2026, Tahun Pembuktian Prabowo
Banjir besar yang melanda sejumlah wilayah di penghujung 2025 telah merenggut hampir seribu jiwa dan memaksa puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal. Angka ini sangat mungkin bertambah mengingat masih banyak lokasi terisolasi dan belum dapat dijangkau tim penyelamat. Mereka yang selamat pun masih harus menghadapi hari-hari sulit karena pemerintah belum menunjukkan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang jelas. Respons pemerintah terlihat kedodoran—kurang sigap dan seperti masih mencari bentuk.
Bencana ini seolah menjadi pesan alam bahwa kita sedang memasuki periode yang tidak ramah. Apa yang terjadi di Aceh, Sumut, dan Sumbar hanyalah sebagian dari deretan panjang tantangan yang dihadapi 280 juta rakyat Indonesia. Banyak rakyat tengah berjuang menghadapi “bencana” dalam bentuk lain: kekhawatiran kehilangan pekerjaan, beban biaya hidup yang terus merangkak naik, jeratan pinjaman online, hingga kecemasan tidak mampu keluar dari kemiskinan maupun mencegah anak-cucu mereka ikut terjerumus ke dalamnya.
Pemerintah sendiri tidak berada dalam posisi mudah. Penerimaan pajak melemah sehingga Indonesia berpotensi memasuki era rasio pajak 9%. Sektor riil belum juga menggeliat meskipun likuiditas ratusan triliun digelontorkan ke perbankan. Pertumbuhan kredit tahunan terus merosot sejak Prabowo dilantik.
Rupiah pun tertekan—dalam setahun terakhir terdepresiasi terhadap 84,3% mata uang dunia—hingga menjadi salah satu yang terlemah. Tekanan nilai tukar membuat pemerintah meninjau ulang rezim devisa bebas dengan memberlakukan aturan dana hasil ekspor yang jauh lebih ketat; langkah yang sesungguhnya mengandung risiko besar.
Tahun Penting Bagi Prabowo
Setahun pertama pemerintahan Prabowo diwarnai narasi yang menempatkan pemerintahan Jokowi sebagai sumber berbagai masalah: tekanan fiskal, membengkaknya beban utang, struktur APBN yang rapuh, hingga isu pengangguran, ketimpangan, merosotnya meritokrasi, memburuknya budaya korupsi, dan besarnya intervensi politik.
Namun pada 2026, narasi itu tidak lagi relevan. Walaupun sejumlah menteri rekomendasi Jokowi masih berada dalam kabinet, Prabowo telah memiliki waktu cukup untuk menilai dan melakukan penyesuaian. APBN 2026 juga sepenuhnya disusun oleh pemerintahannya sendiri, memuat prioritas dan program unggulan yang sejak awal dijanjikan kepada rakyat.
Tahun itu pula berbagai program andalan mulai terlihat wujudnya: Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih (KDMP), Sekolah Rakyat, hingga program Tiga Juta Rumah. Kemudian, kinerja ekonomi 2026 menjadi titik awal penilaian apakah janji pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029 benar-benar dapat terwujud.
Lima Jebakan Ekonomi 2026
Pertumbuhan PDB—indikator utama kinerja ekonomi—diperkirakan tidak menggembirakan. World Bank dan IMF memproyeksikan ekonomi Indonesia pada 2026 hanya tumbuh 4,9%. OECD, ADB, LPEM-UI, Indef, dan Core Institute berada sedikit lebih tinggi pada 5,0%. Semua angka ini jauh di bawah proyeksi pemerintah dan Bank Indonesia, yaitu 5,4% dan 5,3%; apalagi asumsi dalam RPJMN sebesar 6,3%.
Kombinasi dinamika global dan kebijakan domestik yang kurang diperhitungkan dengan matang menempatkan Indonesia berpotensi terperosok ke dalam lima jebakan ekonomi. Jika tidak dikelola dengan cermat dan akhirnya terjebak, pertumbuhan PDB bisa jatuh di bawah 5%.
Kelima jebakan tersebut adalah: Koperasi Desa Merah Putih, yang berpotensi mengkanibal usaha mikro rakyat; selain berdampak ekonomi minimal ia juga berpotensi menimbulkan gejolak di banyak daerah. Lalu, pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) hingga 18%, membuat pemerintah daerah kekurangan ruang fiskal dan sulit menjalankan fungsi sebagai motor ekonomi lokal.
Kemudian, risiko bencana alam yang meningkat, sementara kemampuan respons BNPB, pemerintah pusat, dan daerah semakin terbatas akibat tekanan anggaran dan lemahnya kapasitas organisasi. Hal lain, dramatisasi pemberantasan korupsi, yang memunculkan ketidakpastian hukum dan membuat birokrasi, BUMN serta pelaku usaha semakin takut mengambil keputusan; otomatis laju ekonomi pun melambat. Yang terakhir, Kondisi BUMN yang rapuh, sehingga sulit diharapkan menjadi pendorong ekonomi dalam beberapa tahun ke depan.
“Enak Jamanku To?”
Rakyat akan mulai menilai pemerintahan Prabowo bukan dari narasi, tetapi dari prestasi. Mereka akan bertanya: Apakah mencari pekerjaan makin mudah? Apakah harga kebutuhan hidup lebih terjangkau? Apakah korupsi benar-benar ditekan? Apakah pendidikan dan kesehatan semakin mudah diakses?
Penilaian itu akan membuat banyak orang mulai membandingkan situasi di era Prabowo dengan era pendahulunya. Jika kondisi tak membaik, bukan tidak mungkin stiker legendaris “Enak Jamanku To?” dengan foto presiden terdahulu akan viral—bukan sekadar di bak truk atau warung kopi, tetapi juga di berbagai ruang digital. Situasi yang jelas tidak mengenakkan bagi pemerintahan Prabowo.
Potensi itu sangat tinggi dan semakin terasa karena hingga kini belum tampak terobosan yang benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat. Banyak program masih dijalankan dengan konsep tambal sulam, yang dieksekusinya secara lamban.
Perlu Lebih Membumi
Memasuki 2026, pemerintah perlu melakukan koreksi mendasar agar harapan publik tidak merosot. Jika presiden minta masukkan hal apa saja yang perlu dijadikan resolusi tahun barunya, ide berikut layak untuk disorongkan:
Pertama, mengubah gaya komunikasi dari retorika yang menggelegar menjadi narasi yang konkret, terukur, dan membumi. Ini akan mampu memberi arah bagi pemerintah serta rakyat.
Kedua, menyusun target ekonomi yang realistis. Koreksi terhadap target pertumbuhan 8% pada 2029 menjadi penting agar tidak terjadi misalokasi sumber daya dan kredibilitas pemerintah tetap terjaga.
Ketiga, memperbaiki desain dan eksekusi program unggulan, termasuk MBG, KDMP, Tiga Juta Rumah, dan Sekolah Rakyat, agar selaras dengan kebutuhan rakyat sekaligus kemampuan fiskal pemerintah.
Keempat, merombak kabinet. Banyak posisi masih ditempati oleh mereka yang tidak mampu memikul mandat besar. Membangkucadangkan pejabat yang berkinerja buruk dan memberi ruang bagi figur yang kompeten akan menjadi alunan musik merdu ditelinga rakyat.
Kelima, lebih banyak mendengar suara rakyat, baik melalui tatap muka maupun media yang kredibel. Presiden perlu mengurangi ketergantungan kepada juru-hubung yang kerap menyaring informasi, menciptakan distorsi dan menjauhkan pemimpin dari realitas sebenarnya.
Jika resolusi ini dijalankan dengan sungguh-sungguh, 2026 berpotensi menjadi tahun harapan. Dan pada akhirnya, rakyat mungkin tetap akan memviralkan stiker “Enak Jamanku To”—tetapi kali ini dengan wajah Prabowo, bukan sosok yang lain. Insya Allah.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.
