PMN untuk BTN Buka Ruang bagi MBR Miliki Rumah
Selisih antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal alias backlog perumahan terus terjadi di Indonesia. Salah satu sumber masalah ini adalah peningkatan jumlah penduduk. Ditambah, banyaknya penduduk usia dewasa yang membutuhkan rumah tinggal, baik yang sudah maupun belum menikah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat rerata terjadi 1,8 juta pernikahan setiap tahunnya. Meski demikian, jumlah produksi rumah belum bisa mengimbangi kebutuhan. Alhasil, data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan telah terjadi backlog 11,4 juta unit rumah.
Dari jumlah tersebut 7,6 juta di antaranya merupakan angka backlog keterhunian rumah. Di luar itu, data BPS mengungkap 40,5% keluarga menempati rumah dengan kondisi tidak layak huni.
Sebagian besar dari keluarga yang belum memiliki rumah adalah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Pendapatan MBR setiap bulannya belum cukup untuk membeli rumah, meski dengan kredit pemilikan rumah (KPR) dengan tenor paling panjang.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, pemerintah harus hadir untuk mengurangi backlog perumahan, sekaligus penyediaan rumah bagi MBR.
“Tentunya Program Sejuta Rumah, rumah subsidi, dan KPR subsidi bisa menjadi solusi. Namun itu belum cukup,” ujarnya menanggapi wacana Kementerian Keuangan mengevaluasi kembali keputusan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp 2,98 triliun kepada PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN).
Pada dasarnya, pemerintah dan DPR telah menyetujui rencana penyuntikan PMN tersebut. Suntikan dana ini tercatat sebagai setoran modal pemerintah dalam rights issue BTN yang akan digelar pada tahun ini.
Menurut Piter, pemerintah harus melakukan penguatan kepada bank yang fokus pada sektor properti. Peran bank ini vital karena dapat membiayai proyek perumahan subsidi. Sekaligus, menyediakan KPR subsidi baik dengan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) maupun subsidi bunga kredit.
“Sayangnya hanya satu bank yang fokus ke perumahan MBR, yakni BTN. Bank lain lebih memilih ke perumahan menengah ke atas,” katanya.
Menurut Piter, segmen KPR subsidi biasanya kurang disukai oleh perbankan. Segmen ini memiliki margin yang kecil, namun risikonya besar karena tenor kredit yang sangat panjang. “Komitmen BTN terhadap segmen MBR sudah terbukti,” tuturnya.
Piter menilai, ketergantungan pemerintah terhadap BTN dalam Program Sejuta Rumah sangat besar. Maka, penguatan terhadap BTN dapat dilakukan sesegera mungkin. Dengan penambahan modal, maka kapasitas BTN dalam menyalurkan KPR subsidi akan semakin besar.
PMN untuk BTN akan menjadi alat bagi pemerintah agar MBR bisa memiliki rumah layak huni. “Patut dicatat PMN ke BTN itu bukan subsidi. Karena, uang pemerintah tersebut akan terus berkembang seiring dengan peningkatan aset dan valuasi dari BTN,” ucapnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menambahkan, sektor properti mesti menjadi prioritas dalam program relaksasi dari pemerintah. Sebab, peranan sektor properti sangat strategis, bahkan dibanding sektor ekonomi lainnya.
Multiplier effect sektor properti membentang, dari pelaku industri dan usaha turunannya, hingga ke konsumen akhir terutama MBR. Relaksasi di sektor properti pun patut diprioritaskan.
“Untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi dan sekaligus membantu daya beli masyarakat untuk memiliki rumah layak huni, sektor properti saya rasa lebih tepat diberikan relaksasi dibandingkan sektor otomotif,” ungkap Nailul.