Pengusaha batik asal Lampung Gatot Kartiko (54) yang berusaha mempertahankan bisnisnya di masa pandemi. Sebelum masa pandemi, omzet penjualan batik di toko miliknya, Butik Gabovira, rata-rata tiap bulan mencapai Rp 750 juta per bulan. Pada April, omzetnya jatuh hanya Rp 99 juta dan pada Mei sebesar Rp 125 juta per bulan.

Namun, Gatot melakukan beberapa upaya sehingga penjualannya mengalami kenaikan. Pada Juni, Juli dan September omzetnya berturut-turut naik Rp 200 juta, Rp 300 juta, hingga Rp 571 juta.

Gatot yang berbisnis batik selama 20 tahun dengan desain batik khusus Lampung, sejak pandemi ini mulai melirik penjualan online di beberapa market place. Gatot memberdayakan karyawannya yang masih muda untuk mengurus penjualan online. "Kalau tak bisa mencari alternatif, ya kami bakal bangkrut," kata dia.

Selain penjualan online, dia masih membuka toko dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Salah satunya menerapkan sanksi tegas bila karyawannya tak mengenakan masker dan face shield. Lewat kamera CCTV dia mengawasi gerakan karyawan. "Bila mereka melanggar, saya beri sanksi uang makan hari itu tak saya berikan. Bila sudah berulang kali, saya tak membayarkan iuran BPJS Kesehatan," kata Gatot.

Gatot juga memanfaatkan jaringan kliennya yang sudah biasa memesan batik seperti dari kantor pemerintahan dan swasta. Untuk menjaga arus kas, selama masa pandemi dia tak memproduksi batik. Dia hanya menjual stok batik yang ada di toko.

"Saat pandemi kami tidak berproduksi tapi berjualan, jadi kami mengelola stok sehingga omset bisa naik. Kami juga menghemat berbagai biaya seperti listrik," kata Gatot. Upayanya membuat dia dapat mempertahankan karyawan.

Belajar Membatik di Kampung Batik Bogor
Belajar Membatik di Kampung Batik Bogor (ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/wsj.)

Hanya sebagian kecil pengusaha batik dalam negeri yang dapat mempertahankan bisnisnya. Ketua Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) Komarudin Kudiya mengatakan banyak anggotanya yang gulung tikar. Lebih dari 50% pekerja dari anggota asosiasi yang kehilangan mata pencaharian.

Komarudin menyebutkan daerah produsen batik Trusmi di Cirebon yang sebelum pandemi terdapat 30 perajin batik di kawasan satu RT, kini hanya tinggal dua orang. "Sebagian besar beralih profesi, bekerja di industri lain atau berdagang makanan seadanya,” ujar dia.

Dia menjelaskan penjualan batik sempat bangkit ketika PSBB dilonggarkan pada Juni. Bahkan penjualan pada Juli sempat mencapai 50% dari normal setelah beberapa bulan sebelumnya anjlok hingga 90%. “Tiba-tiba Agustus corona merebak lagi dan akhirnya PSBB lagi,” kata dia.

Komarudin mengatakan pengusaha batik banyak yang melakukan pivot-pivot bisnis untuk bertahan, seperti membuat masker, mengandalkan produk yang harganya lebih terjangkau seperti daster, baju tidur, tetap berpromosi, dan mengandalkan kanal-kanal online. “Pola pikir kami ubah dari membuat batik mahal, sekarang membuat barang yang dapat mudah terjual dan terjangkau,” ujarnya.

Namun, pivot bisnis semacam ini tak dapat diandalkan selamanya untuk menopang bisnis dalam jangka panjang. Pasalnya seiring banyak pengusaha batik yang beralih ke bisnis masker dan produk-produk yang lebih terjangkau, pada akhirnya pasar akan semakin jenuh sedangkan permintaan tidak bertambah. “Harus sabar menunggu semuanya normal lagi,” kata dia.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement