Mencari Titik Seimbang antara Komitmen Global dan Perlindungan Hutan Nasional

Indrawan Susanto
Oleh Indrawan Susanto
18 Desember 2025, 09:10
Indrawan Susanto
Katadata/Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Komitmen Indonesia untuk berpartisipasi dalam Tropical Forest Forever Facility (TFFF) yang digagas Brasil pada COP30 sejatinya mencerminkan satu hal penting: Indonesia ingin tetap berada di barisan depan diplomasi iklim global. Rencana investasi hingga US$1 miliar atau sekitar Rp16,8 triliun ke dalam mekanisme pendanaan perlindungan hutan hujan tropis dunia bukan angka kecil, dan tentu tidak lahir dari ruang hampa.

Dalam lanskap global yang semakin menuntut tanggung jawab lingkungan, langkah ini dapat dibaca sebagai sinyal keseriusan Indonesia untuk ikut menjaga ekosistem tropis sebagai kepentingan bersama umat manusia. Namun, di saat yang sama, diskursus publik di dalam negeri menunjukkan respons yang tidak sepenuhnya antusias. Polemik pun muncul, bukan karena publik menolak konservasi global, melainkan karena muncul kegelisahan yang wajar: bagaimana dengan kondisi hutan Indonesia sendiri?

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan rangkaian bencana ekologis di berbagai wilayah, khususnya di Sumatra. Banjir bandang di Aceh, longsor di Sumatra Utara, dan banjir serta tanah bergerak di Sumatra Barat tidak lagi dipahami semata sebagai peristiwa alam, tetapi sebagai konsekuensi dari tekanan yang terus-menerus terhadap kawasan hutan.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB) menunjukkan, sebagian besar bencana di Indonesia bersifat hidrometeorologis dan sangat berkaitan dengan degradasi lingkungan, termasuk deforestasi, alih fungsi lahan, dan lemahnya tata kelola daerah aliran sungai. Di sinilah TFFF menjadi ruang diskusi yang menarik sekaligus sensitif.

Di satu sisi, Indonesia adalah salah satu negara dengan hutan tropis terbesar di dunia, sehingga secara moral dan strategis memang pantas terlibat dalam skema global perlindungan hutan. Di sisi lain, kondisi objektif di dalam negeri menunjukkan bahwa pekerjaan rumah Indonesia di sektor kehutanan masih sangat besar. Sebenarnya, dua realitas ini tidak perlu dipertentangkan, tetapi harus ditempatkan dalam kerangka kebijakan yang saling menguatkan.

Pembuktian Pemerintah terhadap Komitmen untuk Menjaga Hutan

Masyarakat perlu sebuah rasionalitas bahwa berpartisipasi dalam TFFF bukanlah langkah yang keliru. Justru sebaliknya, keterlibatan Indonesia dapat menjadi sarana untuk memperkuat posisi tawar, akses pembiayaan hijau, serta transfer pengetahuan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.

Tantangannya adalah bagaimana memastikan komitmen global tersebut tidak berjalan paralel secara terpisah dari agenda perlindungan hutan nasional, melainkan terintegrasi secara substantif. Di sinilah peran pemerintah untuk membuktikan. Dalam konteks ini, terdapat beberapa prinsip kebijakan yang dapat menjadi pegangan pemerintah agar partisipasi Indonesia dalam TFFF tetap relevan, kredibel, dan berdampak nyata bagi kepentingan nasional.

Pertama, pemerintah perlu menegaskan bahwa komitmen internasional harus berbasis pada penguatan kebijakan domestik. Investasi ke TFFF idealnya berjalan seiring dengan peningkatan kualitas belanja negara untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup di dalam negeri.

Perlindungan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan lahan, penguatan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), serta penegakan hukum kehutanan harus menjadi prioritas yang tidak boleh tereduksi oleh euforia diplomasi global. Dengan kata lain, kontribusi ke TFFF akan jauh lebih kuat secara naratif dan substansial apabila publik melihat adanya konsistensi kebijakan di dalam negeri.

Kedua, integrasi lintas sektor menjadi kunci. Selama ini, persoalan kehutanan kerap tidak berdiri sendiri, melainkan bersinggungan dengan kebijakan pertambangan, perkebunan, energi, dan infrastruktur. Pemerintah telah melakukan berbagai pembenahan, termasuk moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut, namun implementasinya masih menghadapi tantangan di lapangan.

Partisipasi dalam TFFF dapat dijadikan momentum untuk memperkuat koordinasi lintas sektor, sehingga kebijakan pembangunan ekonomi tidak berjalan berlawanan arah dengan komitmen perlindungan hutan.

Ketiga, dimensi keadilan sosial perlu menjadi perhatian utama. Pengalaman Indonesia menunjukkan hutan yang dikelola oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat cenderung lebih terjaga. Karena itu, pengakuan dan penguatan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan sosial dan hutan adat harus dipercepat. Dalam konteks TFFF, keberhasilan Indonesia justru akan lebih meyakinkan apabila perlindungan hutan tidak hanya berbasis instrumen fiskal, tetapi juga pada tata kelola yang inklusif dan partisipatif.

Keempat, transparansi dan komunikasi publik tidak boleh diabaikan. Polemik TFFF sebagian besar muncul karena keterbatasan informasi yang utuh di ruang publik. Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka posisi Indonesia bahwa komitmen terhadap TFFF bukanlah pengalihan perhatian dari persoalan domestik.

Komitmen Indonesia di TFFF adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat perlindungan hutan nasional melalui kerja sama global. Dengan komunikasi yang baik, TFFF dapat dipahami sebagai instrumen pendukung, bukan simbol kontradiksi.

TFFF sebagai Katalis

Pada akhirnya, menjaga hutan tropis dunia dan melindungi hutan Indonesia bukanlah dua agenda yang saling meniadakan. Justru sebaliknya, kredibilitas Indonesia di tingkat global sangat ditentukan oleh keberhasilannya di dalam negeri. Dunia akan lebih percaya pada komitmen Indonesia jika banjir dan longsor akibat degradasi hutan semakin berkurang, jika tutupan hutan benar-benar stabil, dan jika kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat secara nyata.

Dalam kerangka itu, TFFF seharusnya diposisikan sebagai katalis, bukan tujuan akhir. Komitmen finansial ke tingkat global perlu dibaca sebagai perpanjangan dari tanggung jawab nasional, bukan pengganti. Pemerintah memiliki peluang untuk menjadikan partisipasi dalam TFFF sebagai tonggak penguatan kebijakan kehutanan yang lebih konsisten, terukur, dan berkeadilan.

Dengan menjaga keseimbangan antara peran global dan tanggung jawab domestik, Indonesia tidak hanya berkontribusi pada perlindungan hutan dunia, tetapi juga memastikan bahwa hutan di negerinya sendiri tetap lestari, berfungsi, dan mampu melindungi rakyatnya dari bencana. Di situlah esensi kepemimpinan lingkungan yang sesungguhnya: berpikir global, bekerja serius di rumah sendiri.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Indrawan Susanto
Indrawan Susanto
Direktorat Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...