- Militer Indonesia terlihat semakin erat dengan kubu AUKUS.
- Kementerian Luar Negeri mengandalkan kekompakan ASEAN dalam soal stabilitas kawasan, tetapi Filipina justru sudah menegaskan mendukung aliansi Amerika Serikat.
- Politik non-blok dinilai justru membuat Indonesia terkepung di antara dua kekuatan besar.
Mengenakan safari cokelat, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyambut Peter Dutton, Menhan Australia dengan hangat. Pertemuan 9 September 2021 itu berlangsung singkat dan padat. Sejumlah kerjasama pertahanan baru berhasil disepakati. Pertama kali dalam sejarah, Indonesia akan mengirimkan kadet-kadet untuk belajar langsung The Royal Military College, salah satu sekolah tinggi militer paling bergengsi di Duntroon Australia. Tidak hanya itu, Australia juga menyumbangkan 15 kendaraan taktis armoured personnel carrier (APC). Tidak heran jika Prabowo menyanjung Australia setinggi langit. Australia dianggap sebagai tetangga strategis di kawasan untuk kerja sama di bidang pertahanan.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Prabowo terbang ke London. Ia menghadiri Defence and Security Equipment Internasional, salah satu pameran industri pertahanan terbesar di Inggris. Prabowo pulang ke Tanah Air membawa oleh-oleh menarik: lisensi untuk memproduksi kapal tempur Inggris di Indonesia. Kesepakatan itu ditekan pada 16 September 2021.
Kapal itu berupa fregat Arrowhead 140 yang diproduksi oleh Babcock International. Ini bukan kapal kacangan. Fregat Arrowhead 140 berukuran sedang yang membuatnya lincah bermanuver. Geladaknya dibekali dengan meriam berbagai ukuran. Kapal ini bahkan bisa mengangkut peluru kendali darat (surface to air missiles/SAM) dan misil anti-kapal selam. Arrowhead 140 diproyeksikan menjadi andalan Armada Laut Inggris. Selain Indonesia, sejumlah negara seperti Yunani dan Polandia juga dikabarkan tertarik memiliki kapal ini.
Adapun di Tanah Air, produksi fregat akan dilakukan oleh PT PAL Indonesia di Surabaya. Perusahaan pelat merah ini rencananya akan membuat dua unit kapal yang diharapkan selesai pada 2026. PT PAL memang belum merinci berapa biaya produksinya. Namun, mengacu pada situs resmi Babcock, ongkos pembuatannya bisa mencapai 250 juta poundsterling atau sekitar Rp 4,8 triliun per unit.
Tepat sehari setelah penandatanganan kerjasama produksi fregat, komunitas internasional tersengat oleh manuver tiga negara. Amerika Serikat, Inggris dan Australia membentuk Pakta AUKUS, aliansi militer strategis untuk mendominasi kawasan Indo-Pasifik. Salah satu kesepakatan yang mencolok adalah Australia akan memiliki kapal selam bertenaga nuklir dari AS.
Dunia internasional terpecah menyikapi aliansi ini. Cina jelas berang sebab AUKUS memang dibentuk untuk melawan dominasi Beijing di regional. Perancis juga meradang karena sebelumnya, Australia sudah berjanji akan membeli kapal selam dari negara itu. Selandia Baru, tetangga dekat Australia, menegaskan tidak akan menoleransi kapal selam nuklir yang beroperasi di wilayahnya. Sementara Malaysia, khawatir AUKUS akan mempertajam friksi dan mengganggu stabilitas kawasan.
Dalam pidato di Sidang Umum PBB ke-76, Sekjen PBB Antonio Guterres mengkhawatirkan potensi perang dingin antara Amerika Serikat dan Cina. Ia menyebut perang dingin jilid dua ini akan lebih rumit dibandingkan dengan perang dingin sebelumnya antara AS dan Uni Soviet.
Pakta AUKUS membuat kebaikan hati Australia terhadap Indonesia mendadak masuk akal. Kedua negara memang sudah puluhan tahun menjalin kerjasama pertahanan. Namun tentu saja, tidak ada makan siang gratis. Pengamat pertahanan Ade Muhammad menilai Australia sedang berusaha membujuk Indonesia untuk mendukung Pakta AUKUS.
Di sisi lain, hubungan militer antara Indonesia dan Cina justru tidak sedang baik-baik saja. Potensi konflik bisa saja meletus di Laut Natuna Utara, terkait dengan klaim ’sembilan garis putus’ (9 dash line) oleh Pemerintah Cina. Ini merupakan garis imajiner bikinan Cina untuk mengklaim nyaris 90% dari luas Laut Cina Selatan, meskipun berjarak 2.000 kilometer dari daratannya. Beberapa kali nelayan dan penjaga pantai Cina terdeteksi memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif Indonesia.
Pemerintah Indonesia sendiri masih berupaya bersikap netral terhadap AUKUS. Kementerian Luar Negeri lebih mengkhawatirkan potensi Australia melanggar Treaty of Non-Proliferation Nuclear Weapons (NPT). “Indonesia sangat prihatin atas terus berlanjutnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan militer di kawasan,” tulis Kemenlu dalam keterangan resmi.
NPT yang ditandatangani pada 1 Juli 1968 mengacu pada pembatasan kepemilikan senjata nuklir melalui tiga komitmen; pelucutan senjata, non-proliferasi, dan penggunaan bahan nuklir untuk tujuan damai.
Bukan Sekadar Nuklir
Celakanya, kesepakatan AUKUS bukan cuma berkutat soal kapal selam nuklir atau Laut Cina Selatan semata. Pakar militer Connie Rahakundini Bakrie menyebut AUKUS juga secara komprehensif akan meningkatkan kerjasama tiga negara di banyak bidang. Mulai dari soal kekuatan siber, antariksa, hingga intelijen. “Kalau baca dengan seksama dokumen AUKUS ini mengerikan sekali dampaknya untuk Indonesia,” ujar Connie, Rabu (22/9).
Connie menegaskan Indonesia perlu lebih serius merespons perkembangan terbaru di kawasan. Indonesia harus membenahi postur pertahanan demi mengantisipasi potensi konflik yang bisa saja terjadi. Di sisi lain, Indonesia juga harus bersikap dinamis. Menurutnya, posisi non-blok pemerintah saat ini membuat Indonesia terkepung. Connie pun menyitir ungkapan Bung Karno yang menyebut non-blok bukan berarti bersikap netral tetapi harus tegas melindungi kepentingan nasional.
Pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana memprediksi Amerika Serikat akan mendekati negara-negara yang sedang bertikai dengan Cina. Di Asia Tenggara, sejumlah negara memang punya catatan buruk dengan Tiongkok soal klaim Laut Cina Selatan. Paling kentara adalah Vietnam dan Filipina yang berebut Kepulauan Spratly.
“AS tidak ingin melihat Indonesia jatuh ke tangan Cina. Kita akan mendapatkan banyak tawaran, dan tawaran itu bisa diambil sepanjang untuk kepentingan nasional kita," kata Hikmahanto.
Dalam pertemuan Asia Society di ajang Sidang Umum PBB ke-76 di New York, isu tensi politik di regional juga menjadi pembahasan. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan ASEAN berperan penting dalam menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan. Ia menyampaikan negara-negara di Indo-Pasifik tidak menginginkan kemungkinan meningkatnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan yang akan mengancam stabilitas keamanan. “Saya sampaikan kita menerima penjelasan Australia, kita mendengarkan komitmen-komitmen yang diberikan Australia termasuk untuk terus menghormati NPT, prinsip-prinsip non-proliferasi dan hukum internasional,” ujarnya dalam keterangan Resmi, Rabu (22/9).
Sayangnya, ASEAN sendiri tidak satu suara. Filipina bahkan sudah terang-terangan mendukung AUKUS. Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin menegaskan selama tidak ada senjata yang sebenarnya, AUKUS tidak berpotensi melanggar perjanjian non-proliferasi nuklir. Keputusan Filipina sebenarnya tidak mengejutkan. Manila dikenal dekat dengan Washington dan terus menerus berkonflik dengan Cina di perbatasan.
Sikap Indonesia
Jika Filipina sudah menjatuhkan pilihan, Indonesia masih terkesan hati-hati. Pemerintah masih terkungkung prinsip non-blok yang selama ini dipegang teguh. Pengamat militer Ade Muhammad menilai politik non-blok tidak lagi realistis di tengah kondisi dunia yang kompleks dan dinamis.
“Indonesia memang sudah saatnya mengakhiri politik non blok yang utopis,” ujarnya kepada Katadata.
Ade bahkan menyebut Indonesia berpotensi besar memihak AUKUS dalam konflik ini. Hal ini terlihat dari gestur diplomatik sebelum kesepakatan AUKUS dibentuk. Mulai dari latihan perang Garuda Shield besar-besaran yang digelar oleh TNI Angkatan Darat beberapa waktu lalu, hingga kerjasama pertahanan Indonesia Australia dan lisensi produksi fregat dari Inggris.
“Cina belum sekuat AS. Dia baru awal membangun tetapi belum memperlihatkan kesinambungannya. AS sudah tahan krisis ekonomi berkali-kali, sementara Cina belum terbukti kuat,” jelasnya.
Kekhawatiran soal sikap Indonesia juga dilemparkan oleh para politisi Senayan. Anggota Komisi I DPR RI Christina Aryani mengatakan kerjasama AUKUS telah melanggar kesepakatan terkait NPT. Karena itu, dalam hal ini, pemerintah perlu mengambil sikap tegas.
“Politik bebas aktif kan memang kita pegang teguh selama ini, tetapi kalau mau jujur relevan enggak sih dengan situasi saat ini,” ujar kata Christina.
Dia menambahkan, dalam ranah kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, tidak pernah dimaknai tidak mampu mengambil sikap yang jelas dan tegas atas berbagai dinamika dan perkembangan. Terlebih lagi, jika dinamika tersebut berpotensi mengancam keamanan bagi stabilitas di kawasan.
Anggota Komisi I DPR Dave Laksono juga meminta pemerintah segera mengambil langkah diplomasi. Ia khawatir sikap anggota Anggota ASEAN yang terbelah justru mempercepat mimpi buruk Perang Dingin era 1950-an.
“Komunikasi dengan para Dubes dan Menlu ASEAN di Jakarta sudah sejauh mana, karena agak sedikit mengagetkan keluar statement dari Menlu Filipina mendukung keberadaan pakta AUKUS," ungkap Dave.
Potensi konflik di Indo-Pasifik memang semakin kentara dengan pembentukan AUKUS. Namun sejumlah pihak tetap meyakini perang terbuka kemungkinan kecil terjadi. “Ini mirip perang dingin. Paling main proxy saja ganggunya,” ujar pengamat militer Ade Muhammad.