Good Doctor dan AstraZeneca Edukasi Pengelolaan Asma dengan Optimal
AstraZeneca terus mengkampanyekan potensi risiko ketergantungan SABA bagi pasien asma. Hal ini dilakukan melalui Kampanye Stop Ketergantungan, salah satu aksinya berupa kolaborasi dengan Good Doctor.
Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay mengatakan, pihaknya sadar bahwa asma termasuk penyakit kronis yang memerlukan perhatian medis secara berkelanjutan.
“Kami berupaya mengedukasi dan meningkatkan kesadaran tentang asma. Ini bagian dari komitmen kami untuk memperkuat ekosistem kesehatan di Indonesia, terutama terkait kesehatan paru-paru,” ujarnya melalui keterangan resmi, Senin (23/12).
Ia juga menjelaskan, pihaknya menggandeng platform telemedisin Good Doctor untuk menyediakan sarana bagi individu yang membutuhkan informasi dan konsultasi terkait kesehatan, khususnya soal penyakit asma.
“Individu bisa berkonsultasi seputar pengobatan asma yang berefikasi tanpa dibatasi ruang dan waktu,” ujarnya.
Selain itu, sebagai rangkaian dari Kampanye Stop Ketergantungan, AstraZeneca juga memperkenalkan digital platform www.stopketergantungan.id. Situs web ini menyediakan informasi mengenai risiko penggunaan pelega SABA secara berlebihan.
Masyarakat atau pasien asma juga diajak melakukan tes ketergantungan pelega SABA untuk mengetahui tingkat ketergantungan mereka; apakah berisiko tinggi, sedang, atau rendah. Hasil tes dapat diunduh dan dikonsultasikan dengan dokter untuk penanganan asma.
Kesadaran seputar penanganan asma merupakan hal krusial mengingat penyakit ini bisa menjadi kondisi serius, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Tapi dengan pengobatan tepat dan optimal maka orang dengan asma tetap bisa hidup normal dan aktif.
Oleh karena itu, edukasi bagi pasien dan keluarga sangat penting untuk memahami pengobatan asma guna mengurangi risiko kekambuhan dan ketergantungan berlebihan pada SABA (Short-acting β2 agonist atau agonis beta-2 kerja singkat).
SABA adalah jenis obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma dengan cepat. Obat ini bekerja dengan merelaksasi otot-otot di sekitar saluran pernapasan, sehingga saluran tersebut terbuka dan memudahkan pernapasan.
SABA sebetulnya tidak mengatasi penyebab utama asma, yaitu peradangan pada saluran napas. Artinya, meskipun SABA efektif untuk meredakan gejala sesaat, penggunaan berlebihan justru dapat menyebabkan penurunan efektivitasnya dan berpotensi mengakibatkan kekambuhan asma.
Global Initiative for Asthma (GINA) tak lagi merekomendasikan penggunaan SABA sebagai terapi tunggal untuk meredakan gejala asma. Temuan ini sejalan dengan data yang menunjukkan, penggunaan SABA tunggal yang berlebihan malah dapat meningkatkan risiko kekambuhan asma.
VP of Medical Operations PT Good Doctor Technology Ega Bonar Bastari menuturkan, edukasi mengenai asma beserta tata laksananya termasuk gaya hidup menjadi salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan.
Demi bisa memberikan rekomendasi berkualitas terbaik demi kebaikan pasien, Good Doctor menyediakan link skrining yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien khususnya yang berkaitan dengan asma.
“Berbagai pertanyaan dalam link skrining tersebut sudah diverifikasi dan divalidasi oleh tim medis kami dan jurnal penelitian medis bereputasi tinggi, sehingga keamanan dan keabsahannya dapat dipercaya,” ujar Ega.
Ia menekankan, Good Doctor selalu menjunjung tinggi praktik terbaik dalam memastikan standar medis tertinggi dalam operasinya sejak diluncurkan pada 2019. Setelah pasien menjawab berbagai pertanyaan tersebut dan dokter mendiagnosis asma, dokter akan merekomendasikan pengobatan terbaik yang paling sesuai dengan kondisi pasien.
Selain itu, dengan jaringan ribuan apotek resmi terpercaya di lebih dari 100 kota di Indonesia, Good Doctor siap untuk menjawab kebutuhan pasien dalam memperoleh obat asma yang sesuai dengan efikasi yang dibutuhkan. Kerja sama dengan AstraZeneca Indonesia ini sekaligus menunjukkan bahwa telemedisin bermanfaat dalam pengelolaan penyakit kronis.
Berdasarkan data WHO, asma adalah penyakit tidak menular yang mempengaruhi 262 juta orang di seluruh dunia per 2019, menyebabkan sekitar 455.000 kematian. Data dari Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan, proporsi kekambuhan asma dalam 12 bulan terakhir di Indonesia mencapai 58,3 persen.
Angka tersebut menunjukan bahwa lebih dari setengah dari penderita asma mengalami kekambuhan dalam periode tersebut. Artinya, ada kemungkinan indikasi diperlukannya intervensi kesehatan yang lebih efektif atau manajemen asma yang lebih baik di kalangan masyarakat.
Adapun, studi SABINA (SABA Use in Asthma) menunjukkan hubungan antara peresepan SABA inhaler yang tinggi dan hasil klinis yang buruk yang terjadi di berbagai negara, tempat perawatan kesehatan, dan tingkat keparahan asma.
Berdasarkan studi penelitian SABINA yang dilakukan di 24 negara, ditemukan bahwa 38 persen pasien dengan asma menerima resep lebih dari tiga kanister inhaler SABA dalam setahun.
Sementara itu di Indonesia sendiri, sebesar 37 persen pasien asma diresepkan tiga atau lebih kanister inhaler SABA dalam setahun. Semakin berat derajat asmanya, semakin banyak peresepan inhaler SABA yang diterima oleh pasien.
Data tersebut menekankan perlunya perhatian lebih dalam praktik pengobatan asma untuk mengurangi ketergantungan pada inhaler SABA, dan meningkatkan pengelolaan penyakit secara keseluruhan.
Pasien asma dengan tiga atau lebih kanister SABA per tahun disebutkan memiliki risiko kekambuhan berat 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dengan 1-2 kanister SABA. Hasil studi ini mendukung inisiatif untuk menurunkan kekambuhan maupun kematian akibat asma, yakni dengan mengurangi ketergantungan berlebihan pada SABA.