Biografi Sultan Hasanuddin, Ayam Jantan dari Timur
Sultan Hasanuddin, salah satu raja yang terkenal dari wilayah timur Nusantara, dikenal karena ketabahannya dalam melawan penjajahan Belanda pada masa itu. Salah satu perjuangannya yang paling terkenal adalah menentang monopoli perdagangan yang dilakukan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang membuat Belanda kesulitan menghadapinya.
Selama masa kekuasaannya, Sultan Hasanuddin berhasil menggagalkan berbagai upaya Belanda untuk menguasai Kerajaan Islam Gowa. Tidak hanya itu, dia juga berhasil menyatukan berbagai kerajaan kecil di sekitarnya untuk bersatu dalam melawan penjajah Belanda.
Ketabahan Sultan Hasanuddin mendapatkan pengakuan luas, termasuk dari pihak Belanda yang memberinya julukan "Ayam Jantan dari Timur" (De Haantjes van Het Osten). Simak biografi Sultan Hasanuddin lengkap untuk mengetahui sosoknya lebih lanjut.
Biografi Sultan Hasanuddin
Hasanuddin lahir di Gowa pada 12 Januari 1631 dengan nama lengkap Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape, sebagai putra mahkota dari Sultan Malik as-Said dan I Sabbe To’mo Lakuntu. Keluarganya memiliki latar belakang yang kuat secara politik dan agama, dengan kakeknya, Sultan Alauddin, menjadi Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
Sejak kecil, Sultan Hasanuddin menunjukkan bakat kepemimpinan dan kecerdasan yang luar biasa. Dia juga memiliki keterampilan dagang yang baik, yang membuatnya membangun jaringan perdagangan yang luas hingga ke Makassar dan bahkan dengan pedagang asing.
Pendidikan agama Hasanuddin dimulai di Masjid Bontoala, di mana ayahnya sering membawanya ke pertemuan penting untuk mempelajari diplomasi dan strategi perang. Dia juga beberapa kali dipercaya sebagai delegasi untuk menyampaikan pesan penting ke kerajaan lain.
Pada usia 21 tahun, Hasanuddin diamanatkan untuk menjabat dalam urusan pertahanan Gowa, dan ada dua versi tentang kapan dia naik takhta menjadi raja: pada usia 24 tahun pada tahun 1655 atau pada usia 22 tahun pada tahun 1653. Yang pasti, Sultan Malikussaid, ayahnya, telah menetapkan agar Hasanuddin menggantikannya sebagai penguasa.
Selain mendapatkan bimbingan dari ayahnya, Hasanuddin juga belajar tentang pemerintahan dari Mangkubumi Kesultanan Gowa, Karaeng Pattingaloang. Dia juga menjadi guru bagi Arung Palakka, salah satu pemimpin Bone yang kemudian bekerja sama dengan Belanda untuk menaklukkan Gowa.
Setelah kematian ayahnya pada tahun 1653, Hasanuddin naik takhta dan segera membawa Gowa mencapai puncak kejayaan, menguasai jalur perdagangan penting di Nusantara timur. Namun, kejayaan ini terancam ketika Belanda VOC mulai berusaha memasuki wilayah Sulawesi Selatan pada pertengahan abad ke-17.
Hasanuddin awalnya memberi izin kepada tiga Belanda untuk tinggal di Somba Opu, ibu kota Gowa, namun tindakan baiknya disalahgunakan ketika mereka mengirim surat ke Batavia meminta persiapan serangan ke Gowa. Dalam menyikapi hal ini, Hasanuddin segera memperkuat pertahanan Gowa dan bersiap menghadapi serangan Belanda.
Pada tahun 1660, Sultan Hasanuddin dari Gowa meminta bantuan dari Tobala Arung Tanette, seorang pemimpin dari Bone, untuk memperkuat pertahanan Makassar dalam menghadapi ancaman serius dari Belanda. Namun, sementara upaya untuk mempersiapkan pertahanan sedang berlangsung, Belanda juga mendapat informasi tentang potensi pemberontakan di wilayah Bone yang dipimpin oleh Arung Palakka dan Tobala Arung Tanette.
Ketika ketegangan mencapai puncaknya dan pertempuran pecah antara pasukan Belanda dan Makassar, Arung Palakka dan Tobala Arung Tanette memimpin pasukan dari Bone dan Soppeng untuk memberontak melawan kesultanan mereka sendiri. Awalnya, pemberontakan itu tampak berhasil, tetapi akhirnya mereka mengalami kekalahan telak, dan Arung Palakka terpaksa melarikan diri ke Buton untuk mencari perlindungan.
Di Buton, Arung Palakka mendapat dukungan dari pihak Belanda, yang melihat peluang untuk mengambil keuntungan dari ketegangan internal di Sulawesi Selatan. Bersama-sama, mereka merencanakan serangan balasan terhadap Makassar. Setelah persiapan yang matang, serangan itu dilancarkan dengan kekuatan penuh dan berhasil meruntuhkan pertahanan Makassar, menggemparkan seluruh wilayah.
Kegigihan dan ketangguhan Sultan Hasanuddin dalam menghadapi serbuan tersebut mendapatkan pengakuan istimewa dari Belanda, yang menyebutnya sebagai "Ayam Jantan dari Timur". Namun, sejarawan juga mempertimbangkan bahwa tanpa bantuan pasukan Arung Palakka, Belanda mungkin tidak akan berhasil mengalahkan Gowa, mengingat kekuatan laut yang tangguh yang dimiliki Gowa.
Perang Makassar, dalam segala keganasannya, diakui sebagai salah satu konflik yang paling penting dalam sejarah perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Perjuangan sengit antara Belanda dan Makassar mencerminkan ambisi besar kedua belah pihak untuk menguasai wilayah perdagangan yang strategis.
Meskipun Belanda berhasil meraih kemenangan, mereka juga menyadari bahwa perlawanan sengit dari Gowa dan dukungan tak terduga dari Bone adalah faktor kunci dalam menentukan hasil akhir perang. Kehadiran dan kontribusi Arung Palakka membuktikan betapa pentingnya peran individu dalam arus sejarah yang lebih besar.
Sebagai hasil dari perang ini, Belanda memperkuat posisinya sebagai pemain dominan dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut. Namun, cerita ini juga menyoroti kompleksitas hubungan antara penguasa lokal, pemberontak, dan kekuatan asing dalam dinamika politik dan ekonomi yang berkembang di Nusantara pada saat itu. Keberhasilan Belanda tidak hanya didorong oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh diplomasi, intrik politik, dan aliansi yang dibangun dengan bijaksana.