The Habibie Center Ungkap Tantangan Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia
Jakarta — The Habibie Center (THC) mengajak berbagai pihak untuk bersinergi dan berkolaborasi dalam mewujudkan agenda transisi energi berkeadilan di Indonesia guna mencapai target-target yang telah dicanangkan. Berdasarkan dua penelitian terbaru THC, masih terdapat tantangan dalam pelaksanaan transisi energi berkeadilan di tanah air.
Melalui penelitian pertama yang berjudul “Keadilan Sosial dan Lingkungan dalam Jaringan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan”, peneliti THC Kunny Izza Indah Afkarina menyampaikan bahwa dinamika pertama yang sering muncul dalam tata laksana transisi energi berkeadilan adalah aspek keadilan sosial dan lingkungan. Kunny menyoroti temuan krusial yang masih terjadi hingga kini.
“Ketimpangan dalam tata laksana transisi energi di Indonesia mengindikasikan bahwa perhatian masih berfokus pada aspek teknis seperti tercapainya target penurunan emisi dan peningkatan rasio elektrifikasi, sementara aspek keadilan sosial dan lingkungan cenderung terabaikan,” ujarnya.
Aspek penting lainnya adalah tata kelola kelembagaan dalam penanganan isu transisi energi. Hal ini diangkat dalam penelitian kedua yang berjudul “Penguatan Kelembagaan dan Reformasi Kebijakan untuk Kemajuan Transisi Energi” yang dipimpin oleh M. Arief Virgy, peneliti THC.
Virgy mengungkapkan, “Kebijakan transisi energi di Indonesia masih sangat didorong oleh pemerintah pusat. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan tinggi dari pemerintah daerah, karena potensi fiskal daerah tidak dapat dimaksimalkan.”
Pemaparan tersebut sejalan dengan pandangan Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno dan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Dalam pernyataannya, Menko AHY mengatakan, “Pemerintah Indonesia tidak perlu malu mengakui bahwa masih terdapat ketimpangan dalam penatalaksanaan transisi energi berkeadilan. Namun, hal ini bukan alasan untuk mengabaikan upaya mencapai target yang telah ditetapkan. Peran aktif semua pihak sangat dibutuhkan.”
Selaras dengan itu, Eddy Soeparno menegaskan pentingnya peran kelembagaan yang berpihak kepada rakyat. Ia membuka diskusi dengan menyampaikan pandangan kritis tentang kondisi Indonesia saat ini.
“Pemerintah memang memiliki banyak target, tetapi pencapaian pertumbuhan tersebut harus memenuhi prasyarat seperti ketersediaan energi bersih dan efisien. Indonesia menghadapi berbagai paradoks kelembagaan," ujarnya.
"Misalnya, kita memiliki potensi geothermal terbesar di dunia, tetapi baru sekitar 10% yang termanfaatkan. Tentunya, kita membutuhkan otoritas yang mampu merangkum seluruh upaya transisi energi, baik yang sudah, sedang, maupun akan dilakukan,” sambung dia.
Dari perspektif peneliti, Koordinator Riset Sosial, Kebijakan, dan Ekonomi IESR, Martha Jesica Solomasi Mendrofa, menilai bahwa penelitian “Keadilan Sosial dan Lingkungan dalam Jaringan Pembangkit Listrik Energi Terbarukan” berhasil menyoroti aspek krusial dalam transisi energi.
“Masyarakat sudah memahami konsep transisi energi, tetapi tingkat kepuasan mereka masih rendah dan dipengaruhi oleh persepsi yang beragam. Meski isu ini semakin sering dibahas, masih banyak pekerjaan untuk meningkatkan kepuasan dan kepercayaan publik,” jelas Martha.
Sementara itu, Mustaba Ari Suryoko, Koordinator Penyiapan Program Aneka EBT/Analis Kebijakan Ahli Madya Kementerian ESDM, menambahkan bahwa penelitian tersebut dapat menjadi salah satu ‘kepingan puzzle’ bagi ESDM untuk menyusun pengaturan yang lebih komprehensif, termasuk aspek ekonomi dan sosial.
“Ini bisa menjadi standar dalam pengelolaan EBT. Namun, pemetaan konflik sosial EBT perlu diperdalam secara sistematis, terutama jika melibatkan biaya tertentu. Pemetaan yang lebih komprehensif akan membantu kami menyelenggarakan transisi energi berkeadilan dengan lebih baik.”
Kepala Bidang Energi Dinas ESDM Pemprov Jawa Barat Permadi Mohamad Nurhikmah turut menambahkan perspektif terkait penelitian “Penguatan Kelembagaan dan Reformasi Kebijakan untuk Kemajuan Transisi Energi”,, terutama mengenai ketergantungan pemerintah daerah terhadap kebijakan transisi energi yang diterapkan oleh pemerintah pusat.
Ia menilai bahwa kondisi transisi energi saat ini menimbulkan banyak kebingungan di tingkat pemerintah daerah.
“Di Jawa Barat saja, kami membuat RUED seadanya karena diminta secara mendadak,” ujarnya.
Meski demikian, Permadi menekankan bahwa kondisi kelembagaan yang belum ideal masih menyimpan peluang untuk mencapai hasil terbaik melalui pendekatan yang tepat. Ia menjelaskan sejumlah keberhasilan Jawa Barat, salah satunya pendekatan subsidi untuk kelompok miskin yang difokuskan pada instalasi PLN.
Hal ini menunjukkan banyak capaian yang bisa diraih dengan pendekatan kelembagaan yang kritis dan aplikatif. Melalui penelitian-penelitian tersebut, THC menegaskan komitmennya untuk terus mendorong terwujudnya transisi energi yang berkeadilan secara sosial, lingkungan, dan kelembagaan.
THC akan terus menyelenggarakan riset dan dialog yang melibatkan masyarakat guna mendorong demokratisasi energi bagi seluruh lapisan masyarakat.
