Terbuka untuk Semua, GBK Jadi Ruang Publik Inklusif di Jakarta
Di tengah hiruk pikuk Senayan, dengan segala kemegahan gedung pencakar langit, Gelora Bung Karno (GBK) menjadi tempat di mana sekat sosial seakan hilang.
Dulu, GBK dibangun untuk menyambut kejayaan Asian Games 1962. Kini, kompleks olahraga itu tampil beda, yakni tak hanya stadion megah tetapi ruang publik yang mencoba merangkul semua orang.
GBK menyatukan aspek lingkungan, rekreasi, dan prestasi. Area seluas 279 hektar ini memiliki proporsi lahan 70 persen ruang hijau dan 30 persen area venue.
Hutan Kota GBK, misalnya, hadir dengan fungsinya sebagai paru-paru kota. Area ini menyajikan ruang terbuka hijau yang mampu menyerap kepenatan warga ibu kota.
Dengan hamparan rumput, pepohonan rindang, kolam ikan, dan panorama bangunan tinggi berjejeran, Hutan Kota GBK menawarkan ketenangan yang hanya beberapa langkah dari keriuhan Sudirman-Senayan.
Bagi Rakhmadi Kusumo selaku Direktur Utama PPKGBK, inklusivitas menjadi prinsip dalam pengembangan GBK. “Kami ingin GBK menjadi ruang bersama. Siapapun yang datang, apakah berjalan kaki, naik bus, atau berkendara, semuanya berhak merasakan kebersamaan dan memiliki ikatan dengan tempat ini,” katanya.
GBK menjelma sebagai ruang terbuka untuk semua. Baik untuk seseorang yang melepas suntuk setelah bekerja dengan berlari pada sore hari. Atau, keluarga yang berkunjung ke Hutan Kota. Pesepeda yang melintas dengan komunitasnya. Semua ini menciptakan potret GBK sebagai ruang publik yang inklusif.
Selain itu, data pola mobilitas pengunjung GBK yang dicatat Pusat Pengelolaan Komplek GBK (PPKGBK) juga mengungkap temuan menarik. Pada 2023 sampai Agustus 2025, jumlah pengunjung kawasan ini total mencapai 26 juta orang.
Jika dibedah, pengunjung yang berjalan kaki ke GBK terus mengalami kenaikan. Pada 2023, angkanya hanya 629.749, setara 8,4 persen dari total pengunjung.
Setahun kemudian, pejalan kaki mencapai 1,6 juta orang dengan proporsi 16,65 persen dari total pengunjung. Dan jumlah pejalan kaki khusus periode Januari-Agustus 2025 menembus 3,4 juta orang, setara 41,25 persen dari total pengunjung.
Data tersebut bisa mengindikasikan sebuah pergeseran bahwa berjalan kaki bukan hanya berolahraga tetapi bagian dari gaya hidup sadar lingkungan. Keputusan berjalan kaki bisa jadi simbol kebebasan di Jakarta yang sering terasa sesak akibat macet.
Di sisi lain, transportasi publik memainkan peran penting, baik TransJakarta, KRL, maupun MRT. Dengan akses yang sudah terintegrasi dengan angkutan umum, GBK menjadi simpul yang tak hanya milik warga Jakarta tetapi juga pengunjung dari wilayah penyangga seperti Depok, Bekasi, hingga Tangerang.
Kendaraan pribadi memang masih mendominasi tetapi sempat menunjukkan tren penurunan, khususnya untuk sepeda motor. PPKGBK mencatat, proporsi pengunjung yang mengakses GBK dengan roda dua pada 2023 mencapai 21,88 persen, kemudian turun menjadi 21,10 persen pada 2024. Dan selama Januari-Agustus 2025 tercatat sebesar 15,43 persen.
Selain itu, ada pula pengunjung yang datang ke GBK dengan kendaraan roda empat. Persentase pengunjung dengan mobil pribadi pada 2023 sekitar 35,8 persen, sedangkan pada 2024 tercatat 39,6 persen. Khusus Januari-Agustus tahun ini mencapai 29,7 persen.
GBK bisa jadi memiliki nuansa berbeda dibandingkan dengan ikon kota yang lain. Area ini bukan sekadar tempat pertandingan atau konser raksasa, melainkan panggung terbuka bagi kehidupan sehari-hari.
“Di tengah kota besar yang penuh tantangan mobilitas, GBK memberi teladan nyata bahwa ruang publik bisa hadir adil dan menyenangkan, ketika dirancang untuk semua,” kata Rakhmadi.
