Setahun Prabowo: Mengokohkan Fondasi untuk Take off

Anton Hendranata
Oleh Anton Hendranata
16 Oktober 2025, 07:05
Anton Hendranata
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Di ambang setahun, Pemerintahan Presiden Prabowo telah mengokohkan fondasi ekonomi-sosial-politik: menautkan stabilitas makro dengan program prioritas. Di atas kertas, data makro relatif tertib; di lapangan, sebagian rumah tangga kelas menengah-bawah dan sejumlah sektor riil masih menghadapi tantangan. Kepala dingin mengajak kita membaca keduanya sekaligus: mengapresiasi capaian yang nyata, sembari merapikan titik-titik yang perlu dipercepat agar manfaatnya terasa lebih merata.

Data PDB terbaru menegaskan mesin ekonomi tetap menyala. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi 5,12% pada kuartal II-2025, naik dari 4,87% pada kuartal sebelumnya. Hal ini memberi bantalan bagi kebijakan fiskal-moneter yang lebih pro-pertumbuhan tanpa meninggalkan disiplin stabilitas. Ke depan, komposisi pertumbuhan yang kini ditopang konsumsi jasa dan ekspor tertentu perlu semakin menetes ke sektor padat karya dan UMKM agar dampaknya meluas hingga ke basis ekonomi rakyat, sejalan dengan Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo.

Inflasi nasional pun terjaga rendah. Pada September 2025, inflasi tercatat 2,65%—nyaman dalam rentang sasaran BI—meskipun heterogen antar provinsi: Sumatera Utara 5,32% (tertinggi) dan Papua 0,99% (terendah). Ini mengingatkan bahwa stabilitas harga agregat belum otomatis menyelesaikan dinamika “harga dapur” di wilayah berbiaya logistik tinggi. Karena itu, respons kebijakan perlu kian presisi di simpul distribusi agar persepsi dan daya beli ikut membaik, bukan hanya sekadar angkanya.

Bantalan eksternal tetap solid. Surplus neraca perdagangan Agustus 2025 melebar ke US$5,49 miliar—tertinggi dalam hampir tiga tahun—dengan ekspor US$24,96 miliar dan impor US$19,47 miliar. Ini konstruktif bagi rupiah dan cadangan devisa, sekalipun perlambatan impor barang modal/bahan baku memberi sinyal kehati-hatian pelaku usaha. Jika permintaan domestik menguat dan pembiayaan investasi ber-tenor panjang dipermudah, ekspansi kapasitas akan lebih berkualitas.

Pasar tenaga kerja juga membaik, meskipun belum sepenuhnya merata. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 turun ke 4,76%—terendah pascakrisis ekonomi dan politik 1998—dengan tambahan 3,59 juta penduduk bekerja dibanding setahun sebelumnya. Pada saat yang sama, laporan PHK di sejumlah sektor padat karya mengingatkan bahwa pemulihan kesempatan kerja belum sepenuhnya merata dan porsi pekerja informal masih dominan. Inilah sebab sebagian masyarakat merasakan daya beli belum sepenuhnya pulih, meskipun inflasi rendah: pendapatan riil dan kepastian kerja masih perlu diperkuat.

Pada ranah kebijakan sosial, Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi jangkar prioritas. Sejak awal 2025, pemerintah melaporkan program ini telah menjangkau sekitar 31 juta penerima manfaat, dengan target bertahap menuju 80 juta, serta lebih dari 1 miliar porsi tersaji. Tata kelola mutu diperketat—uji cepat, penyaringan air, hingga penutupan sementara dapur yang belum memenuhi standar—karena pada skala sebesar ini, keselamatan pangan sebaiknya nol insiden. 

Dari sudut ekonomi, rancangan MBG berpotensi menggerakkan ekonomi lokal: bahan baku yang dapat dilacak, standar gizi, dan cold chain memastikan pangan bergizi tetap segar, sementara pembayaran digital tertutup mengalirkan omzet ke UMKM pangan sekitar sekolah. Tantangannya adalah disiplin mutu, integrasi pasok bahan segar, dan audit berbasis risiko agar skala besar tidak mengompromikan kualitas.

Penguatan ketahanan pangan berjalan paralel. Pemerintah mengarahkan investasi ke pusat-pusat produksi, memperkuat cadangan, operasi pasar, dan subsidi pupuk—termasuk inisiatif BUMN pangan untuk ekspansi sentra beras/beras pakan dengan pengering, rice mill, silo, hingga drone pemupukan. Di sisi hilir petani, harga beli gabah dinaikkan menjadi Rp6.500/kg, Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat ke 123—tertinggi dalam sejarah—dan cadangan beras pemerintah di BULOG mencapai 4,2 juta ton. Produksi beras Januari-Oktober 2025 menembus 31 juta ton, disertai pencetakan 225 ribu hektare sawah baru. Capaian ini memberi bantalan bagi stabilitas pangan dan daya beli perdesaan.

Di perumahan rakyat, kuota KPR subsidi (FLPP) 2025 dinaikkan menjadi sekitar 350 ribu unit dengan percepatan akad massal. Kebijakan yang langsung menyentuh backlog dan menggerakkan konstruksi mikro. Dampaknya akan kian terasa bila disertai lahan terjangkau, perizinan cepat, dan konektivitas ke transportasi publik.

Dari sisi makro fiskal-moneter, kebijakan semakin pro-growth. Kementerian Keuangan melaporkan defisit APBN Januari-Agustus 2025 sebesar Rp321,6 triliun (1,35% terhadap PDB) dengan target akhir tahun 2,7-2,8%. Bank Indonesia memangkas BI-Rate 0,25% ke 4,75% pada 17 September 2025, memberi sinyal pelonggaran likuiditas untuk kredit produktif. Agenda tahun kedua: transmisi. Seberapa cepat bunga kredit UMKM/KPR rakyat turun, seberapa efektif risk-sharing perbankan, dan seberapa stabil rupiah tetap terjaga.

Indikator permintaan domestik mencerminkan fase “stabil, namun belum sepenuhnya menguat.” PMI manufaktur S&P Global berada di 50,4 pada September 2025 dari 51,5 Agustus. Survei Indeks Penjualan Riil BI menunjukkan pertumbuhan ritel 2,7%. Trafik ada, namun nilai belanja menurun—maka kebijakan fiskal-moneter yang longgar perlu “mendarat” menjadi biaya hidup yang lebih ringan dan biaya modal yang lebih murah, bukan sekadar likuiditas di neraca.

Sentimen pasar keuangan membaik. IHSG menembus 8.000—tertinggi sepanjang sejarah—mencerminkan kepercayaan pasar terhadap arah stabilitas dan reformasi. Momentum ini perlu dijaga dengan kepastian hukum dan transparansi aset publik agar minat investasi portofolio bertransformasi menjadi investasi langsung di sektor riil.

Pilar hukum menjadi fondasi kredibilitas ekonomi. Penegak hukum melaporkan penyelamatan lebih dari Rp1.000 triliun potensi kerugian negara dari korupsi, penyelundupan hasil tambang, dan perkebunan sawit ilegal; lebih dari 4 juta hektare kebun sawit dikembalikan ke negara; dan kerugian Rp100 triliun dari tambang ilegal berhasil dihentikan. Reformasi kelembagaan melalui Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) meningkatkan ketepatan bantuan sosial, menurunkan governance risk premium, dan memperkuat akuntabilitas belanja negara—sebuah “dividen keadilan” yang menurunkan cost of doing business tanpa subsidi tambahan.

Pada saat bersamaan, sektor maritim kembali diposisikan sebagai tulang punggung ekonomi nusantara. Pemerintah membangun 100 Kampung Nelayan Merah Putih di berbagai pesisir, disertai pembangunan 1.582 kapal nelayan modern dan infrastruktur cold storage di pelabuhan. Kebijakan distribusi hasil laut berbasis radius-wilayah menekan food loss dan menstabilkan harga ikan di pasar lokal. Modernisasi armada dan penguatan koperasi nelayan memperbaiki rantai nilai perikanan, dari penangkapan hingga ekspor olahan, sekaligus memperluas lapangan kerja di daerah pesisir. Dengan luas laut mencapai dua pertiga wilayah Indonesia, investasi di sektor maritim bukan hanya soal pangan dan devisa, tetapi juga kedaulatan ekonomi yang berakar di desa-desa nelayan.

Di panggung diplomasi, kebijakan luar negeri Indonesia menunjukkan orientasi aktif, konstruktif, dan berdaulat. Indonesia menuntaskan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa dan Kanada—membuka akses ekspor bernilai tambah dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Di ranah kemanusiaan, Presiden Prabowo menawarkan pengiriman 20.000 pasukan perdamaian di Sidang Umum PBB ke-80 untuk membantu mengakhiri konflik di Gaza dan Ukraina. Partisipasi kontingen Indonesia dalam Republic Day India dan Bastille Day Perancis menegaskan diplomasi pertahanan yang ramah namun tegas, sementara kerja sama dengan Arab Saudi untuk pembangunan “Kampung Indonesia” di Mekkah menunjukkan diplomasi ekonomi yang berbuah nyata. Semua ini menambah nilai strategis Indonesia di mata dunia—dihormati karena mandiri, didengar karena berimbang.

Penilaian berimbangnya demikian: stabilitas makro terjaga—PDB mendekati 5%, inflasi 2,65%, surplus perdagangan kuat, dan APBN terkendali—sementara program prioritas sosial berjalan (MBG, KPR subsidi, pangan, maritim, hukum, pendidikan, kesehatan, dan diplomasi ekonomi). Pada saat yang sama, penguatan daya beli kelas menengah-bawah, kualitas pekerjaan, dan denyut sektor riil masih memerlukan dorongan yang lebih terasa di kantong masyarakat. 

Pemerintah telah menempatkan arah kebijakan pada jalur yang tepat—fiskal yang dieksekusi lebih awal dan moneter yang longgar. Sementara itu, pekerjaan kita bersama adalah menutup jarak antara angka dan rasa: harga pangan yang kian ajek di pasar, bunga kredit yang benar-benar turun di faktur, serta antrean layanan publik yang semakin singkat.

Dengan disiplin eksekusi, komunikasi yang jernih, dan feedback loop berbasis indikator sederhana—menit yang dihemat, SLA yang dipatuhi, dan suku bunga yang turun di lapangan—tahun kedua menjadi momentum ketika stabilitas tidak hanya terlihat di layar, tetapi juga terasa di dapur keluarga Indonesia: harga pangan makin tertata, simpul logistik lebih lancar, dan pembiayaan UMKM lebih terjangkau. 

Tahun ketiga semakin matang: tata kelola rantai pasok—termasuk cold chain—konsisten, belanja publik merata sepanjang tahun, dan program seperti MBG serta perumahan rakyat menunjukkan multiplier yang nyata di pasar lokal. Tahun keempat berfokus pada daya saing: standardisasi mutu dan asal-usul bahan yang jelas menjadi kebiasaan, digitalisasi pembayaran kian dalam, dan produktivitas meningkat berkat investasi yang tepat sasaran di pusat-pusat produksi. Tahun-tahun selanjutnya meneguhkan hasilnya: pendapatan riil rumah tangga menguat, kesenjangan layanan dasar menyempit, ketahanan pangan–maritim–perumahan berdiri di atas fondasi hukum dan diplomasi yang kokoh.

Dengan ritme seperti itu, Indonesia menatap ke depan dengan lebih pasti—bukan dengan janji, melainkan dengan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan inklusif yang terasa di pasar, di bengkel, di dermaga, di sawah, dan akhirnya di meja makan keluarga. 

Visi Indonesia Emas 2045 bukan hanya di atas kertas, tetapi membumi dalam layanan publik yang lebih cepat, hukum yang menegakkan keadilan, diplomasi yang menambah martabat, laut yang kembali makmur, harga pangan yang tertata, akses pembiayaan yang makin terjangkau, serta kesempatan kerja yang bertambah dan bermutu.

Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi tempat penulis bekerja. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Anton Hendranata
Anton Hendranata
Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk & CEO BRI Research Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...