Keamanan Siber Perbankan Rentan, Penerapan Rupiah Digital Berisiko
Gangguan sistem teknologi informasi perbankan yang dialami beberapa lembaga keuangan nasional, seperti Bank Syariah Indonesia atau BSI dan BFI Finance, menjadi ancaman serius bagi keamanan perbankan dan berisiko pada penerapan rupiah digital atau kerap disebut Central Bank Digital Currencies.
Dua pekan lalu, tepatnya Senin (8/5) hingga Kamis (11/5) , BSI mengalami serangan siber berupa ransomware pada sistem perbankan. Peretas internasional LockBit 3.0 diduga menyebarkan data nasabah ke situs gelap atau dark web. Tak lama kemudian, perusahaan pembiayaan swasta BFI Finance juga mengaku mengalami serangan siber sejak Minggu (21/5) hingga Rabu (24/5).
Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute atau TII, Nuri Resti Chayyani mengatakan, mengamati gangguan keamanan yang terjadi beberapa waktu terakhir, penerapan rupiah digital perlu dipertimbangkan kembali, terutama dalam hal keamanan siber perbankan.
"Alih-alih mewujudkan integrasi keuangan yang terdigitalisasi, CDBC dikhawatirkan akan memiliki risiko keamanan data karena sistemnya terpusat di bank sentral," ujar Nuri dalam keterangan pers, dikutip Kamis (25/5).
Menurut dia, perkembangan teknologi menuntun keinginan bank sentral untuk mewujudkan perkembangan sistem pembayaran, salah satunya rupiah digital.
Rupiah digital merupakan uang rupiah yang memiliki format digital serta dapat digunakan seperti halnya uang fisik, uang elektronik, dan uang dalam Alat Pembayaran Menggunakan Kartu atau APMK yang dipakai saat ini. Rupiah digital menjadi tanggung jawab bank sentral dalam mewujudkan inklusi keuangan.
Sebelumnya, rupiah digital telah dirumuskan pada 2021 melalui Proyek Garuda dengan menerbitkan buku putih. Kemudian, rupiah digital juga masuk dalam pembahasan digitalisasi ekonomi pada forum Internasional. Pembahasan CDBC dalam forum tersebut merupakan upaya pemulihan dari pandemi, digitalisasi ekonomi, dan keberlanjutan ekonomi yang diproyeksi akan berdampak baik untuk diterapkan dalam jangka panjang.
Nuri menjelaskan pengembangan mata uang digital merupakan hal penting untuk masuk dalam pembahasan Bank Indonesia (BI) karena menyangkut sistem transaksi di masa depan.
Kendati demikian, mata uang digital dianggap berpotensi mengancam privasi keuangan dan terjadi pengendalian finansial. Jika sumber daya yang ada belum memadai, tidak menutup kemungkinan akan menjadi boomerang bagi sistem moneter di Indonesia.
"Oleh karena itu, BI perlu mengkaji lebih dalam mengenai mata uang digital dengan melanjutkan Proyek Garuda yang sebelumnya telah digagas. Pembahasan lebih dalam dapat dilakukan pada bagian keamanan siber untuk melindungi data masyarakat agar tercipta kepercayaan dari para pengguna produk perbankan," katanya.
Selain itu, menurut dia, BI juga perlu membuat kebijakan yang bekerja sama dengan bank komersial umum untuk memperkuat keamanan perbankan. Misalnya, pembuatan prosedur operasional bagi karyawannya agar tidak ceroboh dalam mengelola sistem keuangan.
Kecerobohan dalam mengoperasionalkan komputer, misalnya, dapat berdampak buruk pada keamanan siber dan berujung pada terjualnya data nasabah ke dalam pasar gelap internet yang membahayakan individu.
Tidak hanya BI, nasabah juga perlu memiliki literasi keuangan yang matang agar kepercayaan terhadap sistem perbankan tetap terjaga. Apabila kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan atas perlindungan data pribadi terjaga, maka kemajuan teknologi keuangan untuk perbaikan perekonomian dalam jangka panjang bukan hal yang mustahil.