Setahun Prabowo-Gibran Cukup Baik, Sektor Apa Saja yang Butuh Pembenahan?

Periode setahun Prabowo-Gibran dinilai sudah cukup baik, meski sejumlah sektor dan posisi butuh pembenahan. Simak penjelasan para pakar di acara Katadata Policy Dialogue berikut.
Image title
22 Oktober 2025, 11:48
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sanny Iskandar (kedua kiri) bersama Direktur Riset Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi (kedua kanan), Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan (kanan) dan Redaktur Pelaksana Kata
Katadata/Fauza Syahputra
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sanny Iskandar (kedua kiri) bersama Direktur Riset Prasasti Center for Policy Studies, Gundy Cahyadi (kedua kanan), Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Mohamad Ikhsan (kanan) dan Redaktur Pelaksana Katadata.co.id Sorta Tobing pada acara Katadata Policy Dialogue: Satu Tahun Prabowo-Gibran, Mengukur Langkah Awal Prabowonomics di Kantor Katadata, Plaza Blok M, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kinerja setahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dinilai cukup baik dalam menjalankan program-programnya kendati masih banyak sektor butuh perbaikan dan optimalisasi.

Hal tersebut terungkap dalam Katadata Policy Dialogue bertajuk 'Satu Tahun Prabowo-Gibran, Mengukur Langkah Awal Prabowonomics' di Jakarta, Selasa (21/10).

"Penilaian kami untuk satu tahun kinerja Presiden Prabowo-Wapres Gibran adalah cukup baik saat ini untuk semua pilar," kata Direktur Riset Prasasti Gundy Cahyadi, salah satu pemateri dialog.

Kategori itu berdasarkan riset yang dilakukan lembaga penelitian Prasasti terhadap Key Performance Indicator (KPI)-nya Pemerintah. Caranya, membandingkan target-target pada Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2025 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan pelaksanaannya.

Menurut Gundy, Prasasti membaginya ke dalam lima kategori penilaian, exceeding expectation, on track, acceptable (belum on track tapi cukup baik), developing (masih perlu banyak perbaikan), dan significant gap (perlu banyak sekali perbaikan).

"[Setahun Prabowo] masih di bawah on track tapi di atas developing," ujar Gundy.

Prasasti merangkum penilaian setahun Prabowo-Gibran dalam empat sektor utama. Pertama, ekonomi dan industri, dengan penilaian developing; kedua, transformasi SDM dengan penilaian developing; ketiga, politik, hukum, keamanan dengan penilaian acceptable (cukup baik); keempat, bidang sosial, kemiskinan, lingkungan, dan budaya dengan penilaian cukup baik.

Gundy mencontohkannya dengan target penerimaan pajak dengan tax ratio (penerimaan pajak berbanding produk domestik bruto/PDB) 10,03%. Pada semester II 2025, angkanya baru 9%. "Belum on track, tapi cukup baik."

Prasasti juga menyinggung soal target meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan untuk mencapai angka 8% pada 2029. Program utamanya di antaranya Food Estate, infrastruktur pedesaan dan hunian terjangkau yang layak dengan sanitasi.

Kondisinya saat ini belum ada proses deregulasi yang jelas dalam hal penciptaan usaha, "yang malah memperlambat percepatan pertumbuhan ekonomi."

Satu Tahun Prabowo-Gibran, Pengusaha Butuh Kepastian Regulasi

Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, kalangan pengusaha meminta kepastian regulasi. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sanny Iskandar mengatakan, kepastian regulasi menjadi hal yang sangat mendesak."

Masalahnya, kata dia, terutama sejak periode kedua Presiden Ketujuh RI Joko Widodo dan kini setahun pertama Presiden Prabowo, urusan ekonomi tak bisa dilepaskan dengan politik. Contoh konkretnya, pemecahan sejumlah kementerian akibat penambahan kursi kabinet membuat sinkronisasi antar-kementerian belum optimal. Dan ini berdampak pada dunia usaha.

"Kami coba sesuaikan. Dan memang yang terjadi, apa yang sebetulnya [mesti] dibenahi, kami sangat mendambakan adanya kepastian dalam masalah yang berhubungan dengan kebijakan," ujar Sanny dalam acara yang sama.

Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Mohammad Ikhsan mendorong Presiden menempatkan orang-orang terbaik sesuai kepakarannya karena saat ini sedang terjadi "erosi teknokrasi."

Ia mencontohkan kebijakan Biodiesel di atas 30% (B50) yang rencananya diterapkan tahun depan.

"Ini nggak make sense. Negara nggak untung, pengusaha CPO nggak untung, pengusaha biodiesel enggak untung. What for? Mestinya ada teknokrasi," ujar Ikhsan.

Ia juga menyoroti soal konsistensi. Salah satunya jargon efisiensi dari Pemerintah. Namun, pada saat yang sama, kabinet makin gemuk, belanja alat utama sistem senjata (alutsista) naik signifikan. Baginya, secara angka ini tak layak dalam pengukuran Incremental Capital Output Ratio (ICOR).

"Di mana letak efisiensi kalau kita bangun tentara yang besar, gap-nya geopolitik apa bener mau perang? Kabinet yang besar, all overated cost. pasti ICOR naik. Yang disebut ICOR itu, you have to be slim, efficient," kata dia melanjutkan.

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto juga diminta untuk menjaga birokrasi dari kepentingan politik. Peneliti Utama Politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai birokrasi yang andal menjadi penopang negara yang maju. Siti Zuhro memberikan masukan itu terkait dengan evaluasi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam masa setahun.

“Maka kalau kita, Indonesia, sudah mendeklarasikan diri ingin masuk ke kelas birokrasi dunia, bahkan gak bisa ditawar, jangan lagi birokrasi ditarik-tarik ke kepentingan politik,” kata Siti Zuhro.

Ia mencontohkan negara tetangga seperti Singapura, yang menurut penuturannya tak mengenal politisasi birokrasi. Saat melakukan studi ke sana, ia mengatakan PNS Singapura kaget dengan perbedaan kondisi, karena di sana tidak ada birokrasi yang ditarik-tarik ke politik praktis.

“Sebagai istilahnya itu pendongkrak elektoral ataupun apapun begitu ya. Sehingga birokrasinya partisan, dukung-mendukung, sampai kelurahan, desa. Nah itu gak boleh sebetulnya,” kata dia.

Sejalan dengan hal itu, ia menggambarkan kondisi birokrasi yang terukur, kaya fungsi meskipun miskin struktur. “Kalau saat ini kaya struktur, saya khawatir menjadi miskin fungsi,” kata dia.

Mencari Keseimbangan

Acara diskusi Katadata Policy Dialogue yang bertajuk Satu Tahun Prabowo Gibran di Jakarta, Selasa (21/10). Foto: Ade Rosman/Katadata
Acara diskusi Katadata Policy Dialogue yang bertajuk Satu Tahun Prabowo Gibran di Jakarta, Selasa (21/10). Foto: Ade Rosman/Katadata (Katadata)

Dalam setahun pemerintahan, pemateri lain, Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center Christiantoko menilai gaya kepemimpinan Prabowo mesti diimbangi oleh kecakapan orang-orang di sekitarnya.

"Prabowo ini begitu masuk langsung gaspol. Celakanya, dia tidak diimbangi talent scouting cukup baik," ujar dia.

Ia mencontohkan dengan rajinnya Presiden berdiplomasi ke luar negeri.

"Apa yang dilakukan pemerintah ini kalau dari statement-statement Presiden, dia ingin suatu perubahan yang menurut saya harus cepat-cepat diikuti operator-operatornya. Seringnya, berkunjung ke luar negeri tapi nggak diimbangi statement Menlu (Menteri Luar Negeri), ketinggalan ini. Yang riil Menlu, Presidennya sendiri," kata dia.

Siti Zuhro menambahkan gaya Prabowo yang banyak berfokus di geopolitik juga mesti diimbangi dengan perbaikan dalam negeri.

"Kalau gaspol, tidak hanya [urusan] dalam negeri, gaspol-nya ke luar negeri. Prabowo itu enggak ada tedeng aling-alingnya [ke urusan luar negeri]. Bagus saja," katanya.

Salah satu sektor yang menurutnya butuh perbaikan adalah program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan banyaknya insiden keracunan dan pola instruksi yang top-down, masalah bisa makin menjadi serius jika tak ada pembenahan.

"Intinya domestik kita mesti benahi. Enggak mungkin ke internasional [tapi] wajah kita masih carut-marut," kata Siti.

Kepakaran dan Konsistensi

Pemateri lainnya, Mohamad Ikhsan, Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia (UI), mendorong Presiden menempatkan orang-orang terbaik sesuai kepakarannya karena saat ini sedang terjadi "erosi teknokrasi."

Ia mencontohkannya dengan kebijakan Biodiesel di atas 30% (B50) yang rencananya diterapkan tahun depan.

"Ini nggak make sense. Negara nggak untung, pengusaha CPO nggak untung, pengusaha biodiesel enggak untung. What for? Mestinya ada teknokrasi," ujar Ikhsan.

Ia juga menyoroti soal konsistensi. Salah satunya jargon efisiensi dari Pemerintah. Namun, pada saat yang sama, kabinet makin gemuk, belanja alat utama sistem senjata (alutsista) naik signifikan. Baginya, secara angka ini tak layak dalam pengukuran Incremental Capital Output Ratio (ICOR).

"Di mana letak efisiensi kalau kita bangun tentara yang besar, gapnya geopolitik apa bener mau perang?" ujar Ikhsan.

"Kabinet yang besar, all overated cost. pasti ICOR naik. Yang disebut ICOR itu, you have to be slim, efficient," kata dia melanjutkan.

DPR Bukan Hanya Cap

Arya Fernandes, peneliti politik di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), memberi sejumlah solusi. Pertama, mendorong DPR menjadi institusi yang lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah.

"Kita tidak berharap legislatif kita menjadi seperti masa Orba, hanya memberi cap kebijakan-kebijakan politik eksekutif. Legislatif mesti lebih akuntabel, partisipatif, agar masyarakat punya saluran pendapat," kata dia menguraikan.

Kedua, perbaikan tata kelola kelembagaan. Bentuknya, meminimalisasi politik praktis, terutama di program-program masif seperti MBG dan Koperasi Desa.

"Jangan sampai menjadi aspek melakukan mobilisasi politik. Sangat berisiko sekali," katanya.

Selain itu, perbaikan kelembagaan bisa dilakukan lewat penyederhanaan kementerian/lembaga. Terlebih, Presiden hanya memberi prioritas di delapan sektor lewat Asta Cita.

"Eksekutif bisa memikirkan ulang jumlah kementerian/lembaga gemuk ini benar-benar dibutuhkan untuk Indonesia maju 2045 atau tidak," katanya. "Kalau nggak, ya evaluasi."

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Editor: Arif Hulwan

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...