Ujian Kemandirian Fiskal Daerah
Reformasi 1998 menancapkan fondasi perubahan mendasar dalam proses transisi politik paling bersejarah sepanjang masa. Misi suci yang diemban antara lain pelaksanaan otonomi seluas-luasnya, menghapus praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), menegakkan supremasi hukum, menjamin hak asasi manusia dan demokrasi, dan menjamin kebebasan pers.
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara memberikan respons politik melalui Ketetapan Nomor X/MPR/1998 sebagai panduan reformasi kebijakan ekonomi, yang diikuti Ketetapan Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah. Pokok-pokok kebijakan reformasi pembangunan mencakup bidang ekonomi, politik, hukum, agama dan sosial budaya. Salah satu kebijakan reformasi di bidang ekonomi adalah menyelenggarakan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Profesor M. Ryaas Rasyid ketika menjadi saksi ahli di hadapan Mahkamah Konstitusi pada 2016 menguraikan, bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 menempatkan kewenangan yang cukup luas ke daerah, khususnya kabupaten/kota, dan alokasi sumber keuangan yang relatif besar dibanding sebelumnya. Hal itu telah secara bertahap mengubah wajah daerah dan membangkitkan daya prakarsa, kreativitas, dan harga diri mereka.
Alokasi sumber keuangan yang dirancang dalam kerangka perimbangan keuangan pusat dan daerah menjadi urat nadi penyelenggaraan otonomi daerah, dalam rangka mewujudkan peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, lapangan berusaha, meningkatan akses dan kualitas pelayanan publik serta daya saing daerah.
Otonomi daerah telah diselenggarakan selama dua setengah dekade. Sumber daya keuangan masih dipasok dari dana perimbangan setiap tahun rata-rata 80%, di mana istilah tersebut telah dikoreksi menjadi transfer ke daerah (TKD) sejak perubahan kedua undang-undang pemerintahan daerah ditetapkan. Daya prakarsa dan kreativitas yang dicitakan belum menjelma menjadi kemampuan kolektif untuk mewujudkan kemandirian fiskal di tingkat daerah.
Persoalannya adalah pemerintah pusat sedang mengencangkan ikat pinggang untuk berhemat, mengutamakan proyek prioritas skala nasional, sehingga efisiensi menjadi pilihan sejak tahun anggaran 2025. Kebijakan efisiensi awalnya hanya menyasar pemangkasan belanja perjalanan dinas, kini berkembang menjadi pengurangan belanja transfer ke daerah.
Walhasil, lebih dari lima ratus daerah otonom menghadapi masalah pelik sambil menggugat: uang dari mana untuk membiayai Pembangunan?
Mandiri atau Hemat
Kajian terhadap tingginya ketergantungan daerah otonom kepada pemerintah pusat telah diungkap hampir setiap tahun. Kritik sekaligus masukan disampaikan secara langsung kepada pemerintah daerah, termasuk kepada pemerintah pusat melalui Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri.
Derajat desentralisasi fiskal dipandang sebagai rekognisi (pengakuan dan penghargaan) kepada pemerintah daerah, namun muncul kekhawatiran dan kecemasan karena tidak tumbuhnya kreativitas daerah otonom mengupayakan pendapatan sendiri untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memperluas manfaat pembangunan.
Di sisi lain pengelolaan belanja daerah menunjukkan gejala ripitasi yang parah, boros, tidak efisien serta tidak berorientasi hasil yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat dan pelayanan publik maupun penanggulangan kemiskinan. Proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban juga masih jauh dari standar tata kelola yang baik (good governance). Stigma negatif daerah otonom kian melekat: “tidak mandiri, boros, dan buruk rupa.”
Kemandirian fiskal daerah dapat diupayakan secara gradual. Daerah otonom memiliki ruang untuk mengoptimalkan sumber pendapatan asli daerah (PAD), terutama pajak daerah dan retribusi daerah serta pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Sejauh ini tidak banyak (atau bahkan tidak ada) daerah yang secara serius memetakan potensi, merancang cetak biru, dan merancang peta jalan yang serius untuk menggali ketiga sumber potensial tersebut.
Baru-baru ini Hayadi (2025) mengulas kerangka optimalisasi PAD di Provinsi Kalimantan Utara. Ia berkesimpulan banyak potensi pendapatan daerah yang belum tergarap optimal. Kajian tersebut menawarkan enam rekomendasi: pemutakhiran data wajib pajak dan retribusi daerah; reformulasi tarif bagi sektor industri dan jasa; penguatan SDM dan insentif kinerja; pemetaan potensi berbasis spasial dan sektoral; mempermudah perizinan investasi sektor swasta; optimalisasi kinerja dan model bisnis BUMD.
Usaha membangun kemandirian fiskal daerah di tengah musim pemotongan transfer ke daerah menjadi opsi utama. Pilihan kedua adalah menghemat rutinitas belanja barang/jasa yang tidak berfaedah, sekaligus menata ulang rancang bangun program kegiatan dalam rencana pembangunan jangka menengah menjadi lebih fokus dan presisi, dengan mengutamakan isu paling kritis dan strategis yang harus diselesaikan setiap tahun. Perampingan organisasi perangkat daerah menjadi opsi ketiga untuk dipertimbangkan, mengingat beban belanja rutin harus dikoreksi dan dikendalikan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
