Spiral Makna di Tengah Kontroversi Gelar Pahlawan Soeharto

Rommy Fibri Hardiyanto
Oleh Rommy Fibri Hardiyanto
13 November 2025, 07:05
Rommy Fibri Hardiyanto
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Keputusan Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada sepuluh tokoh—termasuk Soeharto—memantik perdebatan luas di ruang publik. Sejumlah aktivis dan masyarakat sipil menilai keputusan itu mengabaikan luka sejarah masa Orde Baru. Narasi tentang pelanggaran HAM, pembungkaman pers, dan represi politik kembali mencuat.

Namun di sisi lain, ada yang melihat langkah tersebut sebagai bentuk rekonsiliasi sejarah dan penghargaan terhadap jasa pembangunan. Dalam situasi semacam ini, kekecewaan publik menjadi hal yang wajar. Dalam politik, setiap keputusan selalu menyinggung batas antara kepentingan, persepsi, dan tafsir sejarah.

Seperti diungkap Hermin Indah Wahyuni dalam Komunikasi dan Kekuasaan di Indonesia (2015), politik pada dasarnya adalah “manajemen persepsi melalui simbol dan bahasa untuk menjaga kepercayaan publik.” Dalam konteks itu, gelar kepahlawanan menjadi simbol yang dimaknai berbeda-beda oleh masyarakat, tergantung horizon sosial dan pengalaman historisnya.

Luhmann dan Seleksi Makna

Fenomena ini menarik bila dibaca dengan kacamata Niklas Luhmann. Dalam Social Systems (1995), ia menyebut bahwa inti dari masyarakat bukan individu, melainkan komunikasi. Realitas sosial terbentuk melalui rangkaian peristiwa komunikasi yang terus mereproduksi dirinya sendiri.

Menurut Luhmann, sistem sosial bertahan bukan karena moralitas, tetapi karena kemampuannya menyeleksi makna yang paling sesuai dengan konteks waktu tertentu. Dengan logika itu, pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto bukan sekadar soal “layak atau tidak,” melainkan soal siapa yang berhasil menguasai seleksi makna di ruang publik.

Negara, sebagai sistem politik, bekerja dengan logika berbeda dari moral publik. Ia tidak menimbang “benar–salah,” melainkan “stabil–tidak stabil.” Maka, keputusan Presiden Prabowo dapat dibaca sebagai upaya menjaga stabilitas makna di tengah situasi politik yang tengah mencari keseimbangan simbolik.

Paradoks Marsinah dan Pergeseran Tafsir

Seleksi makna ini bersifat paradoksal dan terus berubah. Sosok Marsinah, buruh perempuan yang tewas pada 1993 karena memperjuangkan hak-hak pekerja, dulu dianggap pemberontak. Namanya dihapus dari narasi resmi dan dilarang diperingati. Kini, tiga dekade kemudian, Marsinah justru dikenang sebagai simbol keadilan sosial dan keteguhan moral.

Perubahan ini menunjukkan bahwa makna dalam masyarakat tidak pernah tetap. Ia bisa berbalik arah seiring perubahan konteks sosial dan politik. Marsinah yang dulu ditolak kini dipeluk sebagai pahlawan rakyat. Paradoks ini menegaskan bahwa sejarah selalu terbuka untuk re-interpretasi—bahwa makna yang dulu disingkirkan bisa kembali dengan bentuk baru.

Dengan sudut pandang itu, kontroversi Soeharto juga bisa dilihat sebagai bagian dari siklus yang sama. Pertarungan tafsir tentang siapa yang layak disebut pahlawan menunjukkan bagaimana masyarakat terus menegosiasikan makna di tengah perubahan zaman.

Masa Lalu yang Tak Pernah Usai

Pendekatan temporal Luhmann menempatkan peristiwa ini dalam alur waktu yang tak linear. Masa lalu Orde Baru tidak pernah benar-benar berakhir; ia tersimpan sebagai cadangan makna yang bisa diaktifkan kembali saat situasi politik membutuhkannya. Ketika nama Soeharto kembali disebut dalam ruang simbolik negara, yang hadir bukan hanya sosoknya, tetapi juga seluruh jejaring makna tentang stabilitas, ketertiban, dan pembangunan—nilai-nilai yang kini tampaknya ingin direstorasikan.

Anthony Giddens dalam The Consequences of Modernity (1990) mengingatkan bahwa masyarakat modern selalu hidup dalam dialog antara ingatan dan masa depan. Struktur sosial, katanya, tidak pernah tetap, melainkan terus direproduksi melalui tindakan reflektif manusia. Maka, keputusan politik tentang simbol dan gelar hanyalah bagian dari proses berulang untuk menata ulang hubungan antara sejarah dan legitimasi.

Spiral Sejarah dan Politik Simbolik

Ali Syariati dalam Man and Islam (1971) pernah menggambarkan sejarah manusia sebagai spiral—bukan lingkaran yang tertutup, tetapi gerak berulang pada tingkat yang berbeda. Pandangan ini membantu kita memahami mengapa simbol-simbol lama bisa hidup kembali dalam wajah baru.

Pemberian gelar kepada Soeharto dapat dibaca sebagai bagian dari spiral sejarah itu. Setiap rezim selalu menafsir ulang masa lalu untuk mengukuhkan masa depannya. Orde Lama menegaskan semangat revolusi, Orde Baru menekankan stabilitas, Reformasi menonjolkan demokratisasi, sementara era kini tampaknya menampilkan rekonsiliasi simbolik.

Moral, Komunikasi, dan Politik Realitas

Di era digital, seleksi makna berlangsung jauh lebih cepat. Ketika satu keputusan diumumkan, jutaan tafsir bermunculan di media sosial. Namun menurut Luhmann, hanya makna yang mendapat dukungan struktural yang akan bertahan. Negara masih memiliki daya simbolik untuk menginstitusikan makna—melalui upacara kenegaraan, media, dan kurikulum sejarah.

Meski begitu, resonansi publik yang menolak juga tak akan hilang. Ia menjadi bagian dari keseimbangan sistem yang memastikan bahwa makna tidak beku. Dalam ketegangan itu, publik belajar melihat bahwa politik bukan semata soal kebenaran moral, tetapi juga tentang siapa yang mampu membentuk realitas.

Hermin Indah Wahyuni pernah menulis, politik yang sehat bukan yang meniadakan konflik, tetapi yang mampu mengelola perbedaan dengan keterbukaan komunikasi. Maka, perdebatan soal Soeharto dan kepahlawanan seharusnya tidak dilihat sebagai perpecahan, melainkan sebagai cara bangsa menegosiasikan ulang ingatan kolektifnya.

Refleksi Akhir

Presiden Prabowo tampaknya memahami bahwa setiap simbol adalah bahasa politik. Dengan memberikan gelar kepada Soeharto, ia bukan hanya membuat keputusan administratif, tetapi menciptakan peristiwa komunikasi yang mengguncang memori publik.

Akhirnya, seperti diingatkan Luhmann, masyarakat tidak hidup dari kebenaran, melainkan dari komunikasi yang berulang dan terus mencari keseimbangan makna. Dalam spiral sejarah Indonesia, tafsir tentang kepahlawanan akan terus berputar antara nostalgia dan luka, antara kuasa dan ingatan, antara yang ingin ditutup dan yang belum selesai. Dan mungkin, justru di situlah kedewasaan bangsa diuji—apakah kita mampu menerima sejarah bukan sebagai beban, melainkan sebagai ruang dialog yang terus hidup.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Rommy Fibri Hardiyanto
Rommy Fibri Hardiyanto
Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi UGM, Ketua Lembaga Sensor Film 2020-2024

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...