Transformasi Industri Nikel: Antara Daya Saing dan Keberlanjutan

Cornelius Corniado Ginting
Oleh Cornelius Corniado Ginting
2 September 2025, 07:05
Cornelius Corniado Ginting
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data US Geological Survey (2023), Indonesia memiliki cadangan sekitar 21 juta ton atau sekitar 22% dari total cadangan dunia. Di tengah transisi energi global, strategi nikel nasional harus mampu melampaui sekadar hilirisasi ekonomi menuju integrasi dalam rantai pasok teknologi hijau yang adil, rendah karbon, dan berorientasi jangka panjang.

Transformasi industri nikel nasional menjadi krusial di tengah meningkatnya permintaan global untuk baterai kendaraan listrik dan teknologi hijau lainnya. Industri nikel kini menghadapi dilema: mengejar daya saing global atau membangun fondasi keberlanjutan jangka panjang. Oleh karena itu, Indonesia perlu merumuskan strategi yang tidak hanya mengejar nilai tambah ekonomi, tetapi juga memastikan perlindungan lingkungan, keadilan sosial, dan ketahanan ekosistem.

Sejak diberlakukannya larangan ekspor bijih nikel pada Januari 2020 (Peraturan Menteri ESDM No. 11/2019), Indonesia telah mendorong hilirisasi nikel secara agresif. Hingga 2023, terdapat lebih dari 43 smelter yang telah beroperasi, sebagian besar di Sulawesi dan Maluku, dengan nilai ekspor produk turunan nikel melonjak dari US$6 miliar (2019) menjadi lebih dari US$30 miliar (2024).

Namun, Industri nikel Indonesia menghadapi tantangan yang berpotensi menghambat keberlanjutan: dominasi investasi asing, terutama dari Tiongkok; kerusakan lingkungan akibat deforestasi, pencemaran air, dan emisi karbon tinggi dari smelter berbasis batu bara; rendahnya nilai tambah karena ekspor masih berupa feronikel dan NPI; serta persoalan ketenagakerjaan, mulai dari lemahnya perlindungan buruh lokal hingga tingginya tenaga kerja asing.

Dalam laporan IEEFA (Institute for Energy Economics and Financial Analysis, 2022), disebutkan bahwa sebagian besar fasilitas pengolahan nikel di Indonesia masih menggunakan teknologi intensif energi dan karbon, sehingga berdampak besar pada jejak emisi nasional.

Permintaan terhadap nikel kelas 1 (battery grade) diproyeksikan meningkat seiring pertumbuhan industri kendaraan listrik global. International Energy Agency (IEA, 2023) memproyeksikan bahwa permintaan nikel untuk EV akan meningkat hingga 19 kali lipat pada 2040. Hal ini menjadi peluang strategis bagi Indonesia untuk mengintegrasikan diri dalam rantai pasok global teknologi hijau.

Namun, tekanan juga datang dari pasar internasional. Uni Eropa, melalui Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), akan memberlakukan tarif emisi karbon pada produk yang diimpor. Hal ini bisa menghambat ekspor nikel Indonesia jika tidak dilakukan dekarbonisasi proses produksi.

Strategi Industri Nikel Berkelanjutan

Indonesia perlu menyusun ulang strategi industrinya ke arah green industrial policy, agar mampu menavigasi tekanan global dan memaksimalkan potensi nasional. Indonesia perlu menerapkan pendekatan transformasi menyeluruh berbasis prinsip keberlanjutan. Beberapa strategi utama yang dapat ditempuh sebagai berikut: 

Pertama, dekarbonisasi proses produksi. Mendorong transisi smelter dari energi fosil ke energi terbarukan (solar, hydro, geothermal).Memberikan insentif untuk penggunaan teknologi hydrometallurgy yang lebih rendah emisi dibanding piromet allurgy. Mengembangkan skema pelaporan karbon dan transparansi emisi melalui sistem MRV (Monitoring, Reporting, Verification).

Kedua, hilirisasi berbasis nilai tambah. Meningkatkan kapasitas produksi nikel sulfat (NiSO₄) untuk bahan baku baterai lithium-ion untuk menarik investasi pada industri sel baterai dan recycling baterai di dalam negeri dan mengintegrasikan industri nikel dengan program kendaraan listrik nasional dan program ekonomi hijau.

Ketiga, peningkatan tata kelola lingkungan dan sosial. Penegakan regulasi lingkungan terhadap tambang dan smelter, termasuk reklamasi pascatambang serta peningkatan partisipasi masyarakat lokal melalui community development agreement, audit ESG (Environmental, Social, Governance), dan sertifikasi hijau untuk proyek nikel strategis.

Keempat, reformasi peraturan dan kebijakan investasi. Menata ulang rezim insentif fiskal agar memberikan prioritas kepada investor hijau dan domestik. Memberlakukan syarat minimum konten lokal dan transfer teknologi dan mengembangkan skema pembiayaan berkelanjutan melalui green bonds dan climate fund.

Kelima, diplomasi mineral strategis. Membangun kemitraan jangka panjang dengan mitra strategis seperti Korea Selatan, Jepang, dan Uni-Eropa  untuk transfer teknologi dan pasar ekspor serta memimpin forum kerja sama Global-South dalam tata kelola mineral kritis. Di samping juga mempromosikan “Green Nickel” Indonesia dalam forum internasional seperti G20,BRICS,  ASEAN, dan COP UNFCCC.

Menyelaraskan Keuntungan dan Keberlanjutan

Transformasi industri nikel Indonesia bukan sekadar isu teknis atau ekonomi, melainkan persoalan visi masa depan. Di tengah krisis iklim global, nikel harus diposisikan sebagai katalis transisi menuju ekonomi hijau bukan sekadar komoditas ekspor. Pendekatan pembangunan tidak boleh lagi terjebak dalam logika ekstraksi, melainkan harus berorientasi pada keadilan ekologis, keberlanjutan sosial, dan ketahanan nasional.

Dengan tata kelola yang berorientasi pada keberlanjutan, dekarbonisasi industri, dan pemberdayaan masyarakat lokal, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam pasokan green minerals. Keberhasilan ini akan ditentukan oleh sinergi antara pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, dan mitra internasional.

Jika dikelola dengan bijak, industri nikel bisa menjadi tulang punggung masa depan energi bersih Indonesia. Namun jika abai terhadap prinsip keberlanjutan, sumber daya strategis ini bisa berubah menjadi sumber konflik dan kerusakan lingkungan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Cornelius Corniado Ginting
Cornelius Corniado Ginting
Founder Center of Economic and Law Studies Indonesia Society (CELSIS)

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...