Retail Modern Membunuh UMKM?
Pernyataan Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dalam sebuah forum publik baru-baru ini kembali memantik perdebatan lama: apakah kehadiran retail modern seperti Indomaret dan Alfamart benar-benar “membunuh” pelaku UMKM?
Dalam pidatonya, Cak Imin menyebut bahwa “retail raksasa masuk ke kampung-kampung kita dan membunuh para pelaku UMKM” serta dorongan untuk memperkuat ekonomi desa melalui Koperasi Merah Putih (KMP). Ungkapan ini seolah menegaskan bahwa ekspansi dua jaringan retail terbesar di Indonesia menjadi ancaman langsung bagi ekonomi rakyat.
Namun pernyataan tersebut sesungguhnya terlalu menyederhanakan persoalan. Pernyataan tersebut tidak menjelaskan UMKM jenis apa yang terdampak, dalam konteks pasar seperti apa, dan bagaimana mekanisme persaingan itu berlangsung. Padahal, kelompok UMKM di Indonesia sangat beragam, mulai dari usaha kuliner, kerajinan, hingga jasa digital dan tidak semuanya bersaing langsung dengan minimarket modern.
KMP dan Tujuan Besarnya
Pernyataan Muhaimin Iskandar terkait KMP yang merupakan program nasional yang digagas oleh pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM dengan dukungan regulasi, salah satunya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025. Program ini menargetkan pembentukan hingga 80.000 koperasi di tingkat desa dan kelurahan, dengan tujuan memperkuat ekonomi lokal, mendorong pemerataan dan inklusi keuangan, mencapai swasembada pangan, serta memperkuat solidaritas sosial melalui basis komunitas. Tentu harapanya KMP tidak dimaksudkan menjadi sekadar toko atau unit ritel baru, melainkan wadah ekonomi produktif yang menghubungkan masyarakat dengan potensi sumber daya di wilayahnya.
Pendekatan berbasis potensi lokal ini seharusnya menjadi inti dari pengembangan KMP. Di daerah pesisir misalnya, koperasi bisa berfokus pada pengolahan hasil laut, produksi garam, budidaya rumput laut, wisata bahari, atau logistik perikanan. Sedangkan di wilayah agraris, KMP dapat mengelola penggilingan padi, kios tani, pupuk organik, atau olahan pascapanen. Sementara di kawasan perkotaan dan kampung kota, koperasi lebih relevan bila diarahkan pada sektor jasa atau kuliner.
Artinya, jika KMP hanya diartikan sebagai warung atau toko kelontong yang bersaing dengan Alfamart dan Indomaret, maka hal itu tidak sejalan dengan semangat awal program. Koperasi harus menjadi penggerak ekonomi produktif dan pencipta nilai tambah di tingkat lokal, bukan sekedar menjadi pesaing retail modern. KMP seharusnya memperkuat rantai nilai ekonomi daerah dalam mengolah, memasarkan, dan menyalurkan produk lokal yang lahir dari potensi komunitas itu sendiri.
Faktor Sukses-Gagal UMKM
Penting juga memahami bahwa sukses atau gagalnya UMKM tidak ditentukan oleh satu faktor tunggal. Banyak pelaku usaha kecil memang menghadapi tekanan akibat perubahan struktur pasar, tetapi akar persoalannya jauh lebih kompleks. Faktor-faktor seperti keterbatasan modal, kemampuan teknologi, keterampilan manajerial, kondisi infrastruktur desa atau ekonomi lokal, kualitas produk dan inovasi, kebijakan pemerintah, daya beli masyarakat, serta tingkat persaingan pasar semuanya berperan besar dalam menentukan apakah sebuah usaha dapat bertahan.
Berbagai studi yang dilakukan oleh Bappenas, Bank Indonesia, dan OECD, menunjukkan bahwa modal tanpa kemampuan manajemen, inovasi produk, dan jejaring pasar hanya menghasilkan pertumbuhan jangka pendek. Dengan kata lain, bantuan dana atau akses kredit tidak otomatis membuat UMKM naik kelas jika tidak disertai penguatan kapasitas kewirausahaan dan dukungan ekosistem usaha. Banyak pelaku UMKM gagal karena tidak memiliki sistem bisnis yang berkelanjutan seperti kesulitan mengelola arus kas, tidak memantau stok secara rutin, belum menjaga kualitas produk secara konsisten, atau tidak memiliki strategi memperluas basis pelanggan.
Pengembangan Narasi David vs Goliath
Retorika yang menempatkan UMKM sebagai korban retail modern sejatinya hanyalah pengulangan narasi klasik “David versus Goliath” sebuah kisah kecil melawan besar yang menggugah emosi publik tetapi kerap menyesatkan arah diskusi. Menyebut Indomaret dan Alfamart sebagai “pembunuh UMKM” memang terdengar heroik di telinga rakyat kecil, namun simplifikasi ini mengaburkan kenyataan yang lebih kompleks.
Alih-alih melihatnya sebagai ancaman tunggal, keberadaan jaringan ritel modern justru membuka peluang ekonomi baru mulai dari penyerapan tenaga kerja seperti kasir, logistik, hingga distributor lokal. Tantangan yang yang muncul bukan pada kehadiran Indomaret atau Alfamart itu sendiri, melainkan bagaimana warung dan UMKM tradisional dapat bertransformasi, memperkuat kualitas layanan, dan menemukan ceruk pasar yang tetap relevan di tengah perubahan perilaku konsumen.
Jika memang warung atau toko kelontong dianggap sebagai pesaing langsung Alfamart dan Indomaret, maka kemampuan wirausaha (entrepreneurial skill) pemilik warung menjadi faktor penentu utama dalam bertahan di pasar. Perubahan perilaku konsumen saat ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung memilih tempat berbelanja yang bersih, modern, nyaman, dan menyediakan berbagai kebutuhan dalam satu lokasi. Karakteristik inilah yang berhasil ditangkap dengan baik oleh jaringan ritel modern. Sementara banyak warung atau toko kelontong masih beroperasi dengan pola lama, tanpa inovasi dalam tata ruang, pelayanan, maupun cara menarik pelanggan. Padahal jika usaha ingin relevan, pelaku usaha kecil mampu beradaptasi dengan selera dan kebiasaan belanja konsumen.
Padahal, warung dan toko kelontong juga memiliki keunggulan tersendiri. Contohnya adalah dalam hal harga dan kedekatan sosial dengan pelanggan. Harga barang di warung umumnya lebih murah karena rantai distribusinya pendek dan margin keuntungannya kecil. Selain itu, hubungan personal antara penjual dan pembeli menciptakan rasa saling percaya yang tidak bisa digantikan oleh sistem ritel modern.
Fakta ini terlihat dari ribuan warung masih bertahan di tengah ekspansi besar-besaran retail modern. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki daya tersendiri dalam memenuhi kebutuhan harian masyarakat, terutama di lingkungan permukiman padat.
Kolaborasi Menjadi Kunci
Banyak kisah sukses yang menunjukkan bahwa kolaborasi antara UMKM dan retail modern. Di banyak tempat retail modern menyediakan etalase khusus untuk produk UMKM lokal. Langkah ini tidak dilakukan secara instan, melainkan melalui proses kurasi dan pendampingan yang dilakukan oleh retail modern untuk memastikan produk UMKM memenuhi standar kualitas, kemasan, dan distribusi yang diterapkan ritel modern.
Keberhasilan tersebut tidak hanya datang dari pihak swasta. Pemerintah daerah turut berperan penting dalam membina, dan menyiapkan pelaku UMKM agar produknya layak masuk pasar ritel. Pendekatan ini mencerminkan model kolaborasi Triple Helix sebuah kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan komunitas bahkan peran akademisi yang terbukti efektif mempercepat peningkatan kapasitas UMKM.
Model seperti inilah yang seharusnya diperkuat oleh Pemerintah dan KMP. Alih-alih membangun sistem ekonomi yang berdiri sendiri dan menutup diri dari jaringan ritel besar, KMP justru bisa menjadi jembatan antara UMKM lokal dengan pasar yang lebih luas. Jika Triple Helix dijalankan secara konsisten, KMP dapat menjadi motor penggerak ekosistem kolaboratif yang membantu UMKM naik kelas dari produsen kecil di desa, menjadi pemasok yang mampu menembus rantai pasok nasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Produk UMKM Unggulan 