Kelas Menengah dan Alarm Gagalnya Ekonomi Indonesia
Kelas menengah selalu menjadi motor penggerak ekonomi Indonesia. Mereka memiliki posisi penting sebagai penyumbang pajak terbesar. Penurunan populasi Kelas menengah adalah alarm gagalnya ekonomi negara. Demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus dan awal September adalah salah satu wujud aspirasi kelas menengah dalam menyuarakan kegetiran yang mereka rasakan.
Pandemi Covid-19 hingga perang dagang telah menyebabkan banyak kelompok kelas menengah yang turun kelas. Mereka kini menghadapi beban baru bernama kenaikan pajak dan pengenaan pajak baru. Pajak menghantui sejak menerima gaji, menggunakan kendaraaan, menjalankan usaha, rumah yang mereka tinggali, makanan yang mereka makan, hingga hiburan yang mereka mainkan.
Di balik tren positif pertumbuhan ekonomi yang diumumkan BPS dalam lima tahun terakhir, kelas menengah justru menghadapi gejala sebaliknya. Populasi mereka terus merosot dalam lima tahun terakhir. Data BPS memperlihatkan, kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan cukup signifikan sejak 2019, dari 57,33 juta jiwa atau 21,45% menjadi 47,85 juta jiwa atau 17,13% pada 2024.
Data ini terkonfirmasi dengan penurunan konsumsi rumah tangga kelas menengah. BPS mencatat pada 2019 konsumsi rumah tangga kelas menengah menyumbang 43,3%. Namun angkanya menurun menjadi 36,8% pada 2023. Dengan kata lain kelas menengah Indonesia saat ini sedang dalam posisi bertahan di balik terpaan kerasnya himpitan ekonomi saat ini.
Menariknya meskipun mereka terimpit kondisi sulit, kelas menengah punya taktik mengelola keuangan yang baik. Hal ini dapat terpotret dari hasil survei Katadata Insight Center (KIC) pada 2025 kepada 472 responden kelas menengah di seluruh wilayah Indonesia. Hasil survei memperlihatkan 69,9% kelas menengah, pernah mengalami momen di mana penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kehidupan dalam satu tahun terakhir.
Namun ketika mereka ditanya postur pengeluaran gaji ideal per bulan, seluruh responden menjawab, 41% atau hampir separuh gajinya habis untuk konsumsi dan kebutuhan harian sedangkan 18,4% gajinya untuk cicilan. Meski demikian mereka tidak lupa untuk menyisihkan 19,3% gajinya untuk tabungan dan 9,9% untuk pengembangan diri.
Mereka juga memiliki siasat untuk menambal penghasilan dari pekerjaan formal mereka miliki. Ini terlihat hampir separuh responden 46,5% memiliki pekerjaan sampingan dari pekerjaan formal yang mereka jalani. Dan juga 88,5 % responden yang melakukan pekerjaan sampingan mengatakan kelesuan ekonomi menjadi faktor penentu bagi mereka untuk melakukan pekerjaan sampingan.
Dari hasil survei ini dapat terlihat kelas menengah Indonesia memiliki kemampuan dalam mengelola keuangan yang baik. Fenomena “rohana” dan “rojali” yang viral beberapa waktu terakhir menjadi penanda ketidakberdayaan kelas menengah menghadapi kondisi ekonomi yang ada. Akan tetapi, mereka memiliki taktik untuk menghibur diri dengan budget terbatas. Ini menandakan, penurunan ekonomi kelas menengah bukan terjadi karena gaya hidup konsumtif mereka, tetapi karena struktur ekosistem ekonomi yang membatasi ruang gerak fiskal mereka.
Tersandera Beban Pajak
Tidak bisa dipungkiri demonstrasi yang terjadi di akhir Agustus dan awal September adalah wujud kekecewaan kelas menengah terhadap kebijakan pemerintah, terutama menyangkut kondisi ekonomi yang mereka hadapi. Kekecewaan ini terjadi sejak penetapan kenaikan PPN 12%, penetapan royalti bagi pendengar dan pemusik, kenaikan PBB di 104 daerah. Di sisi lain, tunjangan anggota DPR malah mengalami kenaikan, di tengah mayoritas rakyat sedang memutar otak beradu taktik demi bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Bak jatuh tertimpa tangga, kelas menengah harus menanggung kenaikan beban pajak dan kebutuhan hidup mereka sekaligus. BPS mencatat proporsi pengeluaran kelas menengah untuk pajak atau iuran pada 2024 naik 1,05% dibandingkan 2019. Sementara itu, di saat bersamaan mereka harus menanggung lonjakan biaya hidup mereka yang naik 7,5% sejak 2019-2024.
Ironisnya di balik penurunan populasi kelas menengah, realisasi pajak juga menunjukan tren penurunan dalam lima tahun terakhir. Data Kemenkeu meperlihatkan, realisasi pajak pada 2021 sebesar 37,38% dari target peneriman pajak. Kemudian 55,80% pada 2022, 48,34% (2023), 38,23% (2024 ), dan 3121% (2025). Ini menandakan bahwa kelas menengah merupakan penyumbang pajak terbesar. Sebagaimana data LPEM FEB UI 2024 menyatakan kelas menengah menyumbang 50,7% dari penerimaan pajak.
Kemerosotan populasi kelas menengah adalah alarm bahwa ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sejarah mencatat kelas menengah sebagai aktor di balik revolusi Indonesia dalam setiap zaman. Revolusi ini, selalu diawali dengan kemerosotan ekonomi terutama pada kelas menengah. Spirit, daya juang, dan semangat kelas menengah Indonesia tidak pernah hancur digilas zaman, meski berganti generasi dan narasi. Untuk itu jangan biarkan narasi menjadi sebuah aksi besar, perlu pembenahan ekosistem ekonomi sebelum terlambat.
Realistis Secara Fiskal
Kelas menengah berada pada posisi yang merana, selain menjadi penyumbang pajak terbanyak, mereka juga minim sentuhan dari pemerintah dibandingkan kelas bawah. Padahal posisi mereka tak kalah rentan dibanding kelas bawah. Sayangnya anggaran negara saat ini lebih banyak teralokasi pada proyek mercusuar Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Desa Merah Putih di saat anggaran negara yang menipis.
Langkah Presiden Prabowo menunjuk Purbaya sebagai Menteri keuangan yang baru, membawa harapan baru bagi kelas menengah. Tak sampai satu bulan Purbaya menjabat, ia sudah membuat kebijakan konstruktif yang membuat sentimen positif bagi pasar. Misalnya, memberikan suntikan Rp200 triliun ke perbankan milik negara agar pasar kembali bergairah.
Selain itu langkah Purbaya melakukan evaluasi terhadap program MBG, serta mengancam memindahkan anggaran MBG yang tidak terserap kepada bantuan sosial (bansos). Namun pertumbuhan ini akan bersifat temporer, jika suprastruktur dan infrastruktur ekonomi tidak dibenahi secara menyeluruh. Kepastian dan kenyamanan investasi tidak kalah pentingnya dari bansos.
Keamanan berusaha dan kepastian hukum akan menjadi stimulus bagi tumbuhnya ekonomi. Sejauh ini, social cost bagi pelaku usaha di Indonesia cukup tinggi. Kasus premanisme masih marak terjadi. Sebagaimana Numbeo Safety Index 2025 menempatkan Indonesia berada di peringkat 76 sangat jauh dengan Tiongkok di urutan 12.
Tiongkok adalah contoh sukses bagaimana negara yang dulunya miskin mampu melesat menjadi poros baru ekonomi dunia saat ini. Negeri Tirai Bambu ini, pada era Deng Xiaoping membangun suprastruktur yang ramah terhadap investasi. Alih-alih menaikkan dan mengenakan pajak baru di saat negaranya sedang membutuhkan anggaran, Deng justru memastikan keamanan dan kenyaman investasi terjaga terlebih dahulu baru kemudian ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
