan sosial mestinya menjadi strategi yang mapan dan berkelanjutan. Skema perhutanan sosial mungkin tidak memberikan kuantitas yang besar dan valuasi moneter yang signifikan dalam jangka pendek.
Namun dalam jangka panjang, langkah ini berkontribusi pada ketahanan pangan, energi, dan air yang berkelanjutan selaras dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Juga menghindarkan Indonesia dari bencana ekologis akibat deforestasi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.