Overkriminalisasi dan Hasrat Menghukum di Negara Iliberal

Alvino Kusumabrata
Oleh Alvino Kusumabrata
16 Agustus 2025, 07:05
Alvino Kusumabrata
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sebanyak 50 penghuni lapas menanti dengan telaten. 10 Maret 2025 menjadi hari yang dinanti bagi puluhan orang tersebut yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kutacane, Aceh. Momentum buka puasa ditarik sebagai penandanya, 50 orang itu lantas membobol lapisan pintu pengaman dan membabat atap gedung lapas. Kemudian, mereka berlari secara bebas.

Pengamatan dari Institute for Criminal Justice Reform, daya tampung Lapas Kelas II B Kutacane hanya mampu menyediakan ruang untuk 100 orang. Akan tetapi, 100 orang tersebut harus menerima mandi keringat dengan 270 orang lain. Lapas yang menerima penghuni secara serampangan dan eksesif itu hanya satu riak kecil di skala nasional; berbagai lapas pun menghadapi problem yang sama.  

Kondisi lapas di Indonesia hari ini penuh dengan nirkesejahteraan. Sesuatu yang tidak bisa disembunyikan. Berdasarkan totalitas, per 1 Agustus 2025 lalu, seluruh lapas penjuru negeri hanya mampu menampung 146.260 orang, sementara total 281.743 narapidana harus saling menyikut dan berebut ruang lapas (Andrianto, 2025). Lebih mencolok lagi, perbandingan petugas jaga dengan penghuni lapas berada di angka timpang, yakni 1:80; satu orang harus menjaga 80 orang secara kontinu. 

Dari keseluruhan 281 ribu kurang lebih tahanan lapas tersebut, siapa saja mereka? Mengacu fakta Ditjen Pemasyarakatan, lebih dari 53% tahanan lapas adalah pemakai atau pelaku tindak pidana narkotika, dengan konsentrasi besar pada non-violent drug offenders. Tidak hanya itu, “pelaku” pelanggaran terhadap pasal karet UU UTE, kemudian orang-orang yang ditahan karena menyuarakan kebebasan berekspresi dan berpendapat juga harus merasakan dinginnya lapas. 

Sebagian besar tahanan lapas adalah mereka yang melakukan tindak pidana kategori kejahatan ringan. Negara tidak membuka pintu lain untuk penanganan non-pemidanaan. Pendek kata, overcrowding berujung pada overkriminalisasi yang terjadi.

Legalisme Iliberal

Kondisi overkriminalisasi demikian merefleksikan wajah bopeng negara hukum kita. Pertanyaannya, mengapa itu bisa terjadi? Beberapa waktu lalu, Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto telah memberikan jawaban atas problem ituIa menyebut dua alasan: gagalnya implementasi asas ultimum remedium dan disorientasi penegakan hukum.

Tapi, jawaban Menteri tersebut bernilai kebenaran semu. Alih-alih jawaban yang berbasis normatif, alasan yang riil seharusnya bersandar pada kondisi struktural. 

Pembedahan keadaan struktural menjadi penting untuk menelisik mengapa overkriminalisasi bisa muncul. Fondasi utama struktur Indonesia berpegang pada kondisi formasi sosial masyarakat yang ditentukan kuat oleh aras corak produksi—kombinasi struktur ideologi, politik, dan ekonomi semata (Marx, 1859). Adalah kuasa kebangkitan modal sejak 1980-90an yang menata lintasan formasi sosial di Indonesia hingga sekarang (Robison, 1986).

Sehingga formasi sosial  yang ada, termasuk hukum, dioperasikan untuk menopang akumulasi kapital. Kondisi ini lantas membuat corak hukum beralih menjadi legalisme iliberal (A’yun & Mudhoffir, 2022). Secara prinsip, keadaan hukum yang lekat dengan iliberal karena bertentangan dengan domain negara hukum, perwujudan utuh dari legalisme liberal, yang mana struktur hukum lebih dicondongkan pada perlindungan terhadap warga negara dari kekuasaan negara yang sewenang-wenang.

Hasrat negara untuk menghukum kepada siapapun dengan langsung memilih opsi pemidanaan kepada orang-orang yang mengkritik, berekspresi, pengguna narkotika, hingga bandar sebenarnya ekses dari keadaan struktural yang ada. Dengan kata lain, absennya asas ultimum remedium, disorientasi penegakan hukum, dan bahkan “hilangnya legitimasi moral untuk menghukum” adalah sesuatu yang absah sebagai efek domino. Berekspresi dan mengkritik seharusnya tergolong sebagai hak berdaulat warga negara. Penggunaan narkotika pun seharusnya berjumpa dengan rehabilitasi, ketimbang kriminalisasi. 

Orang-orang tersebut sudah secara jelas menghadapi bentuk ketidakpastian hukum dan ketiadaan supremasi hukum. Dua bentuk tersebut justru dalam beberapa hal berperan instrumental dalam memfasilitasi konsolidasi-konsolidasi tertentu dari pembangunan ekonomi kapitalisme pinggiran (Mudhoffir & A’yun, 2021). Yang, secara simultan, menunjukkan gelagat berhentinya reformasi hukum.

Mengapa? Dua rupa tersebut dalam derajat tertentu dibutuhkan sebab berkaitan dengan indeks Ease of Doing Business (EDB). Padahal, logika Weberian seperti kepastian, prediktabilitas, kalkulabilitas hukum dan supremasi hukum seyogyanya menjadi prasyarat signifikan bagi kelangsungan EDB. Namun, dalam kondisi ada usaha untuk mengganggu “ketertiban umum” dan stabilitas EDB, prinsip supremasi dan kepastian hukum siap untuk melecehkan dirinya sendiri. Jadi, hukum bisa kontradiktif dan paradoksikal.

Ekspresi warga dibungkam oleh hasrat negara untuk menghukum dengan pemidanaan agar menciptakan iklim politik yang stabil bagi aktivitas investor. Juga, pengguna narkotika siap menjadi pelampiasan hasrat menghukum dari negara kapanpun agar penyakit masyarakat tidak muncul sehingga investor nyaman dengan kondisi sosial-budaya yang tenang.

Cara Kelembagaan tetap Buntu

Masih dalam tulisannya, Menteri Agus memberi jalan pintas atas masalah itu. Salah satunya adalah reformasi lapas. Esensinya, reformasi lapas menyasar pada pembangunan gedung-gedung baru beserta evaluasi tata kelola bangunan yang ditopang dengan “ketegasan, transparansi, dan kolaborasi”. Utamanya, reformasi membawa rancangan besar untuk “mewujudkan lapas yang aman dan mendukung proses rehabilitasi sosial bagi warga binaan”.

Cara pandang menteri demikian selaras dengan pendekatan institusional. Ia berharap, membangun gedung-gedung baru justru bisa mengekspansi kapasitas tampung; tidak ada lagi orang yang berhimpit-himpitan dan perlakuan terhadap tahanan lebih manusiawi. Pendekatan tersebut juga mengonsentrasikan lebih pada fungsionalitas lembaga bangunan lapas dengan penekanan pada kenyamanan dan praktis.

Namun, solusi dasar bukanlah pada upaya membangun seribu gedung baru. Atau pemindahan tahanan guna pemerataan beban kapasitas hunian. Selama pembangunan ekonomi Indonesia masih berkutat dalam ruang neoliberal, selama itu pula banyak calon tahanan baru yang menunggu untuk dikriminalisasi demi visi ketentraman politik.

Tak menunggu waktu lama bahkan, dengan rentang lima tahun ke depan misalnya, bangunan-bangunan baru tersebut akan mengenal kata overkapasitas kembali. Berkelindan dengan itu, pemindahan tahanan sudah jadi jawaban yang kuno.

Selain itu, salah satu fragmen reformasi lapas adalah implementasi keadilan restoratif. Namun, kita patut skeptis sebab Rancangan KUHAP yang sedang digodok justru mengerdilkan arti keadilan restoratif yang terpaku pada mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan.

Yang lebih krusial, bila pemangku kepentingan menangkap esensi, adalah orientasi pemulihan hak dan kepentingan tahanan dan akibat yang ditimbulkan tindak pidana. Juga, model-model upaya paksa dalam RKUHAP bertendensi secara kuat hasrat negara untuk mengontrol tubuh politik masyarakat sipil.

Ringkasnya, upaya kelembagaan atas problem overkriminalisasi laiknya gali lubang kemudian tutup lubang. Untuk itu, perlu untuk menyudahi bulan madu antara pembangunan ekonomi dengan jaring neoliberal. Dengan cara itu, berbagai problem–tidak hanya masalah overkriminalisasi semata, seperti ketimpangan dan krisis perumahan, bisa teratasi.

Tapi itu semua bayangan harapan di kepala. Corak Indonesia iliberal hari ini yang sudah begitu kokoh akrab dengan neoliberalisme menjadi batu sandungan paling berat bagi terwujudnya harapan itu.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Alvino Kusumabrata
Alvino Kusumabrata
Associate Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum UGM

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...