Degrowth: Menyintas Krisis Ekologi
Usai sudah Konferensi Perubahan Iklim ke-30 Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP30) yang berlangsung lebih 10 hari di Belèm, Brasil. Untuk diingat, di acara tersebut, pada 15 November 2025, Indonesia mendapatkan penghargaan satir Fossil of the Day dari Jaringan Aksi Iklim (CAN) Internasional. Di hari yang sama, Amerika Serikat (AS) juga memperolehnya, lantaran ketidakhadirannya di acara COP30, padahal sebagai kontributor utama krisis iklim global. Sedangkan Indonesia memperoleh penghargaan karena sukses membawa sejumlah pelobi energi fosil dalam rombongan delegasinya—kontras dengan tujuan menekan pemakaian energi fosil.
Luaran dari COP30 tidaklah memuaskan banyak pihak. Sebelum COP30 berlangsung, Paus Leo XIV misalnya telah menyerukan tindakan mendesak dan “pertobatan ekologis”, yang berakar pada responsibilitas, keadilan, dan solidaritas. Namun, kendati ada pengakuan akan pentingnya adaptasi dan kerangka kerja baru dalam urusan transisi energi, COP30 dinilai gagal menghadirkan komitmen transformasional untuk menghadapi krisis iklim dengan skala dan kecepatan yang seharusnya. Yang dibutuhkan adalah lompatan besar, tetapi yang didapatkan hanyalah langkah-langkah kecil. Tidak heran bila ada yang menyatakan bahwa COP30 sebetulnya bukanlah sebuah kegagalan, melainkan sandiwara belaka.
Perihal Degrowth
Dengan hasil seperti itu, krisis ekologi akan terus berlangsung dan menjauh dari pemenuhan kerangka visi dan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya soal penanganan perubahan iklim. Yang dapat terjadi bukanlah proses menuju pembangunan berkelanjutan, melainkan semata-mata upaya mengejar pertumbuhan, tanpa mempedulikan ongkosnya. Sementara pertanyaan yang harus dijawab sesungguhnya bukan lagi soal bagaimana tetap tumbuh, tetapi justru tentang bagaimana tetap hidup.
Di sinilah konsep degrowth layak dimunculkan kembali dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. François Jarrige dan Vincent Liegey dalam Routledge Handbook of Degrowth menyitir Serge Latouche—ekonom sekaligus filsuf yang memainkan peran penting dalam memperkenalkan dan menyebarkan gagasan degrowth di Prancis. Latouche menegaskan bahwa: “Masalah dari pembangunan berkelanjutan bukan terletak pada kata berkelanjutan—yang sebenarnya cukup baik—melainkan pada konsep pembangunan itu sendiri, yang merupakan ‘kata beracun’.” Dengan demikian, yang bermasalah adalah pembangunan, yang telah begitu lama dengan sangat kuat dibaca sebagai pertumbuhan.
Degrowth adalah teks umum yang lebih teknis dan akademik dari décroissance—istilah aslinya dalam bahasa Prancis—yang nuansanya lebih politis dan radikal, dengan sejarah yang panjang. Yang pasti, degrowth sejatinya bukanlah anti-pertumbuhan. Ini adalah kritik terhadap keyakinan bahwa ekonomi harus tumbuh tanpa batas dalam dunia dengan sumber daya yang terbatas.
Dua prinsip utama yang menjadi fondasi degrowth adalah keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) dan kehidupan yang lebih sederhana namun bermakna (conviviality). Lebih tajam, dalam tradisi pemikiran Prancis, degrowth adalah proyek ekonomi-sosial-kultural yang menantang asumsi bahwa pertumbuhan material selalu serupa dengan kesejahteraan, kebebasan, atau kualitas hidup. Jadi, yang dituju adalah pertumbuhan yang tunduk pada batas ekologis dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup.
Dengan demikian, dari sisi kebijakan, degrowth adalah upaya menekan aktivitas ekonomi yang merusak ekologi, dan bersamaan memperkuat sektor-sektor yang mendorong peningkatan kesejahteraan. Fokusnya adalah kualitas hidup, bukan kalkulus pertumbuhan ekonomi. Reduksi perusakan ekologi tidak lagi bisa ditawar, bumi tidak lagi bisa dianggap sebagai mesin tanpa batas.
Apalagi, hasil studi sejumlah ilmuwan menemukan bahwa manusia telah melampaui enam dari sembilan batas ekologis planet (Rockström, Gupta, Qin, et al. 2023). Enam batas ekologis yang sudah dilewati tersebut adalah perubahan iklim, hilangnya biodiversitas, perubahan penggunaan lahan, gangguan siklus nitrogen-fosfor, krisis air tawar, dan polusi entitas baru (seperti mikroplastik). Tiga batas ekologis lainnya adalah pengasaman laut dan polusi aerosol atmosfer yang sudah mendekati ambang kritis, serta ozon stratosfer yang agak membaik.
Secara keseluruhan, temuan ini menegaskan bahwa aktivitas manusia telah mendorong Bumi keluar dari zona aman bagi keberlanjutan kehidupan. Akibatnya, risiko ketidakstabilan ekosistem global makin membesar, dan melemahkan fondasi ekologis yang menopang kesejahteraan manusia.
Menyintas Krisis Ekologis
Karena bumi adalah sistem ekologis yang kompleks dan saling terkait, maka degrowth, harusnya, menjadi urusan kolektif baik secara spasial/geografis maupun historis. Misalnya, negara maju dan kaya harus menekan konsumsinya supaya negara yang kondisinya rentan dapat berkembang secara adil. Negara kaya memiliki utang ekologis yang seharusnya dibayarkan kepada negara-negara berkembang dan miskin.
Di sinilah instrumen seperti perdagangan karbon tidak jarang dilihat masih luput dari dimensi keadilan, ketika praktiknya justru seperti memperpanjang kolonialisme karena semata-mata menggeser beban ke negara-negara Selatan, dan sejarah emisi pun tidak diperhitungkan. Singkatnya, ini hanya menjadi mekanisme penundaan transisi energi dan justru melegitimasi pencemaran dan emisi.
Tentu, degrowth bukanlah satu-satunya jawaban. Tetapi ini perlu ditimbang-timbang secara rasional, adil, dan etis di tengah krisis ekologi yang makin parah. Degrowth menginginkan ekonomi yang lebih baik, bukan ekonomi yang semata-mata makin besar. Supaya kita masih bisa tumbuh, maka bumi harus diselamatkan, dengan cara yang berkelanjutan dan manusiawi.
Menyintas krisis ekologis membutuhkan cara berpikir alternatif. Degrowth memberikan tawaran untuk dapat menemukan jalan ketika berada di persimpangan jalan: pertumbuhan untuk statistik, atau masa depan untuk hidup dan kehidupan?
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
