Jalan Panjang Pengakuan Bagi Penganut Aliran Kepercayaan
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga (KK) dan kartu tanda penduduk (KTP) bagi penganut aliran kepercayaan. Kini, mereka memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama resmi dalam memperoleh hak-hak administrasi kependudukan. Status kepercayaan terdata dan dapat dicantumkan dalam kolom agama.
Perjuangan penghayat aliran kepercayaan untuk memperoleh pengakuan negara mengalami pasang surut. Pada era Orde Lama, mereka terwadahi dalam Badan Koordinasi Kebatinan Indonesia (BKKI). Di bawah pimpinan Wongsonegoro, badan yang menaungi 360 organisasi itu menyelenggarakan kongres pertama pada 1955.
Pergolakan politik pada 1965 merubah nasib para penganut aliran kepercayaan. Pemerintah Orde Baru mencurigai mereka sebagai bagian dari komunisme. Alhasil, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang PNPS 1/1965 tentang Penodaan Agama untuk melindungi agama dari aliran kepercayaan.
Setelah suhu politik mereda, mereka mendapatkan angin segar setelah pemerintah menerbitkan TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) pada 1973. Di dalamnya disebutkan, agama dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama “sah” dan “setara”.
Namun, situasi kembali memburuk pada periode kedua Orde Baru. Melalui TAP MPR tentang GBHN Tahun 1978, pemerintah mengharuskan adanya kolom agama dalam KTP dan dokumen kependudukan lainnya. Pada praktiknya wajib diisi dengan salah satu dari lima agama.
Pengakuan negara kembali hadir pasca reformasi dengan masuknya klausul-klausul hak asasi manusia (HAM) dalam instrumen legal negara. Penganut kepercayaan terlindungi dari pemaksaan untuk pindah ke agama “resmi”. Namun, diskriminasi masih terjadi. Pasal 61 UU 23/2006 dan Pasal 64 UU 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan, identitas kepercayaan tidak dicatatkan dalam kolom agama, hanya saja tercatat dalam data kependudukan.
Kedua pasal tersebut mendorong sejumlah pemohon untuk mengajukan pengujian undang-undang (judicial review) ke MK pada November 2016. Gugatan uji materiil mereka dikabulkan pada 7 November 2017. Para pemohon berasal dari kepercayaan Marapu (Sumba Timur), Parmalim (Sumatera Utara), Ugamo Bangsa Batak (Sumatera Utara), dan Sapto Darmo (Jawa). Mereka adalah bagian dari 245 organisasi penghayat kepercayaan tingkat pusat dan954 organisasi tingkat daerah yang ada di 25 provinsi.