- Tingginya kasus Covid-19 membuat rumah sakit kebanjiran pasien.
- Banyak pasien akhirnya tak mendapatkan layanan rumah sakit.
- PPKM Darurat dinilai tidak ideal karena masih memiliki kelemahan.
Ni Luh Lovenila merasakan sulitnya mencarirumah sakit untuk tantenya yang positif virus corona pada pekan lalu. Warga Tangerang, Banten, ini bolak-balik mengecek sistem informasi rawat inap (Siranap) Kementerian Kesehatan, sambil menghubungi berbagai rumah sakit.
Perempuan berusia 21 tahun itu sempat mendapat informasi satu ranjang rumah sakit atau RS yang kosong melalui Siranap. “Tapi ketika rumah sakitnya dihubungi, tidak diangkat. Ada sekitar 20 rumah sakit ketika saya telepon, tidak ada yang angkat,” katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (6/7).
Keluarganya juga sempat mendatangi langsung rumah sakit di wilayah tempat tinggalnya, tapi beberapa kali ditolak. Padahal, trombosit tantenya terus menurun.
Akhirnya, pasien hanya bisa dirawat di rumah. “Padahal, keluarga tante bersedia bayar mahal. Tapi ya memang tidak ada tempat, mau bagaimana,” ujar Lovenila.
Kondisi serupa juga Iqomah Hukmillah rasakan. Warga Jakarta Selatan ini pada Kamis lalu sempat sibuk mencari tempat tidur rumah sakit untuk pamannya yang terinfeksi Covid-19. “Saturasi oksigennya hanya 83%,” katanya. Angka kadar normal oksigen dalam darah seharusnya 95% sampai 100%.
Ia sempat meminta tolong pada kerabat dan kenalannya untuk membantu carikan rumah sakit. "Akhirnya, hari Sabtu dapat info ada yang kosong di rumah sakit umum daerah (RSUD) Banten,” ujarnya.
Namun, lokasinya sangat jauh dari rumah sehingga pihak keluarga memutuskan untuk perawatan mandiri. Beruntung, pamannya masih mendapatkan stok tabung oksigen. "Akhirnya pakai oksigen dulu di rumah, sambil menunggu ada RS yang lebih dekat kosong,” kata Iqomah.
Kondisi pamannya kini membaik. Saturasi oksigen telah normal tapi masih belum dinyatakan sembuh dan melakukan isolasi mandiri.
Susahnya mendapatkan rumah sakit juga dirasakan Selea, warga Jepara, Jawa Tengah. Pada awal bulan ini ia sibuk mencari rumah sakit untuk kerabat yang hamil dan positif Covid-19.
Di kotanya, rumah sakit sudah penuh. Pelayanan pasien virus corona hanya ada di RSUD. “Usia kandungannya sudah melewati hari perkiraan lahir (HPL),” kata perempuan berusia 21 tahun itu.
Ia sempat membantu mencari sampai ke Kudus dan Semarang. Tapi tak membuahkan hasil. "Susah, keluarga di rumah sampai ikutan panik," katanya.
Selea baru mendapat informasi ketersediaan tempat tidur melalui Siranap. Namun, sebelum dilarikan ke rumah sakit, kondisi pasien sudah pecah ketuban.
Kerabatnya itu akhirnya melahirkan melalui operasi sesar pada 3 Juli 2021. "Kondisi ibunya sudah drop karena keterlambatan penanganan dan sulitnya mencari rumah sakit. Beliau tidak bisa diselamatkan," ujar Selea.
Rumah Sakit Kolaps?
Layanan instalasi gawat darurat (IGD) dan unit perawatan intensif (ICU) di sejumlah rumah sakit di Indonesia memang dalam kondisi penuh dalam 2 pekan terakhir. Tenaga kesehatan dan medis kewalahan menangani lonjakan pasien Covid-19.
Kehadiran varian Delta membuat penularan virus corona begitu cepat. Varian asal India ini memiliki tingkat penularan lebih tinggi 97% dibandingkan virus aslinya.
Situasi Indonesia serupa dengan India saat gelombang kedua menerjang pada April-Mei lalu. Penyebaran yang cepat membuat layanan kesehatan kolaps.
Lonjakan kasus di Negeri Bollywood sempat mencapai 400 ribu orang per hari. Banyak pasien tak tertangani. Petugas pengurus jenazah kewalahan menangani mayat korban Covid-19.
Per hari ini, penambahan jumlah kasus positif di Indonesia mencetak rekor di angka 31.189 orang. Angka ini merupakan yang tertinggi kedua di dunia, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut.
Pemerintah di berbagai daerah berusaha menambah kapasitas ranjang rumah sakit. Namun, langkah itu tampaknya tak cukup untuk menangani penambahan pasien.
Jakarta, sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi, jumlah pasien aktif hariannya telah menembus 90 ribu pasien. “Jakarta tidak sedang biasa-biasa saja,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dokter Widyastuti, seperti terlihat pada kanal YouTube Forum Merdeka Barat 9, hari ini.
Kasus aktif harian tertinggi sejak awal pandemi sampai Februari 2021 awalnya hanya 26 Ribu. “Saat ini angka kasus aktif hariannya menjadi 91 ribu lebih yang membutuhkan pertolongan medis,” ucapnya.
Untuk tingkat keterisian atau tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR), baik di ruang isolasi maupaun ICU, kini melampaui 90%. Untuk isolasi 93% dan ICU 94%.
Apabila angkanya nanti melebih 100 ribu pasien, pihaknya telah menyiapkan berbagai skenario. Salah satunya, berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menyiapkan lebih banyak rumah sakit.
Tidak hanya di Ibu Kota, layanan IGD di RSUD Kota Bandung, Jawa Barat tutup sejak akhir pekan lalu karena kurangnya pasokan oksigen pasien. Sejumlah rumah sakit di Kota Surabaya, Jawa Timur, juga menutup layanan gawat daruratnya karena ruang perawatan pasien Covid-19 penuh.
“Tapi ini sementara. Istilahnya, pola buka-tutup. Kalau ada pasien sembuh, pasien baru bisa masuk,” kata Ketua Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Jawa Timur Dokter Dodo Anondo, dikutip dari Antara.
Direktur RS William Booth Dokter TB Rijanto, dalam suratnya kepada Dinas Kesehatan Kota Surabaya, menuliskan pihaknya menutup layanan IGD sejak 29 Juni 2021. Tenaga kesehatannya saat ini terbatas.
Sebanyak 24 tenaga kesehatan di rumah sakit itu terpapar virus corona. "Bahkan, sembilan orang dari 15 orang yang dirawat di RS William Booth terpaksa ditempatkan di IGD karena ruang isolasi penuh," ucapnya.
Di Rumah Sakit Islam Jemursari kondisinya tak jauh berbeda. Wakil Direktur Layanan Medis dan Keperawatan Dokter Dyah Yuniati mengatakan sebanyak 130 ranjang sudah penuh pasien Covid-19. “Yang di IGD masih ada 16 pasien belum mendapatkan kamar. Kami menutup IGD agar pelayanan maksimal,” katanya.
Pemerintah Lambat Merespons?
Epidemiolog Griffith University, Australia, Dicky Budiman menyebut ancaman varian Delta sangat serius saat ini. “Jika mengabaikannya, akan memperburuk kondisi pandemi di semua negara,” katanya kepada Katadata.co.id.
Pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali pada 3 hingga 20 Juli 2021, menurut dia bukan strategi ideal. Namun, bukan berarti tidak efektif.
Kelemahannya adalah kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WfH) 100% untuk pekerja non-esensial. Kebijakan ini berpotensi multitafsir.
Dalam dua hari terakhir, beberapa perkatoran tetap melakukan kegiatan seperti biasa. Kondisi ini berpotensi mengurangi harapan menurunkan jumlah kasus.
Potensis lonjakan kasus telah terprediksi sebelumnya. Epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan, sudah memperkirakan hal tersebut sejak Maret lalu. Ia juga sudah sempat memberi tahu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal ini. “Jakarta akan jebol,” katanya.
Pandu mendesak pemerintah untuk segera melakukan pengetatan. Ia menyebut, PPKM Darurat yang saat ini hanyalah respon atas apa yang sudah terjadi. Bukan bentuk antisipasi.
Seharusnya respon tersebut dilakukan pada awal Juni. “Tetapi kita selalu terlambat. Sekarang kondisinya darurat dan kalang kabut semuanya,” ujar Pandu.
Bagaimana Seharusnya Tindakan Pemerintah?
Selain BOR rumah sakit yang naik, kenaikan kasus juga membuat kebutuhan obat dan oksigen naik. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meresponnya dengan menetapkan harga eceran tertinggi untuk obat terapi Covid-19.
Untuk masalah oksigen, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah meminta agar gas untuk industri dialihkan ke kebutuhan medis. Selain itu, pemerintah akan melakukan impor tabung gas.
Ia memperkirakan, kasus Covid-19 masih akan meningkat dalam 10 hingga 12 hari ke depan. Untuk itu, ia meminta masyarakat untuk disiplin dalam menangani lonjakan kasus corona. "Dari data yang kami dapat, 90% kasus di Jakarta varian Delta," kata Luhut kemarin.
Selama PPKM darurat, pemerintah juga menyediakan obat gratis untuk isolasi mandiri. Ada pula layanan telemedicine. Pemerintah menggandeng 11 jasa ini, termasuk Alodokter, Getwell, Good Doctor, Halodoc, Klik Dokter, KlikGo, Link Sehat, Milvik Dokter, ProSehat, SehatQ, dan YesDok.
Aplikasi telekomunikasi tersebut dapat diakses secara gratis oleh masyarakat yang membutuhkan konsultasi dokter. Pasien juga memperoleh panduan yang benar mengenai konsumsi obat atau vitamin saat melakukan isoman di rumah.
Semua kebijakan tersebut, menurut Dicky, memang bagus. Namun, guna merespons permasalahan fasilitas kesehatan yang kolaps, PPKM Darurat saja tidak cukup. “Responnya, yang penting itu ada empat hal, Pertama adalah 3T,” katanya.
3T adalah pengetesan (testing), penelusuran (tracing), dan perawatan (treatment). Di Indonesia, minimal pengetesannya adalah 500 ribu tes per hari.
Untuk mencapai angka pengujian 100 ribu tes per hari saja sampai kini masih sulit. Kementerian Kesehatan sedang berupaya mengintensifkan tes dan pelacakan, terutama untuk daerah dengan persentasse jumlah kasus positif (positivity rate) di atas 25%.
Yang kedua adalah vaksinasi. Pemerintah harus mempercepat program ini sehingga mencapai 50% dari jumlah penduduk.
Ketiga, melakukan pembatasan bukan hanya dalam tapi juga luar negeri. Terakhir, kunjungan fisik. Banyak masyarakat, terutama yang di kampung, berada di rumah saja kalau sakit. “Harus ada kunjungan ke mereka untuk mencegah peningkatan beban fasilitas kesehatan,” ucap Dicky.
Penyumbang bahan: Alfida Febrianna (Magang)
Masyarakat dapat mencegah penyebaran virus corona dengan menerapkan 3M, yaitu: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak sekaligus menjauhi kerumunan. Klik di sini untuk info selengkapnya.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #cucitangan