- Prakerja fokus pada para pekerja berusia 30-40 tahun untuk memperbarui keterampilan dan keahlian.
- Singapura dan Korea Selatan memiliki juga platform pembelajaran seumur hidup dengan keunggulan masing-masing.
- Keterlibatan sektor swasta pada Prakerja sebaiknya ditingkatkan, tidak hanya sebagai fasilitator pelatihan dan pendukung platform.
Agus Ariawan (29) tak pernah membayangkan kini bisa memiliki rumah dan membuka usaha laundry di Denpasar, Bali. Sebelum pandemi Covid-19, ia bekerja sebagai staf pengembangan sumber daya manusia di sebuah hotel di Pulau Dewata.
Ketika pandemi melanda Indonesia, Agus menjadi salah satu staf yang dipertahankan hotel tersebut. Manajemen hotel lantas meminta Agus mendaftar pelatihan di Program Kartu Prakerja, lantaran waktu itu ada insentif Rp 2,4 juta yang akan diberikan setelah pelatihan selesai.
“Manajemen (hotel) bilang coba daftar Prakerja dulu. Bagaimana cara daftarnya nanti bisa dibagikan ke karyawan lain,” kata Agus kepada Katadata.co.id di Bali, Selasa (4/7).
Alih-alih membagikan informasi soal pendaftaran Prakerja secara perorangan, Agus membuat video berisi informasi itu. Ia mengunggahnya di akun YouTube pribadinya, yang waktu itu hanya memiliki 300 pengikut.
Agus melanjutkan berbagi informasi soal Prakerja dalam bentuk video di YouTube. Sembari melakukan itu, dia juga membeli empat pelatihan dari Program Kartu Prakerja, yang masing-masing berdurasi sekitar dua hari.
Pelatihan-pelatihan yang diikuti Agus berkaitan dengan dunia digital, seperti cara menjadi YouTouber profesional, cara berjualan daring di Instagram, serta penggunaan aplikasi untuk mengedit gambar. Meski tak ada tugas wajib dari pelatihan itu, Agus tetap mempraktikkan apa yang telah dipelajarinya.
Ia mulai membuat naskah untuk video-video yang akan diunggahnya. Dengan begitu, poin-poin yang dia sampaikan lebih jelas dan tertata dengan baik.
Agus juga membalas semua komentar dari para penonton videonya, cara yang tidak dia lakukan sebelumnya. “Hal itu (perbaikan terhadap video yang dibuat) akhirnya membuat engagement naik. Dalam waktu tiga bulan sudah ada 1.000 subscriber,” katanya.
Ia pun memutuskan fokus mengurus YouTube pribadinya yang kini memiliki 200 ribu subscriber. Pekerjaan sebagai staf hotal Agus tinggalkan sejak akhir 2021.
Agus banyak membagikan informasi soal program pemerintah dan bagaimana menghasilkan uang di dunia digital melalui kanal "Ariawanagus". Uang yang dihasilkan Agus dari YouTube inilah yang kemudian digunakannya untuk membeli rumah dan membuka usaha di Bali.
Prakerja untuk Penduduk Dewasa
Kisah Agus di atas sejalan dengan tujuan Program Kartu Prakerja, yakni mengembangkan dan meningkatkan keterampilan angkatan kerja di Indonesia. Program ini pun menyasar penduduk berusia 18-64 tahun—atau, setelah usia sekolah formal tuntas.
Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Purbasari mengatakan kemampuan yang dimiliki para pekerja berusia 30-40 tahun umumnya sudah usang. Sebab, mereka menempuh pendidikan formal terakhir pada usia 20an tahun.
Karena itu, Prakerja melanjutkan usaha dan tujuan dari pendidikan formal bagi orang dewasa di Indonesia. Dengan begitu, mereka tidak menjadi kelompok rentan dan mampu beradaptasi dengan disrupsi, seperti dunia digital, pada masa kini maupun masa mendatang.
“Kami memberi mereka kesempatan untuk meng-update diri, sehingga tidak stagnan kemampuannya,” kata Deni dalam konferensi pers di Konferensi Pembelajaran Sepanjang Hidup Inklusif (ILLC), Bali, Senin (3/7).
Prakerja mulanya hadir dengan skema semi bantuan sosial pada 2020-2022, atau sepanjang pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Peserta mendapat pagu Rp 1 juta untuk membeli pelatihan yang dibutuhkan.
Menurut Agus, materi pelatihan yang dia ikuti diberikan dalam bentuk video, sudah direkam sebelumnya oleh para pengajar, sehingga tidak bersifat dua arah. Tugas di akhir pelatihan pun bersifat opsional atau tidak wajib dikerjakan peserta.
Setelah selesai, peserta Prakerja akan mendapat insentif sebanyak empat kali, masing-masing senilai Rp 600 ribu.
Program ini lantas mengubah skemanya sejak 2023. Para peserta kini mendapat pagu Rp 3,5 juta untuk membeli beragam pelatihan di platform Prakerja.
Materi pelatihan pun diberikan secara tatap muka dengan para pengajar, baik daring maupun luring, dan berdurasi sekitar satu pekan. Kemudian, mereka memperoleh satu kali insentif senilai Rp 600 ribu setelah menyelesaikan pelatihan yang dipilih.
Belajar dari Praktik di Negara Lain
Selain skema pembiayaan, Prakerja masih meneruskan pola pemberian pelatihan yang sama dengan semasa pandemi. Peserta mendaftar di platformnya. Jika terpilih, dia dapat membeli beberapa pelatihan yang tersedia. Setelah menyelesaikan pelatihan, peserta akan mendapat insentif.
Pola tersebut berbeda dengan platform pembelajaran seumur hidup (lifelong learning) di Singapura, yakni Work-Study Programme. Program ini menyasar penduduk yang sudah menyelesaikan pendidikan formal, tetapi masih ingin lanjut belajar dan bekerja pada saat yang sama.
Direktur Eksekutif Institute for Adult Learning (IAL) Singapura Yeo Li Pheow mengatakan Work Study Programme bertujuan mencocokkan kemampuan yang dimiliki peserta dengan kebutuhan tempat kerjanya.
“Hal yang penting dalam Work Study Programme adalah harus ada komitmen dari pemberi kerja untuk ikut berpartisipasi dalam program ini,” kata Yeo di ILLC pada Selasa lalu.
Menurut dia, tenaga kerja adalah modal bagi perusahaan atau pemberi kerja di Singapura. Karena itu, keterlibatan perusahaan dapat menguntungkan mereka pula.
Dengan skema tersebut, perusahaan dapat meningkatkan kemampuan dan mempertahankan tenaga kerjanya. Hingga pertengahan 2022, Work-Study Programme telah diikuti oleh 9.000 peserta dan lebih dari 1.900 perusahaan sejak pertama kali dilaksanakan pada 2015.
Selain Singapura, Korea Selatan juga punya pendekatan berbeda dalam menerapkan pembelajaran sepanjang hayat bagi masyarakat di negaranya.
Presiden National Institute for Lifelong Education (NILE) Korea Selatan Kang Dae Joong mengatakan institusinya tidak hanya menekankan pembelajaran hard skill (keterampilan teknis), tetapi juga soft skill yang membuat seseorang mampu dan akan terus mempelajari hard skill baru.
“Belajar bukan hanya diterjemahkan dalam bentuk kurikulum, tetapi dalam setiap aspek kehidupan,” kata Kang dalam lokakarya “Adult Learning and Education and Wellbeing” di ILLC, Bali.
Misalnya, NILE memiliki pusat pembelajaran bagi para orang tua. Mereka didukung untuk meningkatkan kapabilitas sebagai orang tua, seperti cara berkomunikasi, mengajarkan kebiasaan di meja makan, dan berpartisipasi dalam kehidupan anak, terutama di bidang pendidikan.
Dengan begitu, para orang tua mampu mengajarkan dan menurunkan soft skill yang berguna bagi anak-anak mereka. Kemudian, dapat mendorong anak-anak ini untuk menempuh pendidikan hingga jenjang tertinggi.
Pusat pembelajaran orang tua tersebut tercatat sudah mencapai 103 unit pada 2021. Jumlah itu tersebar di berbagai provinsi di Korea Selatan.
Dalam lokakarya terpisah di ILLC, Koordinator Partnership for Australia-Indonesia Research di Australia-Indonesia Centre Hasnawati Saleh pun mengatakan soft skill dapat meningkatkan kerja sama tim di tempat kerja, bahkan bisa berdampak baik terhadap karier seseorang.
Hasnawati merinci beberapa soft skill yang seringkali dibutuhkan di dunia kerja, seperti penyelesaian masalah, berpikir kritis, dan kepemimpinan. Kemampuan ini dapat ditumbuhkembangkan melalui sistem pengajaran (pengajar, cara belajar-mengajar, dan tugas) yang mumpuni di berbagai jenjang pendidikan dan platform pelatihan.
Jika berkaca dari pembelajaran sepanjang hidup di Singapura dan Korea Selatan, pemerintah Indonesia melalui Prakerja harus turut belajar dan berbenah. Salah satunya, keterlibatan sektor swasta yang kini hanya sebagai fasilitator pelatihan dan pendukung platform tersebut.
Partisipasi sektor swasta sebagai pemberi kerja dalam platform semacam ini, seperti di Singapura, berpotensi menyelesaikan masalah mismatch yang masih menjadi momok bagi tenaga kerja di Tanah Air.