Retorika Politik Prabowo: Antara Kecepatan, Kuasa, dan Konsensus
Presiden Prabowo Subianto memang memiliki gaya komunikasi yang khas: tegas, langsung, dan sarat simbol. Di hadapan publik, ia menyatakan bahwa pemerintah akan menanggung seluruh utang proyek kereta cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) sebagai bentuk tanggung jawab negara. “Kita tidak boleh lari dari kewajiban,” ujarnya mantap, sembari menegaskan bahwa pembayaran utang sekitar Rp1,2 triliun per tahun bukan beban berat bagi fiskal Indonesia.
Pernyataan itu bukan sekadar soal angka. Ia adalah tindakan retoris — sebuah upaya mengkonstruksi makna tentang kepemimpinan, tanggung jawab, dan kedaulatan. Di tengah perdebatan publik mengenai efisiensi, transparansi, dan keberlanjutan proyek Whoosh, retorika Prabowo menempatkan dirinya bukan hanya sebagai kepala negara, tetapi sebagai penanggung moral atas ambisi pembangunan nasional yang telah diwarisi.
Bahasa sebagai Kuasa Politik
Dalam teori komunikasi politik, bahasa bukan hanya alat ekspresi, tetapi juga alat produksi makna dan kuasa. Seperti dikatakan Robert T. Craig (1999) dalam Communication Theory as a Field, komunikasi publik selalu menjadi arena pertarungan antara persuasi dan legitimasi. Apa yang dikatakan pemimpin tidak hanya menjelaskan kebijakan, tetapi juga mendefinisikan realitas di mata publik.
Prabowo memahami hal itu dengan baik. Ia membingkai keputusan fiskal terkait utang Whoosh bukan dalam kerangka ekonomi teknokratis, melainkan narasi kebangsaan. Dengan menyebut “negara harus bertanggung jawab”, ia memindahkan beban perdebatan dari soal efisiensi proyek ke ranah moralitas politik. Dalam kerangka retorika Aristoteles, ia memperkuat ethos (kredibilitas moral) dan pathos (emosi publik), sambil menunda pertanyaan logos (logika ekonomi) ke ruang teknis yang lebih tertutup.
Dalam retorika seperti ini, bahasa kebijakan berubah menjadi simbol kepemimpinan. Prabowo tampil bukan sebagai ekonom, tetapi sebagai prajurit bangsa yang melindungi rakyat dari beban ketidakpastian, seolah mengingatkan bahwa negara harus hadir bahkan di tengah kesalahan masa lalu.
Membingkai Risiko sebagai Kebesaran
Retorika Prabowo tentang Whoosh menarik karena mengubah posisi negara dari “pihak yang salah hitung” menjadi “pihak yang menebus kesalahan demi rakyat”. Dengan retorika tanggung jawab penuh, ia menggeser bingkai publik dari siapa yang salah menjadi siapa yang siap menanggung.
Strategi ini mencerminkan apa yang disebut Richard West dan Lynn Turner (2018) sebagai rhetorical reframing—yakni upaya mengubah persepsi publik terhadap suatu isu tanpa mengubah faktanya. Dalam kasus Whoosh, utang tetap ada, nilainya tetap besar, namun melalui bahasa politik, maknanya diredefinisi menjadi simbol tanggung jawab nasional.
Narasi ini efektif untuk dua alasan. Pertama, ia memperkuat citra Prabowo sebagai pemimpin yang berani mengambil risiko dan tidak bersembunyi di balik teknokrasi. Kedua, ia mengonsolidasikan legitimasi publik dengan menegaskan peran negara sebagai pelindung, bukan sekadar pengelola angka. Dalam konteks politik yang menuntut stabilitas pasca-transisi, langkah ini adalah bentuk retorika konsolidatif—membangun rasa kebersamaan melalui simbol tanggung jawab.
Namun, di balik keberanian retoris itu, tersimpan risiko serius. Ketika segala persoalan fiskal besar dibingkai sebagai tanggung jawab tunggal negara pusat, proses deliberatif publik dan akuntabilitas teknokratis dapat terpinggirkan. Retorika yang menenangkan bisa sekaligus membungkam perdebatan substantif tentang efisiensi, transparansi, dan manfaat jangka panjang.
Kecepatan, Simbol, dan Bayangan Sentralisasi
Prabowo telah lama dikenal dengan retorika yang mengandalkan simbol—dari salam komando, diksi keberanian, hingga dikotomi “rakyat vs elite”. Dalam konteks kereta cepat, simbol itu kini bertransformasi: kecepatan bukan lagi sekadar soal teknologi, tetapi metafora politik tentang kepemimpinan yang gesit dan solutif.
Namun, kecepatan dalam retorika tidak selalu sejalan dengan kedalaman kebijakan. Ketika keputusan untuk menanggung utang besar diambil tanpa penjelasan detail tentang struktur pendanaan, tata kelola, dan potensi dampaknya terhadap fiskal daerah, publik hanya mendapat narasi tanpa metrik. Di titik inilah muncul kekhawatiran bahwa retorika politik dapat menggantikan deliberasi publik.
Kritik terhadap sentralisasi fiskal pun menguat. Kebijakan pinjaman daerah yang semakin dikendalikan pusat melalui PP Nomor 38 Tahun 2025 memperlihatkan kecenderungan serupa: kuasa fiskal kembali ke tangan eksekutif pusat. Bila pola ini terus berlanjut, maka komunikasi publik tidak lagi menjadi ruang dialog, melainkan ruang legitimasi. Bahasa kehilangan fungsi deliberatifnya, dan hanya menjadi instrumen pengesahan keputusan.
Retorika dan Akuntabilitas
Dalam situasi seperti ini, publik memerlukan komunikasi politik yang argumentatif dan terbuka, bukan performatif. Sebagaimana diingatkan Nyarwi Ahmad, Guru Besar Komunikasi UGM, persuasi yang sehat harus berakar pada rasionalitas publik—yakni keterbukaan data, konsistensi argumen, dan peluang bagi masyarakat untuk menilai. Retorika yang kuat tanpa transparansi mudah berubah menjadi mitos politik: tampak heroik di luar, tetapi menyisakan ruang gelap di dalam.
Prabowo, dengan latar kepemimpinannya yang simbolik dan gaya komunikasinya yang emosional, memiliki peluang besar untuk membangun retorika politik baru yang inklusif—yakni yang tidak hanya menenangkan pasar, tetapi juga mendidik publik tentang tanggung jawab fiskal. Sebab demokrasi ekonomi tidak tumbuh dari angka yang disembunyikan, melainkan dari bahasa yang menjelaskan.
Menjaga Demokrasi dalam Kecepatan
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya neraca keuangan, tetapi neraca makna dalam ruang publik. Retorika Prabowo tentang tanggung jawab Whoosh dapat dibaca sebagai upaya membangun kepercayaan nasional di tengah turbulensi global. Namun, kepercayaan sejati hanya tumbuh bila publik dilibatkan dalam pemahaman, bukan sekadar dikirimi pesan.
Retorika yang baik bukan yang membuat rakyat diam, tetapi yang mengundang rakyat berpikir bersama. Ketika komunikasi politik menjadi ruang belajar kolektif—bukan sekadar ruang tampil kekuasaan—maka kebijakan, seberapa besar pun risikonya, akan memiliki legitimasi moral yang tahan lama. Di era serba cepat ini, tanggung jawab terbesar pemimpin bukan hanya memastikan kereta berjalan, melainkan menjaga demokrasi tetap berada di rel yang benar.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
