OJK Wajibkan Perbankan Patuhi Manajemen Risiko Perubahan Iklim
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mewajibkan industri perbankan untuk menerapkan strategi manajemen risiko demi mencegah perubahan iklim. Ke depan, otoritas akan menerbitkan pedoman sebagai acuan yang akan dimasukan menjadi salah satu basis dalam pengawasan lembaga keuangan.
"Kami harus memberi acuan bagaimana risikonya apabila lembaga keuangan ini tidak mematuhi risk management on climate change ini," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam acara SAFE Katadata Forum 2021, Kamis (26/8).
Kebijakan ini ditetapkan sebagai wujud dari komitmen OJK terhadap isu-isu penanganan ekonomi berkelanjutan dan mendorong melalui pembiayaan keberlanjutan (sustainability financing). Hal tersebut dilakukan agar Indonesia menjadi pemain global yang diperhitungkan dunia.
"Ini akan memberikan dampak jangka panjang terhadap sustainability economy (ekonomi berkelanjutan) kita," kata Wimboh.
Wimboh mengatakan, ekonomi hijau merupakan pola pikir masa depan karena kalau tidak dilakukan saat ini, akan berdampak pada beban biaya di masa mendatang dan merusak ekosistem kehidupan. Pasalnya, bencana alam tidak bisa diprediksi dan harus disiapkan melalui berbagai upaya.
"Seperti bagaimana kita memelihara ekosistem. Lebih bagus kita bersiap-siap dari pada nanti cost-nya cukup besar bagi generasi ke depan. Ini bagaimana kehidupan alam, manusia, dan kehidupan ekosistem harus kita jaga," kata Wimboh.
Ia mengatakan, sumber daya alam jumlahnya terbatas dan jika dibandingkan dengan pertumbuhan manusia, tidak akan pernah cukup. Untuk itu, mencari pertumbuhan ekonomi baru menjadi sangat penting untuk menyeimbangkan dengan jumlah masyarakat yang terus bertambah.
Untuk itu, OJK mengarahkan berbagai elemen di bawah otoritas OJK untuk menerapkan ekonomi berkelanjutan. Seperti mengarahkan investasi publik, investasi swasta, pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, dan dukungan kebijakan lain.
Dari segi makro ekonomi, OJK melakukan transformasi kebijakan yang mengarah dan tidak melupakan lingkungan. Meski mengarah pada lingkungan, transformasi kebijakan tersebut tetap memberikan pertumbuhan, tidak boleh hanya sepihak tetapi berjalan beriringan.
"Perubahan ini akan mendorong tumbuhnya strategi investasi baru dan mendukung transformasi yang tidak hanya di sektor manufaktur saja tapi seluruh sektor ekonomi," kata Wimboh.
Wimboh mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan terkait investasi hijau di rencana pembangunan jangka menengah (RPJM). Seperti penerbitan sukuk, dimana pada 2018 pemerintah menerbitkan sovereign global green sukuk dengan nominal yang berhasil dihimpun US$ 2,75 miliar.
Pemerintah juga menerbitkan Green Sukuk Ritel pertama di dunia pada 2019 dengan total issue sebesar US$ 100 juta. Dana yang diterima tersebut digunakan untuk proyek pengurangan emisi gas karbon dioksida (CO2).
Selain itu, berbagai pendanaan proyek hijau padat karya yang mencangkup 50 ribu hektare dan mempekerjakan 25 ribu orang. Termasuk mendorong keterlibatan swasta dalam implementasi ekonomi hijau dalam sebuah platform blended finance.
OJK pun sudah pernah mengeluarkan peta jalan keuangan berkelanjutan tahap I untuk periode 2015-2019. Dalam salah satu poin peta jalan ini, OJK mewajibkan perusahaan tercatat untuk menyusun rencana aksi keuangan berkelanjutan, mengalokasikan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan, dan publikasi laporan berkelanjutan.
Namun, implementasi tahap pertama ini ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan. Di antaranya, masih rendahnya pemahaman sehingga otomatis, portofolio yang disebut green financing atau penerbitan green bond, belum begitu marak.
Selain itu, masih rendahnya kesadaran industri keuangan mengenai inisiatif keuangan berkelanjutan juga menjadi tantangan. Lalu, tantangan lain adalah pemahaman tentang taksonomi tersedianya standar ekonomi hijau masih belum tercapai. "Padahal peluang investasi yang ramah lingkungan besar sekali, namun belum bisa dimanfaatkan," kata Wimboh.
Dengan berbagai kendala di peta jalan tahap pertama, OJK pun mengeluarkan peta jalan tahap kedua untuk periode 2021-2025. Di antaranya, OJK fokus untuk menyampaikan pemahaman yang sama kepada pelaku industri. Lalu, OJK akan mengembangkan standar kepada sektor keuangan.
"Ini yang kami sebut adalah taksonomi agar kami memiliki bahasa yang sama untuk berbicara tentang hal ini," ujarnya.
Selain itu, OJK juga akan fokus pada masalah skema pembiayaan yang doikembangkan, terutama bagaimana instrumen-instrumen yang terkait dengan kebutuhan pembiayaan hijau, bisa berkembang di Tanah Air.
Wimboh mengatakan, bila berbagai kebijakan tersebut tidak dilakukan pemerintah dan OJK, akan ada risiko besar yang membayangi. Salah satunya, rantai suplai (supply chain) akan terganggu. Maka itu, produksi dalam bentuk apapun akan dipertimbangkan dalam perubahan iklim ini. Apabila tidak mendukung pencegahan perubahan iklim, maka akan berdampak pada pada terganggu rantai pasok, seperti produk ekspor.
Risiko lainnya adalah terganggunya keseimbangan lingkungan. Apabila tidak mempertimbangkan berbagai lingkungan alam, ini akan terjadi banjir, longsor, ekosistemnya rusak. "Itu risikonya costnya cukup besar. Kehidupan kita bisa hilang dalam sekejap," kata Wimboh.
Berikutnya, dari eksploitasi yang terlalu cepat ini akan menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang dialami oleh masyarakat. Padahal, seharusnya masyarakat mendapatkan kehidupan dari adanya lingkungan yang terjaga, tetapi sekarang menjadi tidak bisa bekerja.