Riset Berdampak Kunci Kedaulatan Sains dan Teknologi Nasional


Perang tarif dagang dan ketegangan dunia saat ini menyadarkan kita bahwa Indonesia tertinggal dalam penguasaan bidang sains dan teknologi. Padahal penguasaan sains dan teknologi maju sangatlah penting untuk menjadi negara maju berpendapatan tinggi. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu penggerak ekonomi kunci adalah industri bernilai tambah tinggi berbasis ilmu pengetahuan (knowledge based economy) yang digerakan oleh sains, teknologi, engineering, dan matematika (STEM).
Untuk itu, agar Indonesia tidak terjebak dalam middle income trap country, pengembangan pendidikan berbasis STEM merupakan keharusan. Kita dapat belajar dari negara-negara besar seperti Amerika, Tiongkok, Jepang, Korea Selatan di mana penggerak utama ekonomi negara tersebut adalah industri-industri berteknologi tinggi.
Pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana dan kapan Indonesia dapat mencapai posisi sebagai negara maju? Tentu saja tidak ada jawaban yang pasti terkait waktu, namun perumusan program menuju penguasaan sains dan teknologi yang memiliki dampak bagi kemajuan ekonomi negara perlu dirumuskan dengan tepat sasaran.
Pelajaran dari Amerika dalam Menguasai Kembali Teknologi Semikonduktor
Untuk menguasai sains dan teknologi, kita perlu belajar dari pengalaman berbagai negara, mulai dari Jepang dengan restorasi meiji, Cina, hingga bagaimana Amerika menguasai kembali penguasaan teknologi semikonduktor. Benang merah dari pengalaman berbagai negara, penguatan pendidikan serta riset yang berdampak menjadi kata kunci.
Contoh nyata adalah bagaimana negara adidaya seperti Amerika perlu membangun peta-jalan yang memperkuat kolaborasi pendidikan tinggi, industri, dan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam penguasaan teknologi semikonduktor melalui kebijakan Chip Act.
Amerika sebagai negara penguasa sains dan teknologi maju pernah tertinggal dalam penguasaan teknologi semikonduktor, kalah dari Jepang dalam menguasai teknologi dan pasar. Dimulai dengan pembentukan Semiconductor Industry Association (SIA) pada tahun 1977, kemudian Semiconductor Research Association pada tahun 1982, maka Amerika mampu menyiapkan tenaga terdidik yang menguasai semikonduktor (Rea et al., 1997).
Semikonduktor merupakan teknologi yang sangat padat dengan sains dasar yang memerlukan riset yang mendalam. Selain itu, perlu strategi yang tepat dengan investasi yang mencukupi untuk menguasai teknologi. Konsorsium SIA merupakan platform kolaborasi berbagai industri manufaktur dan pengguna teknologi semikonduktor, universitas dan pengambil kebijakan.
Konsorsium industri, pendidikan tinggi, dan pengambil kebijakan ini dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang mumpuni dan sesuai kebutuhan industri serta menyediakan pengetahuan yang memadai untuk pengembangan industri semikonduktor. Amerika memulai dengan mengembangkan program-program penelitian yang hasilnya dapat diserap oleh industri terkait.
Membangun Riset yang Berdampak
Berdasarkan Global Innovation Index 2024, Indonesia menduduki peringkat 54 dari 133 negara yang disurvei, masih di bawah Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura yang menduduki peringkat 4 (https://www.wipo.int/gii-ranking/en/indonesia). Walaupun peringkat ini sudah membaik secara berturut-turut semenjak 2020 yang berada diperingkat 85, namun posisi ini masih jauh dari harapan kita dalam mewujudkan negara maju.
Bahkan jika melihat lebih detail, indikator publikasi ilmiah jumlahnya menurun sebesar 3,3 % dari tahun 2020- 2023, nilai venture capital juga mendapatkan rapor merah dengan penurunan yang cukup tajam. Di sisi lain ada indikator patent investasi riset dan pengembangan (https://www.wipo.int/gii-ranking/en/indonesia). Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa inovasi di Indonesia belum baik dan memiliki dampak yang signifikan bagi perkembangan ekonomi.
Inovasi merupakan ide atau praktek yang dianggap baru. Inovasi dapat diadopsi oleh masyarakat yang memberikan dampak luas baik secara ekonomi maupun sosial. Beberapa inovasi yang bersifat disruptif dalam bidang teknologi telah diadopsi oleh masyarakat luas dan menjadi bisnis yang cukup andal misalnya Gojek, Grab, Tokopedia, Air BNB, dan Traveloka.
Inovasi tersebut telah memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat luas. Namun tentu saja kita masih perlu mengembangkan inovasi-inovasi baru melalui riset riset yang berdampak dan nilai tambah tinggi. Untuk membangun riset yang berdampak secara sosial ekonomi ini butuh kolaborasi yang komprehensif.
Salah satu pilar inovasi adalah perguruan tinggi serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di mana ide-ide baru digodok, berbagai eksperimen di laboratorium, dan lulusan yang menguasai sains dan teknologi dilahirkan. Namun tidak dapat dipungkiri jika keluaran dari penelitian mungkin belum begitu relevan dengan kebutuhan industri, atau tidak terkomunikasikan dengan baik dan berdampak ekonomi kepada dunia bisnis.
Lantaran itu kolaborasi industri dan perguruan tinggi/BRIN dalam mengembangkan penelitian-penelitian yang lebih relevan sangat diperlukan. Pada tahun lalu sudah berjalan platform Kedaireka yang mempertemukan industri dan perguruan tinggi dengan dukungan dana dari pemerintah.
Memperkuat Konsorsium Keilmuan dan Inovasi
Belajar dari Amerika yang menguasai kembali industri semikonduktor, maka perlu pendekatan inovatif yang lebih fokus, bersifat jangka panjang dan lebih relevan dengan kebutuhan industri. Dengan demikian, pengembangan konsorsium keilmuan dengan sokongan kolaborasi industri dan dana penelitian pemerintah sangat diperlukan.
Saat ini ada beberapa konsorsium keilmuan di Indonesia, misalnya ICDeC yang bertujuan memperkuat pendidikan dan riset di bidang chip design dan teknologi semikonduktor. ICDeC merupakan konsorsium 16 universitas dan industri yang memiliki fokus dalam mengembangkan talenta dan ekosistem industri semikonduktor di Indonesia.
Pada saat ini ICDeC fokus dalam pengembangan talenta semikonduktor yang bekerja sama dengan berbagai universitas, lembaga riset, dan industri di Jerman, Belanda, Taiwan, dan Inggris. Konsorsium yang bersifat kolaboratif ini dapat mengembangkan peta jalan penelitian yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar.
Tentu saja masing masing pihak dapat berperan sesuai dengan misi masing-masing. Perguruan tinggi dapat mengembangkan kurikulum bersama dengan industri, juga topik-topik penelitian yang menjawab kebutuhan industri. Industri tidak serta-merta hanya menyediakan topik, namun juga terlibat sebagai mentor yang terlibat dalam supervisi proses penelitian dengan staf akademik perguruan tinggi. Universitas juga secara aktif membantu industri dengan teknologi tinggi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk industri.
Proses kolaboratif ini diharapkan dapat menyediakan pengalaman belajar yang lebih relevan kepada mahasiswa, sekaligus membantu industri dalam penguasaan teknologi. Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki mahasiswa pun akan lebih relevan dengan kebutuhan dunia kerja.
Proses ini akan memperkaya iklim akademis di perguruan tinggi dengan kurikulum dan pengalaman belajar yang inovatif, sekaligus mengambangkan ekosistem industri di Indonesia. Diharapkan dengan sinergi ini Indonesia akan mandiri dengan produk-produk berteknologi tinggi dan mengurangi ketergantungan pada produk import. Hal ini berdampak pada kedaulatan dan keamanan nasional.
**
Rea, D. G., Brooks, H., Burger, R. M., & LaScala, R. (1997). The semiconductor industry - Model for industry/university/government cooperation. Research Technology Management, 40(4). https://doi.org/10.1080/08956308.1997.11671142
Yu, P. (2022). Diffusion of Innovation theory. In Implementation Science: The Key Concepts. https://doi.org/10.4324/9781003109945-16
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.