Menko PMK: Transformasi Pembangunan Manusia Kunci Indonesia Emas 2045
Berbagai pekerjaan rumah besar menanti untuk diselesaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sebelum menanggalkan jabatan yang diemban saat ini. Sebagai Menko PMK, Muhadjir bertugas mengorkestrasi tujuh kementerian dan sepuluh lembaga teknis.
Muhadjir berseloroh, "Seluruh persoalan di tingkat masyarakat, hampir seluruhnya bermuara di kementerian ini," kata dia saat ditemui Katadata.co.id di kantornya, Senin (6/11). Mulai dari persoalan stunting, kesehatan, disabilitas dan lansia, hingga penanggulangan bencana menjadi fokus persoalan yang penanganannya berada di bawah koordinasi Kemenko PMK.
Tugas besar lainnya yang menjadi tanggung jawab Kemenko PMK adalah mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045 berupa Negara Nusantara Berdaulat, Maju dan Berkelanjutan. Menurut Muhadjir, apa yang dilakukan saat ini akan menjadi bekal untuk 20-30 tahun mendatang.
Ada beragam tantangan yang dihadapi untuk mencapai Indonesia Emas 2045 seperti yang diharapkan. Salah satunya seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, sembilan dari sepuluh target kesehatan terancam tidak tercapai.
Dalam wawancara bersama Katadata, Muhadjir mengungkapkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pembangunan sosial dan kesejahteraan masyarakat hari ini sebagai bekal mewujudkan Indonesia Emas 2045, mengingat masih ada banyak persoalan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat yang masih membelenggu.
Simak perbincangannya berikut.
Strategi apa yang dirancang untuk menjawab tantangan Indonesia Emas 2045?
Kami secara bertahap sedang merancang berbagai transformasi, grand design human development. Dari rancangan itu nanti akan di-breakdown menjadi desain besar bagi masing-masing kementerian dan lembaga teknis. Kami berharap dengan sebuah rancangan yang terpadu ini, arah pembangunan manusia kita akan betul-betul terintegrasi dan koheren. Tetapi memang, perjalanan yang diperlukan untuk itu masih panjang.
Yang sudah mulai bergerak saat ini contohnya ada transformasi di bidang pendidikan, kesehatan dan keolahragaan. Kami juga sudah mulai melakukan transformasi di bidang jaminan, baik jaminan sosial maupun jaminan kesehatan.
Untuk melakukan seluruh transformasi tersebut dimulai dari data. Target kami saat ini adalah membuat semuanya terintegrasi dalam sebuah big data. Dengan begitu, ketika melakukan intervensi melalui kebijakan, sasarannya jelas.
Misalnya, untuk mengatasi kemiskinan ekstrem dan Presiden Joko Widodo menargetkan kemiskinan nol di 2024, kami intervensi dari tingkat keluarga. Karena itu, basis data yang dibangun berasal dari BKKBN, Kemensos, hingga data Dukcapil dari Kemendagri yang disinkronisasikan, sehingga Indonesia saat ini punya data P3KE (Percepatan Penghapusan Penyasaran Kemiskinan Ekstrem).
Di beberapa negara sudah menerapkan bukan saja Universal Health Coverage, tapi Universal Basic Income (UBI). Mereka yang menganggur pun dikasih uang, mereka tiap bulan mendapatkan pendapatan minimum. Kami sedang mengusulkan supaya Indonesia dapat menggunakan Selected Universal Basic Income.
Selected Universal Basic Income, seperti apa dan bagaimana strategi penerapannya kelak?
Ini memang masih sebagai wacana mengingat desain teknokratiknya belum ada, tapi kami terus mempelajari pelaksanaan jaminan pendapatan dasar di negara-negara maju.
Sebenarnya Indonesia sudah mulai menerapkan hal tersebut. Misalnya, seorang lansia yang berada dalam kemiskinan ekstrem, dia akan mendapatkan bantuan dari pemerintah yang membuat dia tidak akan berada di dalam kategori itu lagi.
Hanya saja di Indonesia dananya masih tersebar di beberapa kementerian, sehingga kami memberikan diskresi untuk lansia dan difabel. Diskresinya adalah mereka bisa mendapatkan bantuan sosial multi program dari beberapa kementerian, misalnya PKH dari Kemensos, lalu dana desa atau dana kabupaten.
Saya kemarin launching aplikasi untuk dana desa guna memastikan tidak ada lagi orang miskin yang tidak ter-cover oleh dana desa. Ini merupakan salah satu pendekatan UBI.
Dengan adanya data yang terpadu seperti berapa usia produktif yang masih belum bekerja, dana desa dapat digunakan untuk mengatasi kemiskinan ekstrem, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ketahanan pangan. Caranya, misalnya dana desa digunakan untuk memberikan insentif kepada angkatan kerja di desa tersebut untuk beternak ayam.
Desa dapat membeli telur-telur ayam dan daging ayam dari peternakan itu untuk mengatasi stunting. Bayangkan, dari dana desa itu sudah bisa menangani kemiskinan ekstrem, stunting dan ketahanan pangan. Ini dilakukan melalui pendekatan UBI dalam mengelola dana desa.
Bicara soal stunting, menurut data, prevalensi stunting kita memang menurun jauh jika dibandingkan 2013, dari 37,2% menjadi 21,6% pada 2022. Tapi ini tidak cukup. Apa grand design yang dibangun Kemenko PMK untuk mengatasi stunting guna mengoptimalkan potensi SDM kita menyambut Indonesia Emas 2045?
Kemenko PMK memiliki tugas ksp (koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian). Selain melakukan fungsi ksp untuk kementerian teknis dan badan atau lembaga yang berada di dalam kewenangan Kemenko PMK, kami juga melakukan hal itu dengan kementerian lain untuk mengatasi stunting.
Berbicara stunting tidak bisa parsial, harus dari hulu ke hilir. Sekarang kita lihat, stunting ini sangat terkait dengan kualitas air bersih, air minum dan sanitasi. Sebab itu, untuk impementasi pengadaannya sebagai infrastruktur dasar berada di bawah koordinasi Kemenko PMK, meskipun Kementerian PUPR secara teknis berada di bawah Kemenkomarves.
Selain itu, Kemenko PMK menerjemahkan penanganan stunting dalam program siklus pembangunan manusia Indonesia. Kami mencermati pembangunan manusia dimulai dari dalam kandungan sampai lahir, sampai usia dua tahun, lima tahun, remaja, masa produktif 16-65 tahun, dan masa lansia di atas 65 tahun.
Stunting adalah persoalan di dalam siklus sejak dalam kandungan hingga berusia dua tahun. Dalam siklus itu, stunting dicegah melalui penanganan gizi, penanganan berbagai macam penyakit atau gangguan kesehatan ketika anak dalam kandungan, sampai kepada persiapan perempuan menjadi seorang ibu.
Kami juga merancang persiapan perkawinan, bukan sebatas sah atau tidak. Perkawinan sekarang ditangani secara terintegrasi dengan melibatkan Kemenag, Dukcapil, Kemenaker, Kemenkes dan BKKBN.
Selain mencegah perkawinan dini, persiapan perkawinan ini untuk mencegah stunting, mencegah timbulnya kemiskinan multidimensional yang baru. Persoalannya, ketika dua rumah tangga miskin berbesanan, potensi lahirnya rumah tangga miskin yang baru sangat tinggi.
Untuk mengatasinya, kami akan memastikan yang akan menikah ini harus memiliki pekerjaan dengan melibatkan Kemenaker. Mereka akan dilatih sehingga memiliki keterampilan tertentu untuk masuk ke dalam sektor formal atau berwirausaha. Jika ada keterlanjuran, pasangan tersebut diminta untuk menunda memiliki anak.
Ketika sudah hamil, kondisi ibu hamil akan terus dipantau. Desember ini kami menargetkan Puskesmas di seluruh Indonesia sudah memiliki USG, untuk Posyandu harus sudah ada antropometri terstandar untuk mengukur bayi.
Ketika sudah lahir, akan diberikan bantuan makanan terutama untuk keluarga dalam kategori tidak mampu, terutama protein hewani untuk memastikan perkembangan otaknya berjalan dengan baik.
Kalau menurut riset kesehatan dasar yang terakhir, rasio tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan, terutama di daerah 3T, jauh di bawah ideal. Dengan berbagai program kesehatan dan pembangunan manusia yang menjadikan Puskesmas sebagai ujung tombak, bagaimana memastikan seluruh program terlaksana dengan baik hingga ke pelosok negeri?
Ketimpangan itu bukan hanya persoalan di bidang kesehatan, tetapi juga di bidang pendidikan. Harus diakui bahwa implikasi Indonesia yang ibu kotanya di Jakarta dan Jawa jadi episentrum membuat terjadi ketidakmerataan.
Betul itu.
Di samping fasilitas, kualitas SDM kita dan persebarannya tidak merata. Kalau saya lihat problemnya ada 4, kualitas, kuantitas, pemerataan, dan kesesuaian pelayanan. Sekarang sedang kami benahi.
Dalam kaitannya dengan pengadaan kebutuhan gizi, juga sama. Optimalisasi dana desa untuk menangani stunting hingga kemiskinan ekstrem kami harap mampu menjadi solusi atas ketimpangan tersebut.
Di bidang kesehatan, kami sedang melakukan reformasi lembaga pendidikan kesehatan dengan memperbanyak fakultas kedokteran di setiap daerah. Nanti ada kebijakan pendidikan dokter berbasis rumah sakit.
Ke depan, untuk menjadi dokter tak lagi hanya banyak belajar di kampus, bisa juga belajar di rumah sakit. Ini untuk mempercepat pertumbuhan tenaga medis di Indonesia.
Di 2045 mendatang, Indonesia diprediksi akan menghadapi lonjakan penduduk lansia. Bagaimana strategi untuk menghadapi bonus demografi dari golongan lansia?
Sebenarnya di 2045 nanti, kita akan masuk ke masa pos-bonus-demografi atau ageing population. Jadi, penduduk lansia hampir imbang dengan usia produktifnya. Sementara puncak bonus demografi usia produktif itu tinggal tujuh atau delapan tahun ini, kita berkejaran dengan momentum.
Sekarang kami fokus menyiapkan lapangan kerja untuk sekitar 147 juta penduduk usia produktif. Dari jumlah itu, yang menganggur sekitar tujuh juta, tamatan perguruan tinggi per tahun sekitar 1,3 juta penduduk, tamatan SMA sekitar 3,8 juta. Dari tamatan SMA itu, yang melanjutkan ke perguruan tinggi baru mencapai 32%. Secara teori, sisanya masuk ke dunia kerja.
Setiap tahun kita harus menyediakan sekitar 3,6-3,8 juta lapangan kerja baru. Tentu saja penciptaan lapangan kerja ini sangat bergantung pada pertumbuhan ekonomi kita. Untuk menyiapkan lansia yang berdaya di masa depan, kita harus menyiapkan tabungan mereka di hari ini, mereka yang berada di usia produktif saat ini.
Pemerintah sudah mengeluarkan lima jenis jaminan sosial, yang sebagian besar terkait dengan penjaminan usia produktif misalnya jaminan keselamatan kerja, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan. Yang betul-betul untuk menyiapkan masa tua ada jaminan pensiun dan jaminan hari tua. Ini sudah dijamin negara.
Rumusnya ada bantuan sosial dan jaminan sosial. Sehingga dari sisi bantuan sosial, untuk ke depan, lansia akan diberikan semacam Selected Universal Basic Income (SUBI). Jadi tiap bulan mereka mendapatkan Rp 900 ribu, misalnya.
Kami juga akan mengembangkan silver economy atau ekonomi yang pelaku dan peruntukannya untuk lansia, tetapi belum terlalu jauh untuk memikirkan itu. Memikirkan yang 3,8 juta saja masih kerepotan.
Persentase lansia yang masih bekerja semakin meningkat. Mungkinkah ada jaminan untuk lansia dalam kondisi ini?
Berkat berbagai fasilitas kesehatan, termasuk obat anti ageing membuat angka harapan hidup makin panjang dan berkualitas. Memang saat ini ada upaya untuk menaikkan usia pensiun dan ada pekerjaan tertentu yang layak untuk lansia. Tapi kita belum menyiapkan dengan baik.
Target kami sekarang penduduk produktif ini memiliki pekerjaan yang layak. Kalau merujuk kepada Suistainable Development Goals (SDGs), pertumbuhan ekonomi diimbangi dengan ketersediaan pekerjaan yang layak.
Jika penduduk usia produktif mendapatkan kerja yang layak, diharapkan dia bisa saving sebagian penghasilannya, sehingga bisa mendapatkan manfaat dari tabungan itu di hari tuanya.
Menjelang akhir tugas di 2024, apa yang menjadi agenda prioritas Kemenko PMK?
Satu tahun ini kami upayakan untuk menuntaskan program prioritas yang sudah ditetapkan. Kami akan fokus menurunkan stunting hingga di angka 14%. Kemiskinan ekstrem saat ini ditargetkan turun di angka 0% pada 2024. Jika November ini di bawah 1%, saya optimistis tahun depan dapat di bawah 0,5%.
Selain itu, tentu mengawal rencana besar dari kementerian teknis. Misalnya di Kementerian Pemuda dan Olah Raga ada desain besar olah raga nasional. Di Kemendikbudristek, memperkuat pembelajaran yang lebih luas dan terbuka dengan tagline merdeka itu.
Di dunia tenaga kerja, tahun depan kami fokus mengoneksikan balai-balai latihan kerja dengan kartu prakerja. Kemudian menjalankan transformasi kesehatan dari tingkat Posyandu yang tidak lagi hanya melayani balita, tetapi juga lansia dengan bentuk sebagai perpanjangan tangan Puskesmas. Serta berbagai program lainnya.
Pada praktiknya, tentu melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Tantangan untuk mengakselerasi dan mengkoordinasi kementerian dan lembaga terkait dengan kompleksitasnya masing-masing seperti apa?
Sangat kompleks. Karena itu, pada akhirnya kami harus membuat skala prioritas karena tidak semuanya bisa kami urus. Jika saat ini terlihat ramai tentang stunting, kemiskinan ekstrem dan penyakit menular, itu bukan berarti urusan kami hanya itu saja.
Persoalan tindak pidana perdagangan orang, perdagangan obat-obatan terlarang, sampai pelajar berkelahi pun juga diurus di sini. Tentu kami harus membuat skala prioritas, terlebih dengan anggaran dan personil yang terbatas.
Kami menggunakan pendekatan pentahelix sebagai salah satu upaya, melalui kolaborasi dengan sektor swasta, perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan juga media. Melalui pendekatan ini, diharapkan seluruh target-target tercapai dengan baik dan tersampaikan dengan baik.