Indonesia dan Cina Bisa Sinergikan Poros Maritim Dunia
Menjelang perhelatan KTT G20, Badan Pusat Statistik mengumumkan laporan ekspor-impor Indonesia pada Senin kemarin, 15 November 2022. Di Oktober lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus, kali ini US$ 5,67 miliar, yang menandakan tren positif 30 bulan berturut-turut.
Di Oktober itu pula perdagangan Indonesia dengan Cina kembali surpulus untuk kedua kalinya sebesar US$ 1,04 miliar. Gap positif tersebut hampir tiga kali dibandingkan bulan sebelumnya. Sumbangan ekspor terbesar dari mineral, besi dan baja, serta lemak dan minyak hewan atau nabati.
Duta Besar Indonesia untuk Cina, Djauhari Oratmangun, mengatakan nilai perdagangan kedua negara mencapai US$ 110,2 miliar pada Januari – September tahun ini. Angka tersebut meningkat 29,2 % dibandingkan periode sebelumnya. “Ini belum akhir tahun, sudah ada surplus yang signifikan,” kata Djauhari kepada Katadata.co.id di sela-sela KTT G20 di Bali pekan ini.
Menurut dia, ada sejumlah faktor yang menopang pencapaian tersebut, selain lonjakan harga komoditas. “Pelaku-pelaku ekonomi sudah punya attitude global karena bisa menembus pasar Tiongkok, gak mudah-mudah amat juga,” ujarnya. “Kemarin saya menyaksikan penandatanganan pembelian 2,5 juta ton palm oil dan produk-produk turunannya.”
Selain di sisi perdagangan, hubungan Indonesia kian erat seiring arus investasi Negeri Tembok Raksasa itu ke Tanah Air. Setiap tahun nilainya terus bertambah. Bahkan dalam kerja sama ini, kata Djauhari, Indonesia dan Cina bisa mensinergikan konsep poros maritim dunia yang digagasan Presiden Joko Widodo dan Belt and Road Initiative dari Presiden Xi Jinping.
Bagaimana hubungan termutakhir Indonesia dengan Cina dan posisi G20 sebagai medium komunikasi, berikut ini pandangan-pandangan Djauhari Oratmangun dalam wawancara khusus dengan Katadata.co.id tersebut.
Bagaimana Anda melihat G20 Summit dalam konteks kerja sama antarnegara, khususnya Indonesia dengan Tiongkok?
Momentum G20 tahun ini punya banyak dimensi: ekonomi, politik. Kembali lagi ke awal, pembentukan G20 untuk membahas ekonomi global, apalagi dalam situasi krisis saat itu. G20 kurang lebih menguasai hampir 80 % ekonomi dunia. Jadi apa yang dihasilkan akan mempengaruhi situasi perekonomian global saat ini.
Kedua, dalam kepresidenan ini kita punya tema “recover stronger, recover together”. Itu punya daya menciptakan energi luar biasa sehingga membuat kita ingin menghasilkan -dan itu digagas oleh Indonesia- hasil-hasil yang nyata. Jadi bukan lagi sesuatu yang di awang-awang.
Karena itu kita datang dengan tiga prioritas: global health infrastructure; renewable energy- green economy, lalu transformasi digital, khususnya terkait UMKM. Tentu itu akan punya dampak luar biasa. Namun demikian, karena situasi yang berkembang di Eropa, yang membuat dunia menghadapi krisis energi maupun pangan, ini juga harus dibahas.
Selain itu, mudah-mudahan Bali bisa menciptakan conducive environment sehingga terjadi habits of dialogue among world leaders. Itu akan mengurangi ketegangan pada tatanan global. Mata dunia melihat ke Indonesia. Presiden kita bisa memainkan peran itu. Dalam situasi yang susah saat ini, nyaris sebagian besar pemimpin dunia bisa hadir, itu sesuatu yang perlu diapresiasi.
Bagaimana perjalanan menuju KTT G20 yang Anda ikuti?
Sebelum KTT sudah banyak pertemuan tingkat menteri, gubernur bank sentral, civil society, pengusaha-pengusaha, B20, T20, juga ada fintech summit. Itu menghasilkan rekomendasi yang konkret.
Dalam konteks ini, Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia pasti akan memainkan peran yang signifikan. Dikaitkan dengan global health infrastructure, mereka menguasai paling tidak supply chain dari vaksin, medical devices, alat kesehatan, dll.
Kedua, di bidang renewable energy, kemajuan mereka juga luar biasa dan sudah punya target 2035 dan 2060. Kurang-lebih sama dengan kita untuk carbon emission.
Ketiga, digital transformation. Cina salah satu leader di dunia. Dalam konteks tiga prioritas itu, pasti Cina punya peran sebagai ekonomi kedua terbesar di dunia. Yang terakhir, dengan kekuatan Cina saat ini secara ekonomi, dia pasti akan ikut berkontribusi untuk mengurangi ketegangan pada tatanan global.
Dengan posisi strategis Cina, peluang kerja sama apa yang mungkin dikonkritkan dengan Indonesia di tiga poin agenda G20?
Di kesehatan sudah ada kesepakatan antara Indonesia dan Cina untuk menjadikan Indonesia sebagai regional medical hub untuk vaksin dan medical equipment. Berbagai kegiatan sudah kami rancang untuk kegiatan tersebut. Sebagian akan jadi kurang-lebih ada 22 deliverables Tiongkok dan Indonesia dalam konteks G20.
Di bidang transisi energi, kita sudah mendorong secara habis-habisan untuk eksplorasi kerja sama dan akses kepada affordable clean energy dan percepatan transisi energi dari fosil menjadi non-fossil fuel energy. Di bidang ini pun kita sudah melakukan berbagai kerja sama dengan Tiongkok. Mereka akan terlibat, misalnya, untuk kawasan Kalimantan Utara.
Di industri, Indonesia dan Cina bisa sinergikan konsep poros maritim, gagasannya Presiden Joko Widodo dan Belt and Road Initiative, gagasannya Presiden Xi Jinping.
MOU-nya ditandatangani di Maret 2019. Itu terefleksikan dalam empat koridor ekonomi: pertama di Sumatra Utara; kedua di Kalimantan Utara untuk renewable energy; ketiga di Bali, Kura-Kura Island untuk innovation and new technology. Karenanya, di situ nanti ada Southeast Asia Center for Innovation Tech. Ini terkait dengan digital transformation. Lalu Sulawesi Utara untuk hub ke Pasifik.
Di transisi energi telah banyak dilakukan untuk solar energy, baik untuk peralihan dari fossil fuel ke energy baru, lalu kemudian hydropower, dll.
Bagaimana di sektor pertambangan, kerja sama apa yang terbentuk?
Kita punya nikel yang banyak. Dari nikel itu akan kita kerjasamakan dengan Tiongkok sehingga jadi produk-produk turunan nikel sampai ke baterai. Kalau itu terjadi, kita akan jadi salah satu supplier baterai terbesar di dunia.
Industrinya akan dikembangkan dari hulu sampai hilir untuk electric vehicles. Lihat di sini bus-bus yang menggunakan tenaga electric, begitu juga sedan-sedan, kendaraan kecil, yang saya kira ada semangat baru yang diciptakan mulai dari Bali untuk transisi energi.
Lalu digital transformation. Itu sudah banyak sekali terjadi antara Tiongkok dan Indonesia. Di bidang infrastrukturnya, e-commerce kita kerja sama dengan JD.com, dengan Tencent, dll. Artificial intelligence, internet of things, dan blockchain sudah mulai bergairah juga di sini.
Ini semua yang kita tumbuh kembangkan. Karena ini juga yang membuat Cina bisa leapfrogging dalam 20 tahun. Kita ingin juga Indoensia bekerja sama, berkolaborasi, tidak hanya dengan Cina, tapi juga pemain-pemain global lainnya.
Sebelum pandemi, kita mengalami defisit neraca dagang dengan Cina. Setahun terakhir terlihat ada peningkatan yang cukup signifikan ekspor Indonesia ke Cina. Bagaimana Anda melihat perkembangan ini?
Pertama, saya melihat ada hubungan dan komunikasi yang baik antara kedua presiden sehingga terefleksikan di banyak bidang. Di masa menghadapi Covid-19, kita kerja sama vaksin, medical equipments, dll. Selama dua tahun ini mereka berkomunikasi secara telepon delapan kali dan terakhir kunjungan Presiden Jokowi bulan Juli. Dari hubungan yang baik itu diejawantahkan oleh menteri-menteri terkait.
Kedua, pelaku-pelaku ekonomi kita. Saya berinteraksi banyak dengan mereka, pelaku-pelaku ekonomi yang sudah punya attitude global karena bisa menembus pasar Tiongkok, gak mudah-mudah amat juga. Waktu saya masuk ke sana itu 2018, volume perdagangan ekspor-impor dua negara menurut data dari China Customs US$ 78,6 miliar. Kita ranking kelima di ASEAN.
Ada comprehensive strategic partnership dengan Cina sejak 2013. Saya berpikir, kok comprehensive strategic partnership tidak terefleksikan di angka-angka perdagangan maupun investasi. Di situ lah kami mulai berkoordinasi dengan Jakarta, bagaimana, saya kasih istilah, menggempur pasar Tiongkok.
Hal yang sama kami sampaikan juga ke Cina. Kita ini sahabat, mestinya ada perlakuan khusus sehingga angka-angkanya meningkat.
Bagaiamana hasilnya?
Puji Tuhan, syukur alhamdulillah, pada tahun lalu, nilai perdagangan antara kedua negara sudah di atas US$ 120 miliar, naik kurang lebih 50 %. Ekspor kita naik 70 %, karena itu surplus.
Tahun ini, Januari–September, data dari China customs, nilai perdagangan kedua negara US$ 110,2 miliar. Dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama sudah meningkat 29,2 %. Sementara ekspor kita meningkat di atas 30 %. Ini belum akhir tahun, sudah ada surplus yang signifikan.
Jadi saya berharap akhir tahun ini, kalau melihat tren peningkatan sekitar US$ 10 miliar per bulan, paling tidak bertambah US$ 30 miliar lagi sehingga bisa reach kurang-lebih US$ 140 miliar.
Kita harus berterima kasih kepada pelaku-pelaku ekonomi kita, begitu juga berbagai kemudahan-kemudahan yang kita negosiasikan dengan Cina sehingga bisa diberikan.
Kemarin saya menyaksikan penandatanganan pembelian 2,5 juta ton palm oil dan produk-produk turunannya dari Indonesia. Nilainya sekitar dua koma sekian miliar dolar AS. Ini sebagai tindak lanjut kunjungan Presiden ke Beijing bulan Juli yang lalu. Itu di bidang perdagangan.
Berikutnya investasi. Arus investasi, realisasinya sangat signifikan. Tahun lalu, realisasi investasi US$ 4,6 miliar. Tahun ini baru sampai September sudah US$ 5,2 miliar. Saya kira banyak announcement selama G20 ini. Tiongkok sekarang investor terbesar kedua di Indonesia. Pertama Singapura, ketiga itu Hong Kong.
Bisa dirinci, sektor-sektor mana yang jadi minat dari investor Cina, Pak?
Pertama bidang health infrastructure. Beberapa waktu lalu baru meresmikan kerja sama. Karena kita sadar dengan satu virus saja ekonomi global collapsed. Jadi di health infrastructure ada vaksin di dalamnya, supply chain, obat-obatan, medical equipments.
Juga menjadikan Indonesia sebagai hub?
Right. Itu kesepakatan bersama.
Di bidang transformasi digital, ini akan membuat Indonesia leapfrogging. Nilai transaksi digital kita pada 2020 sekitar US$ 40-an miliar. Kita diprediksi di 2030 itu US$ 300-an miliar, 2025 itu US$ 130–150 miliar. Kita terbesar di ASEAN. Dan banyak dari mereka juga bekerja sama dengan Cina.
Berarti sejalan antara agenda di G20 ini dengan investasi yang mengalir.
Sejalan. Contoh, kita melarang ekspor nikel, lalu kita ekspor produk-produk turunannya. Nilai tambahnya luar biasa. Sekarang kita melangkah lagi lebih maju dari itu. Karena itu lah tingkat pertumbuhan ekonomi kita di triwulan ini bisa di atas 5,7 %.
Ke depan, apa lagi yang bisa jadi kesempatan? Ada kebijakan-kebijakan atau program baru yang bisa terus berlanjut?
Terkait dengan Cina, tourism economy. Itu kontribusinya signifikan juga sebelum Covid-19 ke GDP kita. Sekarang sudah terbuka lagi. Covid-19 mulai tertangani. Lihat Bali sekarang ini. Sebelum Covid-19, turis Cina di atas dau juta yang ke sini. Itu harus kita bina, tourism dan creative economy, karena ini menyatu. Kalau kita bisa laksanakan dengan baik, itu akan berkontribusi secara signifikan ke GDP kita.
Di mata Cina, bagaimana mereka melihat posisi dan peran Indonesia, dari sisi ekonomi maupun geopolitik saat ini dan kedepannya?
Mereka melihat Indonesia sebagai partner sejajar. Itu pengalaman saya di sana selama bertugas sebagai duta besar. Dan itu terefleksikan juga pada saat pertemuan tingkat menteri maupun pada tingkat kepala negara. Percakapan yang terjadi adalah percakapan antarsahabat pada kedudukan yang sama. Mereka butuh kita. Tahun depan kan kita akan jadi ketua ASEAN.
Bukan hanya ASEAN-nya, tapi ASEAN plus. Lebih dari delapan partner karena Uni Eropa juga sudah. Ini suatu momentum yang luar biasa juga. Momentum ini tetap dipertahankan dan ditumuhkembangkan, sebagai ketua ASEAN pada 2023. Kalau bisa kita sinergikan, saya kira 2030 akan menjadi sesuatu yang luar biasa buat Indonesia.