Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Harga emas melonjak tajam, lalu tiba-tiba jatuh hanya dalam hitungan hari. Pada 22 April 2025, nilainya sempat mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah US$ 3.500 per ounce atau sekitar Rp 2 juta per gram. Tapi tak lama, harganya tergelincir. Gejolak ini memuculkan pertanyaan besar, apakah emas yang selama ini dilabel aset aman, benar-benar aman?

Data-data terbaru menunjukkan lonjakan harga dipicu oleh permintaan besar dari investor, aksi beli bank sentral, dan sentimen pasar yang berbalik cepat. Di balik reli ini, risiko koreksi yang menyakitkan terus mengintai—seperti pernah terjadi dalam sejarah.

Ledakan Permintaan: Ramai Spekulan Borong Emas

Minggu lalu, World Gold Council (WGC) merilis laporan terbaru soal pasokan dan permintaan emas global. Pada kuartal I 2025, permintaan dari sektor investasi mencapai 552 ton, sekitar 46 persen dari total permintaan emas dunia. Angka ini melampaui kebutuhan dari industri perhiasan dan teknologi.

Investasi emas dalam bentuk batangan dan Exchange Traded Fund (ETF) melonjak tajam. ETF (Exchange Traded Fund) memungkinkan investor membeli emas seperti membeli saham di bursa. Permintaan emas batangan mencapai 257,6 ton, naik 14 persen dibanding periode tahun lalu. Sedangkan investasi masuk atau inflow bersih ke ETF mencapai 226,5 ton. Ini pembalikan keadaan bagi transaksi ETF emas yang lesu sejak 2022.

Lonjakan inflow ETF sejalan dengan meningkatnya aksi spekulatif di pasar berjangka atau futures emas. Data dari badan independen pengawas perdagangan bursa berjangka bentukan pemerintah AS, Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi long atau beli di segmen non-komersial jauh melampaui posisi short atau jual.

Ini membuat emas rawan koreksi harga bila terjadi perubahan sentimen pasar terhadap ekonomi makro. Ini seperti terjadi pada minggu terakhir April. Amerika Serikat dan Cina — dua kekuatan ekonomi dunia — akhirnya sama-sama mengutarakan minat untuk berunding setelah beberapa minggu balas-membalas tarif bea masuk impor. Kekhawatiran pasar akan perang dagang pun mereda. Ini jadi momentum jual emas untuk ambil untung setelah reli harga yang panjang. Harga emas pun terkoreksi.

Namun, apakah puncak dari reli harga emas sudah lewat? Belum tentu. Ketidakpastian seputar perang dagang masih tinggi. Begitu juga masalah geopolitik. Data menunjukkan, bank-bank sentral dunia masih memborong emas. Sedangkan, produksi tambang emas hampir stagnan setidaknya dalam dua tahun belakangan. Meski begitu, sejarah dan para analis memperingatkan untuk tetap waspada terhadap risiko koreksi.

Bank Sentral Terus Timbun Emas

Di tengah hiruk-pikuk pasar, bank sentral terus jadi “kekuatan” yang konsisten membeli emas. Salah satu penopang harga emas dalam beberapa tahun terakhir adalah aksi beli besar-besaran oleh bank sentral.

Berdasarkan laporan World Gold Council (WGC), sepanjang 2024, bank sentral di seluruh dunia menambah kepemilikan emas sebesar 1.044,6 ton. Ini tahun ketiga pembelian menembus 1.000 ton. Tren ini telah lama dikaitkan dengan upaya dedolarisasi alias pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS.

Antara 2022 dan 2024, Cina mengurangi kepemilikan surat utang AS lebih dari 27 persen dan menaikkan porsi emas dalam cadangan devisanya dari dua persen menjadi enam persen. Pada kuartal I 2025, bank sentral Cina menjadi pembeli emas terbesar kedua setelah Polandia. Polandia membeli 49 ton, sedangkan Cina 13 ton.

Sepanjang kuartal I 2025, pembelian oleh bank sentral yang dilaporkan kepada IMF sebesar 243,7 ton. Namun, aktualnya bisa jadi lebih besar dari ini. “Pembelian yang dilaporkan hanya mewakili 22 persen dari permintaan bank sentral pada kuartal I 2025. Ini bisa disebabkan beberapa faktor antara lain karena pelaporannya yang tertunda atau pembelian oleh institusi pemerintah non-bank sentral,” demikian tertulis dalam laporan WGC.

Prediksi WGC, pembelian oleh bank sentral masih terus berlanjut di tengah banyaknya risiko global. "Diversifikasi cadangan devisa oleh bank sentral masih berlanjut dengan pengurangan aset berbasis dolar AS. Kami belum melihat tanda-tanda tren ini akan berhenti kecuali terjadi perubahan besar dalam ketegangan geopolitik," begitu tertulis.

Produksi Tambang Emas Global Stagnan

Di tengah permintaan yang tinggi, produksi tambang emas global hampir tidak tumbuh. Data World Gold Council (WGC) menunjukkan, produksi tambang emas dunia stagnan dalam dua tahun terakhir. Pada 2024, produksi tambang emas dunia 3.661 ton, naik kurang dari satu persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Pasokan emas “tertolong” oleh emas daur ulang atau recycled gold yang dikenal juga dengan sustainable gold. Emas daur ulang adalah emas yang diolah kembali dari produk yang sudah ada, seperti perhiasan, barang elektronik, atau limbah industri lainnya. Pada 2024, produksi emas daur ulang mencapai 1.369,3 ton, naik 11 persen dibanding tahun sebelumnya dan ini rekor tertinggi dalam 12 tahun.

Meski begitu, situasi produksi tambang emas yang stagnan membuat risiko ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan mengintai. Apalagi, bila investor dan bank sentral terus melakukan akumulasi beli. Beberapa waktu lalu, pasokan emas sempat dilaporkan ketat karena tingginya penyetokan emas yang dilakukan pengelola ETF. Ini mengerek harga emas dunia semakin tinggi.

Di Indonesia, eksplorasi cadangan emas baru dilakukan untuk mengantisipasi permintaan emas domestik yang terus menanjak. Produsen utama emas batangan Antam mencetak rekor penjualan tertinggi sepanjang masa 43 ton pada 2024, seluruhnya untuk pasar domestik. Perusahaan membidik penjualan di atas 40 ton bisa berulang tahun ini. “Tahun ini targetnya 40 sampai 45 ton,” ujar Corporate Secretary Antam Faisal Alkadrie dalam keterangan tertulis kepada Katadata, akhir April lalu.

Dalam memenuhi permintaan domestik, Antam memasok bahan baku emas dari tambang sendiri dan Freeport Indonesia, ditambah impor sesuai kebutuhan. November tahun lalu, Antam mengikat kontrak dengan Freeport Indonesia untuk pasokan bahan baku emas 30 ton per tahun selama 10 tahun sehingga Antam tidak perlu terlalu banyak impor.

Dalam keterangan tertulis, Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo mengungkapkan, eksplorasi dan penguatan cadangan emas domestik tengah dilakukan Antam dan Freeport. Saat ini, tambang emas Antam di Blok Pongkor diproyeksikan memiliki umur tiga hingga empat tahun. Sedangkan Freeport Indonesia memiliki umur tambang sekitar 20 tahun.

Antam telah memetakan potensi cadangan baru di sejumlah wilayah, seperti Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. “Ekspansi cadangan sangat diperlukan. Kami berkomitmen untuk memastikan kebutuhan emas domestik yang mencapai sekitar 70 ton per tahun dapat terus terpenuhi dari hasil produksi mineral dalam negeri,” ujarnya. Per Januari 2025, Indonesia tercatat mengimpor emas batangan atau emas yang belum ditempa di kisaran tiga ton, sama dengan tahun lalu.

Pelajaran dari Sejarah: Emas Pernah Jatuh dan Lama Bangkit

Pada 22 April 2025, harga emas di pasar global menyentuh US$ 3.500 per ounce atau sekitar Rp 2 juta per gram, menandai level tertinggi dalam sejarah. Ini mencerminkan lonjakan hampir 30 persen dalam waktu kurang dari empat bulan, 50 persen dalam setahun, dan lebih dari dua kali lipat dibandingkan harga dua tahun lalu.

Tapi, ini bukan kali pertama harga emas melonjak tinggi. Sejarah mencatat beberapa masa dimana harga emas terbang, lalu jatuh. Pasca-pecahnya krisis finansial 2008 yang diikuti krisis utang Eropa, harga emas “tancap gas” dan mencetak rekor demi rekor baru. Tren kenaikan harga ini berlangsung dalam tiga tahun.

Sebagai perbandingan, pada September 2008, harga emas berkisar US$ 700-800 per ounce. Pada September 2011, harga emas dunia menembus US$ 1.780 per ounce alias naik lebih dari 100 persen. Kejadian setelah itu: harga emas berbalik turun. Harga emas diperdagangkan pada kisaran US$ 1.000-1.300 per ounce pada 2015-2018. Ini seiring dengan berkurangnya kekhawatiran inflasi dan krisis, kemudian normalisasi kebijakan moneter AS, termasuk kenaikan suku bunga.

Kenaikan suku bunga membuat aset yang memberikan imbal hasil seperti obligasi menjadi lebih menarik dibanding emas, yang tidak memberikan bunga atau dividen. Akibatnya, investor cenderung menjual emas dan beralih ke instrumen lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Tren kenaikan kencang harga emas baru dimulai lagi pada 2019 karena kekhawatiran krisis ekonomi global imbas Pandemi Covid-19. Tren mereda sejenak pada akhir 2020 hingga akhir 2022, sebelum reli lagi pada 2023 hingga sekarang.

Jauh sebelumnya, pada 1980, harga emas meroket hingga menyentuh US$ 850 per ounce akibat inflasi tinggi dan ketegangan geopolitik seperti revolusi Iran dan invasi Soviet ke Afganistan. Namun harganya kemudian turun setelah bank sentral AS merespons inflasi tinggi dengan menaikkan suku bunga acuan.

Pada 1982, harga emas berada di US$ 296 per ounce. Dengan memperhitungkan inflasi tahunan, para ekonom menyebut harga emas baru pulih sekitar 30 tahun kemudian.

Harga Emas Dunia 1980-2025
Sumber: Grafik Historis Harga Emas 1980-2025 (comexlive.org)

Apa yang Bisa Diharapkan ke Depan?

Reli harga emas mungkin belum berakhir. Tapi sejarah mengingatkan kita: bahkan aset paling ‘aman’ pun bisa berubah arah saat kondisi global bergeser. JP Morgan dan Goldman Sachs juga memberikan peringatan soal ini.

Dua raksasa keuangan global tersebut memperkirakan harga emas berpeluang menembus US$ 4.000 per ounce tahun depan. Namun, jika The Fed kembali menaikkan suku bunga atau pembelian emas oleh bank-bank sentral melambat, harga bisa cepat berbalik arah.

Di luar faktor-faktor ekonomi yang dapat diukur, ada faktor kejutan yang juga layak diperhitungkan investor. Nassim Nicholas Taleb, mantan trader dan penulis buku terkenal “The Black Swan”, menyebut faktor ini sebagai "black swan" yaitu hal yang sulit diprediksi tapi berdampak besar.

James Rickards, analis kebijakan dan mantan penasihat intelijen keuangan untuk Pentagon dan CIA, pernah memperkirakan harga emas bisa mencapai US$ 27.000 per ounce dalam skenario krisis ekonomi besar dan runtuhnya kepercayaan terhadap dolar AS. Angka itu muncul dari simulasi jika seluruh cadangan devisa global kembali didukung emas.

Mungkin "black swan" ini tidak akan terjadi. Tapi, skenario Rickards itu setidaknya menguatkan keyakinan akan peran emas sebagai aset yang bisa diandalkan bila berhadapan dengan krisis — sebagaimana juga ditunjukkan sejarah.

Lembaga/AnalisPrediksi Harga Emas 2025 (USD/oz)Faktor Pendorong UtamaWaktu Rilis
J.P. MorganRata-rata US$3.675 (Q4 2025); potensi >U$4.000 di 2026Permintaan kuat dari investor dan bank sentral, risiko resesi AS, ketegangan dagangApril 2025
Goldman SachsU$3.700 – U$4.800Risiko resesi AS, pembelian bank sentral, dedolarisasiApril 2025
Poling Reuters Terhadap 29 analisRata-rata U$3.065Ketegangan perdagangan global, dedolarisasi30 April 2025
HSBCRata-rata U$3.015Ketegangan geopolitik, kebijakan tarif AS3 April 2025
MacquarieU$3.150 – U$3.500Defisit fiskal AS, inflasi, permintaan institusionalApril 2025
Deutsche BankU$2.450 – U$3.050Pembelian bank sentral, permintaan perhiasanApril 2025

Sumber: berbagai sumber

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami