Sistem Penjurusan SMA dan Akar Masalah Pendidikan Kita


Kebijakan pemerintah untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA mulai tahun ajaran 2025/2026 mendapat banyak sorotan. Sebagian menganggapnya sebagai langkah mundur, namun bila kita telaah lebih cermat, justru ini bisa menjadi koreksi atas berbagai persoalan mendasar dalam implementasi Kurikulum Merdeka (Kurmer) di lapangan. Tiga persoalan utama patut digarisbawahi, yang jika tak segera diatasi, justru bisa mengorbankan generasi muda kita.
Terbatasnya Sumber Daya Sekolah
Banyak siswa menghadapi kebingungan ketika harus memilih mata pelajaran di jenjang SMA dalam skema Kurikulum Merdeka. Pilihan yang terbuka luas justru menjadi bumerang ketika tidak diiringi dengan asesmen bakat dan minat yang komprehensif serta layanan konseling karier yang efektif. Tanpa arah yang jelas, pemilihan mata pelajaran menjadi serampangan dan berpotensi menjauhkan siswa dari potensi terbaik mereka.
Di sisi lain, fleksibilitas yang ditawarkan Kurmer membawa konsekuensi besar bagi sekolah. Tidak semua sekolah memiliki jumlah guru yang cukup, apalagi dengan keahlian lintas disiplin yang sesuai kebutuhan siswa. Akibatnya, banyak sekolah kesulitan memenuhi kombinasi mata pelajaran yang dipilih siswa. Selain itu, sarana dan prasarana yang belum merata menambah kerumitan pelaksanaan, menciptakan ketimpangan dalam kualitas pembelajaran.
Inilah sebabnya saya berpandangan bahwa struktur penjurusan justru memberikan arah yang lebih terarah bagi siswa dan efisiensi bagi sekolah. Dalam kondisi sumber daya pendidikan yang belum merata di Indonesia, model penjurusan dapat berfungsi sebagai kerangka yang realistis dan terukur. Model ini menghindarkan siswa dari kebingungan sekaligus menyederhanakan manajemen kurikulum di tingkat satuan pendidikan.
Pembelajaran Dangkal dan Ketimpangan Antarwilayah
Salah satu dampak dari sistem pemilihan mata pelajaran yang terlalu bebas adalah hilangnya kedalaman dalam pembelajaran. Siswa terdorong mengambil mata pelajaran lintas rumpun yang tak saling mendukung sehingga menyebabkan proses belajar menjadi dangkal dan terfragmentasi. Tanpa integrasi atau penjurusan yang jelas, kemampuan siswa berkembang setengah-setengah dan sulit diarahkan pada keunggulan bidang tertentu.
Realitas lainnya adalah meningkatnya ketimpangan antara sekolah maju dan sekolah yang berada di wilayah tertinggal. Sekolah unggulan dengan sumber daya lengkap mampu menyajikan berbagai pilihan mata pelajaran secara optimal, sementara sekolah lain justru kesulitan menjalankan Kurmer secara ideal. Ini menciptakan ketidakadilan sistemik dalam akses dan kualitas pendidikan yang semestinya merata.
Oleh karena itu, saya meyakini bahwa sistem penjurusan dapat mengembalikan orientasi pendidikan yang lebih fokus dan adil. Jika pembelajaran dibiarkan terlalu bebas tanpa struktur, yang terjadi adalah pembiaran terhadap ketimpangan yang semakin dalam. Dengan penjurusan, setiap sekolah memiliki acuan yang seragam, dan siswa bisa menekuni bidang yang selaras dengan tujuan jangka panjang mereka.
Kebingungan Lanjut Studi
Persoalan semakin rumit ketika siswa memasuki fase transisi ke perguruan tinggi. Banyak siswa mendapati bahwa kombinasi mata pelajaran yang mereka ambil tidak sesuai dengan jurusan kuliah yang mereka tuju, terutama dalam mekanisme SNBP yang menekankan kesesuaian antara mata pelajaran pendukung dan jurusan pilihan. Alhasil, tidak sedikit siswa dengan capaian akademik baik tersingkir karena dianggap tidak relevan.
Selain itu, karena tiap sekolah memiliki konfigurasi mata pelajaran yang berbeda, siswa yang pindah sekolah di tengah jalan menghadapi tantangan besar. Mereka harus menyesuaikan pilihan mata pelajaran yang belum tentu tersedia di sekolah baru, sehingga proses mutasi menjadi persoalan administratif sekaligus akademik yang menyulitkan.
Tambahan lagi, sistem peminatan di Kurmer kadang menghasilkan ironi. Siswa dengan nilai tinggi dalam berbagai mata pelajaran bisa tidak lolos SNBP karena tidak punya mata pelajaran pendukung yang sesuai dengan jurusan yang dituju. Ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai keadilan dan rasionalitas dalam sistem seleksi yang berlaku.
Dalam konteks ini, saya cenderung berpihak pada model penjurusan sebagai sistem yang memberi konsistensi antara proses belajar di SMA dan kebutuhan seleksi di perguruan tinggi. Penjurusan menciptakan keterkaitan yang logis antara minat, mata pelajaran yang dipelajari, dan jurusan kuliah yang dituju. Itu sebabnya, saya dalam posisi haqqul yaqin bahwa penjurusan lebih berpihak pada kepentingan jangka panjang siswa, bukan hanya efisiensi kebijakan.
Maka dari itu, langkah pemerintah untuk mengembalikan sistem penjurusan sepatutnya tidak dilihat sebagai bentuk kemunduran, tetapi sebagai penyesuaian terhadap realitas implementasi pendidikan di lapangan. Dengan penjurusan, siswa memiliki kerangka belajar yang lebih jelas dan mendalam, sementara sekolah tidak terbebani dengan beban logistik yang terlalu besar.
Tentu saja, sistem penjurusan yang akan dihidupkan kembali juga perlu dibarengi dengan perbaikan asesmen bakat-minat, penguatan layanan konseling, serta pelatihan guru agar mampu mendampingi siswa dengan lebih adaptif. Pendidikan adalah proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kebijakan berbasis data, bukan eksperimen yang berubah setiap berganti kepemimpinan. Saatnya kita menata ulang arah pendidikan menengah kita dengan berpijak pada realita, bukan asumsi.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.