- Pemerintah perlu memperketat pengawasan harta PNS, mulai dari mengubah sistem pengisian LHKPN.
- Dengan UU Perampasan Aset dan pembuktian terbalik dari laporan LHKPN, upaya pemulihan aset korupsi dinilai akan lebih efektif.
- Kasus Rafael Alun tidak mempengaruhi target penerimaan pajak negara.
Enam jam lamanya Rafael Alun Trisambodo diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengklarifikasi hartanya. Mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah DJP Jakarta Selatan II tercatat memiliki harta senilai Rp 56,1 miliar dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Usai diperiksa KPK, Rafael memilih bungkam soal klarifikasi hartanya pada media. “Saya sudah sampaikan itu (kepada penyidik KPK), sudah ya. Permisi, saya sudah lelah dari pagi sampai sekarang,” katanya pada Rabu (1/3).
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, ada beberapa harta Rafael yang tidak termaktub dan tidak sesuai dengan LHKPN-nya. Pertama, Rafael mengaku Jeep Rubicon dan motor Harley Davidson yang kerap dipamerkan anak, Mario Dandy Satrio, bukan miliknya.
Kedua, kendaraan yang tidak terdaftar dalam LHKPN ini adalah milik kakak Rafael. Berikutnya, Rafael memiliki saham di enam perusahaan yang ia masukkan dalam kategori surat berharga di LHKPN. Nilainya sekitar Rp 1,5 miliar. Istri dan anaknya juga memiliki saham tersebut.
Lalu, dua dari enam perusahaan ini berupa perumahan atas nama istrinya yang terletak di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Menurut penuturan tim yang ditugaskan memeriksa aset Rafael, perumahan ini luasnya sekitar 6,5 hektare.
“Jadi kalau ditanya, perumahan sebesar itu ada di LHKPN atau tidak? Jawabannya tidak ada. Yang ada adalah sahamnya di perusahaan atas nama istri,” kata Pahala.
Selain memeriksa aset Rafel di Minahasa Utara, KPK pun akan bertolak ke Yogyakarta. Di LHKPN Rafael, tidak ada aset tanah dan bangunan di Yogyakarta. Namun media menduga ada rumah mewah di sana atas nama Rafael.
Penyidikan itu, menurut Pahala, akan dilakukan dengan pola berbeda. “Jumlahnya tidak istimewa, tapi utangnya kan istimewa,” ujar Pahala.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya mengakui jumlah harta Rafael Alun tidak masuk akal. Karena itu, Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan melakukan penyidikan bersama KPK. “Masyarakat mengatakan kekayaan Rafael ini doesn't make sense. Kita juga tahu itu tidak make sense,” katanya pada Selasa lalu.
Sistem LHKPN Perlu Diubah?
Seiring dengan munculnya kasus kekayaan abnormal Pegawai Negeri Sipil, pengamat pun merumuskan beberapa cara untuk memperketat pengawasan harta pegawai negeri sipil (PNS). Mulai dari mengubah sistem pengisian LHKPN hingga penambahan instrumen hukum.
Sejauh ini, pemerintah hanya mewajibkan pejabat eselon I hingga IV untuk melaporkan hartanya ke LHKPN untuk mencegah terjadinya korupsi. Namun, PNS yang tidak melapor harta kekayaannya hanya dihukum dengan sanksi administrasi, tidak sampai pidana.
“Sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menjadi dasar LHKPN, tidak ada satupun yang menyebut hukuman pidana,” kata Pahala dalam konferensi pers. “Jadi, baik tidak melapor, melapor tapi tidak benar, dan melapor benar tapi asal hartanya tidak benar, tidak ada pidananya kalau di LHKPN.”
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio lalu menyarankan agar pengisian LHKPN ini dilakukan secara daring. Kemudian, data tersebut diolah dan disajikan dalam bentuk dasbor kepada aparat penegak hukum.
Agus meyakini, pengawasan secara daring akan mempermudah aparat penegak hukum menemukan kecurigaan awal masing-masing PNS. “Apalagi, PNS sudah memiliki standar gaji. Andaikan ditambah dengan uang proyek izin, bisa kelihatan langsung,” katanya.
Pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menyarankan agar kewajiban pelaporan harta ini diperluas hingga tingkat staf. Untuk itu, pemerintah perlu mempercepat revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembuktian Terbalik dan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.
“Pemerintah harus turun tangan, harus tegas, dan bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK),” ujar Trubus.
Mantan Penyidik KPK, Yudi Purnomo, menyarankan hal yang sama dengan Trubus. Beleid itu, menurut dia, akan memudahkan penegak hukum untuk merampas kekayaan yang diperoleh pejabat melalui cara yang tidak sah.
Wacana undang-undang ini sebenarnya bukan barang baru. Presiden Joko Widodo sebelumnya mendorong agar penyusunan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana rampung pada 2022. Tapi hingga kini, RUU itu belum juga disahkan dan perampasan aset hanya bisa dilakukan melalui proses peradilan pidana, sesuai dengan putusan hakim.
Kedua, Yudi menyarankan sanksi pidana terkait LHKPN. Sanksi ini akan dikenakan bagi pejabat yang tidak melaporkan hartanya, atau melaporkan hartanya dengan tidak lengkap.
Cara itu akan memudahkan penegak hukum untuk menemukan kasus korupsi, kemudian mengikuti jejak uang dan aset pelaku alias sistem follow the money. Tapi dengan adanya kombinasi UU Perampasan Aset dan pembuktian terbalik dari laporan LHKPN, baik dilaporkan atau tidak, upaya pemulihan aset korupsi akan lebih efektif.
“Jadi dengan fenomena gunung es kekayaan tidak wajar ini, yang harus diperbaiki adalah sistemnya, bukan hanya kasus per kasus saat ini,” tulis Yudi Purnomo, dikutip dengan izin dari akun Twitternya, Rabu (1/3).
Kasus Rafael Merambat Pejabat Lain
Gugatan rakyat atas harta berlimpah PSN tidak berhenti sampai pada Rafael. Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, turut terkena getahnya. Beredar foto Suryo mengendarai motor gede alias moge bersama klub moge DJP bernama BlastingRijder DJP.
Sri Mulyani pun meminta klub itu dibubarkan karena menimbulkan persepsi negatif masyarakat. Selain itu juga menimbulkan kecurigaan soal sumber kekayaan pegawai DJP, sehingga melanggar asas kepatutan dan kepantasan publik.
Lebih lanjut, Bendahara Negara tersebut meminta Suryo menjelaskan sumber kekayaannya kepada masyarakat. “Ini mencederai kepercayaan masyarakat," kata Sri Mulyani dalam akun Instagramnya, Minggu (26/2).
Bola panas kemudian bergulir ke instansi lain di bawah Kementerian Keuangan, yakni Bea Cukai. Sama seperti Suryo dan Rafael, Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto akan diperiksa KPK karena kerap pamer moge di akun Instagramnya. Kemenkeu pun telah mencopot Eko dari jabatannya.
Dampak Kasus Rafael ke Penerimaan Pajak
Dengan terbongkarnya kasus Rafael dan pejabat Kemenkeu lainnya, warganet menjadi ramai menyerukan boikot membayar dan melaporkan pajak. Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut tindakan ini tidak akan berdampak besar bagi penerimaan pajak.
Pasalnya, kontribusi penerimaan pajak penghasilan alias PPh orang pribadi tidak besar. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun. Angka tersebut meningkat sekitar 16% dari target penerimaan 2022 sebesar Rp 1.485 triliun.
Kontribusi PPh orang pribadi hanya 0,7% dari total penerimaan pajak 2023. “Jadi, ini akan sangat kecil sekali berdampak pada rasio perpajakan,” kata Fajry dalam keterangannya, Senin lalu.
Pandangan serupa dilontarkan Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono. Ia berkaca dari kasus yang menjerat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan (DP2) DJP Angin Prayitno Aji pada 2021. Angin bersama anak buahnya terbukti menerima suap senilai Rp 55 miliar.
Prianto pun menilai DJP sudah memiliki instrumen lengkap untuk mengawasi kepatuhan pajak. Petugas pajak pun bisa menerbitkan ‘surat cinta’ bagi wajib pajak yang tidak lapor surat pemberitahuan atau SPT, bisa melakukan pemeriksaan, hingga melakukan penyidikan pidana pajak.
“Angin Prayitno Aji jabatannya itu eselon II, lebih tinggi dari Rafael yang eselon III, tapi Kementerian Keuangan mampu melebihi target penerimaan pajak di 2022,” kata Prianto.
Kementerian Keuangan memang berhasil mencapai target penerimaan pajak tahun lalu. Angkanya mencapai Rp 1.716,8 triliun atau setara 115,6% dari target 2022. Nilai inipun melampaui penerimaan sebelum pandemi Covid-19, seperti ditunjukkan dalam grafik berikut:
Di balik optimisme ini, Fajry menyampaikan bahwa kepercayaan publik tentu akan mempengaruhi pelaporan SPT tahunan pajak. Hanya saja, kondisi ini tergantung berapa lama wajib pajak mau menanggung risiko sanksi. Bila seorang wajib pajak belum lapor SPT hingga 31 Maret, maka akan dikenakan sanksi sebesar Rp 100 ribu.