Perempuan Papua Mengungsi di Tanah Sendiri

Esther Haluk
Oleh Esther Haluk
28 Maret 2025, 06:40
Esther Haluk
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ketika dunia sedang merayakan Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day pada 8 Maret lalu, ada perempuan di bumi Papua yang mengungsi di tanah sendiri. Sekitar 82 ribu pengungsi, kebanyakan perempuan dan anak-anak, di wilayah konflik Maybrat, Intan Jaya, Nduga, Yahukimo, dan Pegunungan Bintang terusir dari rumahnya karena konflik berkepanjangan.

Sejarah panjang kekerasan di tanah Papua terjadi sejak 1960-an dan tak pernah berhenti sampai saat ini. Papua konsisten menjadi daerah operasi militer sehingga masyarakat hidup di tengah-tengah situasi konflik. Pemerintahan militeristik dan kebijakan pro kepada investasi telah menyingkirkan masyarakat adat. Hal ini melahirkan marginalisasi akut, terutama kaum perempuan.

Nahas perempuan di Papua itu sudah muncul dalam berbagai laporan, misalnya Komnas Perempuan yang bertajuk “Potret Perempuan Dalam Konflik Papua: Belum Berkesudahan (Pengungsian, Rasisme Dan Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia).” Dalam Laporan Pemantauan Papua 2018 -2021, Komnas Perempuan memandang bahwa peristiwa kekerasan dan diskriminasi serta rasisme yang berulang mencerminkan gagalnya upaya pencegahan dan penanganan konflik.

Laporan serupa dikeluarkan Papuan Women’s Working Group (PWG) & Asia Justice and Rights (AJAR) pada 2021. Laporan berjudul “Burung pun Tak Ada Lagi: Perempuan Adat Bertahan Menghadapi Kehilangan Hutan di Papua” ini memaparkan getirnya perempuan adat kehilangan hak hidup di tanahnya sendiri.

Laporan Komnas Perempuan, PWG, dan AJAR itu bagai angin lalu. Air mata masih mengalir. Darah masih mengalir di atas tanah Papua. Perempuan Papua yang melahirkan kehidupan masih menangis sampai sekarang dan entah sampai kapan.

Di Nduga, misalnya. Sebagian lahan gereja, sekolah, dan bahkan Puskesmas menjadi barak-barak tentara sehingga akhirnya menjadi target serangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Apa pun status resminya, Papua tak pernah lepas sebagai target operasi militer. Jika mendengar ada gereja atau sekolah di Papua dibakar TPNPB atau dalam konteks pemerintah Indonesia sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), itu kemungkinan karena yang ditarget adalah pusat-pusat bermukimnya aparat. 

Program Makan Bergizi Gratis yang diluncurkan pemerintahan Prabowo Subianto sekarang pun tak ada artinya di Papua. Di Papua, TNI/Polri menjadi guru, menjadi tenaga kesehatan, dan kini membagikan makanan gratis. Militer semakin masuk ruang hidup masyarakat di Papua.

Beberapa waktu lalu ada aksi demonstrasi menolak program makanan bergizi gratis. Anak-anak sekolah dari SD sampai SMA yang ikut menyuarakan aspirasinya, menginginkan sekolah gratis, dan sarana prasarana pendidikan yang memadai. Bukan makanan gratis. Apalagi, menu program ini di Papua hanya mie instan! Kami menemukan buktinya bahwa ini terjadi di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Intan Jaya. 

Persoalan yang dihadapi masyarakat Papua, khususnya perempuan, semakin bertumpuk karena industri ekstraktif lebih banyak dijalankan oleh pemerintah. Pascapemberlakuan omnibus law, izin-izin konsesi dikeluarkan oleh pemerintah. Masyarakat adat saat ini menghadapi persoalan yang serius, terutama di bidang perampasan lahan yang masif.

Interaksi masyarakat Papua dengan alam itu sangat kuat. Ketika alam dirusak, artinya ada satu hubungan yang rusak. Damai hilang. Ketika, kami yang sangat bergantung dengan alam rusak, relasi kami dengan sesama pasti rusak. Ketika relasi kami rusak dengan manusia, relasi kami dengan Tuhan juga ikut rusak. Rusak semua kehidupan kami akibat kebijakan ekstraktif, perampasan lahan, pembalakan kayu, yang kemudian menghasilkan konflik tak berkesudahan.

Konflik-konflik itu mengorbankan perempuan dan anak Papua. Kekerasan dan kriminalisasi terhadap perempuan Papua mengindikasikan pengabaian hak asasi manusia yang terus terjadi dan mempengaruhi kualitas hidup perempuan Papua. Berdasarkan data BPS 2023, Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Papua dan Papua Barat jauh di bawah rata-rata nasional. Indeks ini mengukur kesetaraan gender dalam pencapaian pembangunan manusia, mencakup kesehatan, pendidikan, dan partisipasi ekonomi.

Konflik pun membuat Papua terus bertahan dengan predikat provinsi termiskin di Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di semua provinsi Papua (Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan) pada 2024 berada di bawah rata-rata nasional. Indeks Pembangunan Manusia terendah ada di Papua Pegunungan 53,42, sementara rata-rata nasional mencapai 74,20. 

Dilihat dari angka kemiskinan, dominasi provinsi dengan penduduk miskin terbesar adalah provinsi-provinsi di tanah Papua. Provinsi paling miskin adalah Papua Pegunungan dengan persentase penduduk miskin mencapai 32,97%, disusul Papua Tengah (29,76%), Papua Barat (21,66%), Papua Barat Daya (18,13%), Papua Selatan (17,44%), dan Papua (17,26%).  Provinsi di luar tanah Papua yang hampir serupa adalah Nusa Tenggara Timur (19,48%).

Hal yang sama juga dengan prasarana pendidikan. Enam provinsi di tanah Papua merupakan beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki sarana pendidikan paling sedikit. Apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah yang sedemikian luasnya. Ini yang berimbas pada tingkat pendidikan di tanah Papua.

Ada ketimpangan prasarana sekolah dari SD sampai SMA/SMK antara provinsi-provinsi di tanah Papua dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Bahkan ketimpangannya sangat signifikan jika mengacu luas wilayah. Banyak provinsi memiliki ribuan sekolah. Hal yang sama juga dengan jumlah guru yang sesuai kualifikasi. Provinsi-provinsi di Papua lebih sedikit jumlahnya.

Jadi, masyarakat Papua lebih memerlukan sarana dan prasarana pendidikan maupun kesehatan. Masyarakat Papua tidak memerlukan makanan bergizi gratis. Orang Papua tidak mau jadi pengungsi di negeri sendiri, negeri yang kaya dan memiliki tanah yang subur. Orang Papua memiliki emas, gas, dan minyak bumi. Orang Papua memiliki segalanya. Tetapi yang terjadi, orang Papua dimiskinkan di atas alamnya yang kaya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Esther Haluk
Esther Haluk
Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...