Refleksi Politik Pangan di Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

M. Izzudin Ma’ruf ,
Oleh M. Izzudin Ma’ruf
28 Oktober 2025, 06:05
M. Izzudin Ma’ruf ,
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran menandai fase baru dalam politik pangan Indonesia. Di tengah tantangan global berupa perubahan iklim, krisis logistik, dan fluktuasi harga komoditas, pemerintah berupaya mengonsolidasikan agenda besar kedaulatan pangan nasional. Pidato-pidato politik dan pernyataan resmi menegaskan bahwa kemandirian pangan adalah pondasi kedaulatan ekonomi bangsa. Namun, di balik keberhasilan menjaga stabilitas harga dan stok beras, tersisa sejumlah persoalan struktural yang membutuhkan perbaikan mendasar. Politik pangan, dengan demikian, tidak sekadar kebijakan teknis, tetapi juga arena ideologis dan hegemonik sebagaimana dapat dibaca melalui lensa teori kritis dan teori pembangunan.

Kinerja dan Keberhasilan Awal

Dalam satu tahun terakhir, sejumlah capaian pemerintah patut diapresiasi. Berdasarkan data Badan Pangan Nasional (Bapanas), hingga September 2025 cadangan beras pemerintah mencapai 2,3 juta ton, meningkat signifikan dari 1,6 juta ton pada tahun sebelumnya. Inflasi pangan juga relatif terkendali di kisaran 5,6%, meski tekanan harga global dan dampak El Niño masih terasa. Pemerintah menstabilkan pasokan beras melalui penyerapan gabah yang masif oleh Bulog dan memperkuat program bantuan pangan bagi 22 juta keluarga penerima manfaat.

Langkah penting lainnya adalah penyesuaian Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah yang mulai berlaku pada Januari 2025. Pemerintah menetapkan HPP gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram, naik dari sebelumnya Rp5.000/kg. Kebijakan ini dimaksudkan untuk melindungi petani dari jatuhnya harga di musim panen, sekaligus menjaga insentif produksi. Data Bapanas menunjukkan, harga GKP di tingkat petani pada pertengahan 2025 mencapai Rp6.760/kg, atau sekitar 4% di atas HPP. Fakta ini menunjukkan adanya sinyal positif: harga di pasar relatif menguntungkan petani.

Indikator lain yang memperlihatkan perbaikan adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Data BPS menunjukkan bahwa NTP nasional pada Agustus 2025 mencapai 123,57, naik dari 122,64 pada Juli 2025. Kenaikan ini mengindikasikan bahwa daya beli petani terhadap barang dan jasa non-pertanian meningkat, meski kenaikannya masih tipis dan belum merata antar daerah. Di Lampung, misalnya, NTP mencapai 125,41, sedangkan di beberapa daerah Sumatera dan Kalimantan masih di bawah 120.

Kombinasi antara kenaikan HPP, stabilitas harga, dan peningkatan NTP mencerminkan adanya perbaikan teknokratis dalam kebijakan pangan. Negara berupaya menstabilkan sistem produksi dan menjaga keseimbangan antara kepentingan petani dan konsumen. Namun, sebagaimana dikemukakan Amartya Sen, food security bukan hanya soal ketersediaan (availability), tetapi juga akses dan daya beli (accessibility dan affordability). Artinya, keberhasilan menjaga harga gabah dan stok beras belum otomatis menjamin kesejahteraan petani secara substantif.

Pangan, Kekuasaan, dan Hegemoni Negara

Melihat politik pangan melalui kacamata teori kritis, terutama dari pandangan Antonio Gramsci, kebijakan pangan dapat dibaca sebagai instrumen hegemoni negara. Negara tidak hanya mengatur produksi dan distribusi pangan, tetapi juga membentuk kesadaran kolektif masyarakat melalui narasi “kedaulatan pangan”. Dalam narasi ini, negara tampil sebagai pelindung petani dan penjaga stabilitas harga. Namun di baliknya, terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang antara negara, korporasi, dan petani kecil.

Sebagaimana dikemukakan Gramsci, hegemoni tidak dijalankan semata-mata melalui kekuatan koersif, tetapi melalui “persetujuan aktif” masyarakat terhadap ideologi dominan. Dalam konteks Indonesia hari ini, ideologi kesejahteraan petani dibangun melalui simbol kebijakan harga dan bantuan beras. Negara seolah menghadirkan diri sebagai penyelamat pangan, padahal struktur produksi dan distribusi masih sangat terkonsentrasi.

Ketimpangan ini menciptakan paradoks: di satu sisi petani menikmati harga gabah yang lebih baik, tetapi di sisi lain, biaya produksi dan ketergantungan terhadap input industri (pupuk, pestisida, benih) terus meningkat. Berdasarkan survei pertanian 2025, biaya produksi rata-rata petani mencapai Rp25-27 juta per hektare, dengan keuntungan bersih sekitar Rp17-22 juta per musim tanam, angka yang relatif stagnan dibanding tahun sebelumnya.

Kondisi ini memperlihatkan bagaimana politik pangan masih beroperasi dalam kerangka rasionalitas instrumental: menekankan efisiensi, stabilitas, dan produktivitas, tetapi mengabaikan dimensi keadilan sosial. Sebagaimana dikritik oleh Horkheimer dan Adorno, modernisasi yang hanya berorientasi pada hasil material tanpa menyentuh struktur sosial justru memperkuat dominasi. Politik pangan yang terlalu teknokratis berisiko menjadikan petani sebagai objek kebijakan, bukan subjek pembangunan.

Pangan sebagai Arena Kesadaran Sosial

Kritik dari paradigma pembangunan partisipatif mengingatkan bahwa keberhasilan pangan tidak cukup diukur dari ketersediaan stok atau stabilitas harga. Pembangunan yang sejati harus menyentuh tiga aspek mendasar: redistribusi sumber produksi, penguatan kelembagaan petani, dan demokratisasi kebijakan pangan. 

Dalam konteks ini, penetapan HPP memang membawa dampak positif, tetapi belum menyentuh akar masalah kesejahteraan petani kecil. Di beberapa daerah, harga input pertanian justru naik bersamaan dengan kenaikan harga gabah. Harga pupuk non-subsidi meningkat hingga 15-20% sejak awal 2025. Distribusi pupuk bersubsidi pun masih tersendat, dengan laporan keterlambatan hingga dua bulan di sejumlah kabupaten di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Akibatnya, margin keuntungan petani tetap tipis meski harga jual lebih tinggi. Petani dan masyarakat sipil perlu menjadi bagian dari proses perumusan kebijakan, bukan hanya penerima manfaat. Koperasi tani, asosiasi petani, dan inisiatif lokal berbasis komunitas perlu diperkuat agar distribusi manfaat pembangunan lebih merata.

Dalam konteks teori kritis, politik pangan seharusnya berfungsi sebagai sarana emansipasi sosial membebaskan petani dari struktur ketergantungan ekonomi dan politik. Negara perlu bergeser dari logika “pengendalian harga” menuju logika “keadilan produksi”: memastikan bahwa keuntungan dari sektor pangan tidak hanya mengalir ke korporasi besar, tetapi juga kepada petani kecil yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.

Refleksi: Dari Kuasa ke Keadilan

Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan bahwa pangan telah menjadi instrumen strategis kekuasaan sekaligus ukuran legitimasi politik. Di satu sisi, stabilitas harga dan stok pantas diapresiasi sebagai capaian administratif dan teknokratis. Namun di sisi lain, tanpa transformasi struktural khususnya dalam distribusi lahan, akses modal, dan tata kelola input pertanian berisiko menjadi proyek teknokratis yang kehilangan dimensi keadilan.

Teori kritis mengingatkan bahwa modernisasi tanpa emansipasi hanyalah bentuk baru dari dominasi. Keberhasilan pangan sejati bukan sekadar diukur dari banyaknya cadangan beras atau rendahnya inflasi, melainkan dari sejauh mana petani memiliki kemandirian ekonomi dan kontrol atas sumber produksinya.

Politik pangan seharusnya menjadi ruang demokratisasi ekonomi bukan sekadar legitimasi kekuasaan. Pembangunan pangan tidak boleh berhenti pada “menyediakan makanan bagi rakyat”, tetapi harus berani melangkah ke tahap berikutnya: memerdekakan rakyat dari struktur ketergantungan pangan. Hanya dengan begitu, kedaulatan pangan tidak lagi menjadi slogan politik, melainkan kenyataan sosial yang dirasakan oleh petani di sawah dan rakyat di meja makan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
M. Izzudin Ma’ruf ,
M. Izzudin Ma’ruf
Peneliti The Republic Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...