Banyak yang Senang Kalau Kilang Kita Rusak
KATADATA - PT Pertamina (Persero) berencana membangun tangki timbun (storage) untuk meningkatkan cadangan operasional bahan bakar minyak (BBM) dari saat ini 18 hari menjadi 30 hari. Dengan nilai investasi US$ 1,23 miliar, perusahaan BUMN ini akan membangun tangki timbun agar bisa menampung 7,02 juta kiloliter BBM tahun 2025.
Namun, rencana Pertamina itu menuai kritik dari Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli. Ia menganggap rencana Pertamina membangun tangki timbun tidak efisien karena selama ini lebih banyak mengimpor langsung BBM dari luar negeri. Selain itu, pembangunan tangki membutuhkan dana yang besar.
Dukungan datang dari bekas Direktur Utama Pertamina periode 2006-2009, Ari Hernanto Soemarno. “Harusnya Indonesia memiliki storage untuk cadangan minyak selama 60 hari,” kata pria berusia 67 tahun ini kepada Katadata dalam sebuah wawancara khusus di Jakarta, awal Oktober lalu. Sebaliknya, pria yang saat ini aktif menjadi konsultan banyak perusahaan minyak dan gas bumi (migas) dan Senior Project Coordinator proyek Terminal LNG Bojonegara milik Kalla Group ini, menganggap rencana Pertamina membangun kilang minyak tidaklah mendesak saat ini.
Ari, yang juga pernah menjadi Ketua Pokja Tim Transisi presiden terpilih Joko Widodo, juga menyoroti rencana pemerintah membangun cadangan minyak strategis dan konsep ketahanan energi nasional. Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda menilai rencana Pertamina membangun storage?
Kita perlu storage untuk menyimpan minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM). Sebab, kilang BBM yang ada saat ini hanya bisa menyimpan minyak untuk pasokan selama 7-17 hari. Kapasitasnya kecil karena dulu dirancang untuk mengelola minyak dari dalam negeri yang berjarak dekat. Tapi, sekarang kita membutuhkan storage yang besar karena banyak mengimpor minyak mentah. Jika impor minyak dari Nigeria, Afrika Barat, Afrika Utara atau Saudi Arabia akan membutuhkan waktu pengiriman ke Indonesia sekitar 30 hari. Jadi, kalau kapalnya berangkat dari Indonesia, total waktu yang dibutuhkan selama 60 hari.
Berapa jumlah cadangan minyak yang ideal?
Harusnya Indonesia memiliki storage untuk cadangan minyak selama 60 hari. Jadi, jika ada gangguan pasokan, berupa kapal tenggelam atau karam, kita masih punya waktu mencari minyak di tempat lain. Begitu pula produknya (BBM). Sejak dahulu kita sering dipermasalahkan karena sebagai pembeli terbesar namun ditentukan oleh pasar. Kita seharusnya yang menentukan. Ini karena kita tidak punya storage yang cukup besar di Indonesia sehingga tidak dapat menjadwal pembelian secara baik. Kalau ada satu bagian cracking kilang mati, pasar Singapura langsung bereaksi dalam hitungan menit. Di sana mereka akan menyatakan: sebentar lagi Indonesia membutuhkan minyak sehingga harganya naik.
Mengapa pasar Singapura langsung bereaksi?
Mereka tahu Indonesia pasti langsung impor karena tidak punya cadangan yang handal. Harga langsung naik. Banyak yang senang seperti itu. Berbeda jika punya tangki, akan lebih aman. Misalkan, kilang kita mati, tapi kita punya stok minyak hingga 30 hari. Selain itu, kita dapat menjadwal pembeliannya. Ketika harga murah, kita beli. Kalau mahal, tidak dibeli. Contohnya India yang sudah memiliki Strategic Petroleum Reserve / SPR (cadangan minyak strategis). Dengan kondisi saat ini dimana harga minyak rendah, mereka membeli banyak minyak.
Apa yang Anda lakukan saat di Pertamina?
Ketika menjadi direktur utama (Pertamina), saya mencoba membangun storage di Balongan dan Tuban. Tapi, itu butuh waktu. Saya hanya mampu membangun tempat penyimpanan berkapasitas enam juta barel. Padahal, target saya 20 juta barel. Dengan begitu, jika ada kilang yang mati tidak terencana hingga 7-14 hari, kita masih punya stok.
Apakah kita bisa seperti India dan Cina yang saat ini memborong minyak?
Kita tidak bisa karena tidak memiliki tangki. Selain India, Cina sedang membangun storage gede-gedean. Awalnya mereka akan membangun tangki dalam kurun enam tahun untuk memiliki cadangan strategis dari semula tiga bulan menjadi dua tahun. Karena harga minyak sedang murah, mereka sekarang mempercepat proyek tersebut.
Jadi, Indonesia perlu membangun cadangan operasional dan strategis?
Sebelum kita berbicara cadangan strategis, ada cadangan operasional. Sebaiknya berbicara dahulu cadangan operasional. Pertamina harus menentukan kebutuhan cadangan operasionalnya. Ini jangan dicampur-adukkan dengan cadangan strategis. Cadangan strategis itu bener-bener duit mati. Namanya strategis, hanya untuk keadaan strategis. Kalau di Amerika, SPR itu seperti badan usaha. Ketika harga naik, cadangannya dilepas. Sedangkan saat harga turun, minyaknya dibeli. Kalau di Cina dan India berbeda. Mereka ditanggung pemerintah.
Bagaimana dengan Indonesia?
Kalau Indonesia mau bikin SPR, siapa yang harus menanggungnya? Menyimpan dua juta barel saja, nilainya sudah US$ 100 juta. Menurut saya lebih baik kita konsentrasi pada cadangan operasional dulu. Yang punya “kemewahan” untuk membangun SPR adalah negara maju, memiliki kepentingan strategis dan juga strategi perang. Seperti Cina, yang memiliki kebijakan strategis untuk menjaga ekonominya. Amerika juga seperti itu. Berbeda dengan Jerman dan Inggris yang damai. Mereka tak punya SPR.
Kalau tak ada cadangan strategis, bagaimana mewujudkan ketahanan energi?
Kita harus berbicara bukan mengenai ketahanan energi, tetapi keamanan energi. Energy security, yaitu mengamanankan semua mata rantai energi. Mulai dari produksi, transportasi, pengolahan dan distribusi. Jangan membuat SPR dengan emosi agar hati kita tenang. Kita harus mulai dengan stok operasi, baru kemudian SPR. Sesuai saran saya saat menjadi anggota tim transisi (Joko Widodo saat menjadi presiden terpilih), diawali dengan membangun tangki. Kedua, upgrade kilang minyak yang ada. Baru kemudian membangun kilang yang baru karena biayanya mahal, sekitar US$ 7 miliar.
Jadi tidak perlu membangun kilang sekarang?
Sekarang tidak terlalu urgent karena di pasar sedang banjir minyak. Jadi harga BBM di luar juga rendah. Berdasarkan prediksi terjadi oversupply yang terlalu besar. Tapi, kita tetap perlu membangun kilang untuk substitusi impor. Kita punya sumber daya energi berupa minyak mentah tetapi ini bukan siap pakai. Dari minyak ke BBM memerlukan proses yang panjang sehingga perlu infrastruktur produksi berupa kilang dan distribusi. Semakin banyak infrastruktur produksi dan infrastruktur distribusi yang handal akan membuat lebih aman. Jadi, pembangunan kilang harus dilihat dari sisi keamanan dan ketahanan energi, bukan untuk menghemat devisa karena harga BBM bisa menjadi lebih murah.
Apa yang perlu diperhatikan untuk membangun kilang?
Berdasarkan sejarah, kita membangun kilang dekat dengan bahan baku. Seperti kilang Balikpapan, Dumai dan Plaju. Pertimbangan kedua adalah dekat dengan konsumen, seperti kilang di Cilacap dan Balongan. Arun dapat menjadi pilihan untuk membangun kilang. Lokasinya masih dekat dengan pasar, tanah lebih rata, dan infrastrukturnya tersedia baik.
Setelah tim transisi bubar, masih sering memberikan saran kepada Presiden Jokowi?
Saya masih membantu, masih dimintai pendapat oleh Pak Sudirman Said (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral). Begitu pula dengan Pertamina. Dieksekusi atau tidak, bukan urusan saya. Yang jelas, pertimbangan mereka banyak dan harus matang.